Istana Kekaisaran Kaili, Ibukota Kaili Duan Yu Yan menatap salju yang turun dari jendela kamarnya. Cuaca di ibukota sangat jauh berbeda dengan di utara, tempatnya tinggal selama ini. Utara merupakan daerah yang berbatasan dengan Negeri Utara yang cenderung beriklim gurun."Nona, pakailah mantelnya." Ruolan, pelayannya datang dengan membawa mantel bulu yang tebal. Kemudian dengan hati-hati membantu sang nona mengenakannya."Aku bosan," keluhnya, seraya melirik pelayan setianya itu.Ruolan tersenyum dan mengambilkan sepiring kue dari meja di sebelah jendela. "Sebaiknya Nona menikmati kue osmanthus ini dulu. Setelah itu kita bisa berjalan-jalan berkeliling istana," bujuknya dengan lembut.Duan Yu Yan menganggukkan kepalanya. Dengan setengah hati dikunyahnya kue yang sebenarnya merupakan cemilan favoritnya. Namun, cuaca di ibukota membuat suasana hatinya benar-benar kacau.Awalnya dia sangat menyukai cuaca sejuk yang cenderung dingin di ibukota yang telah membeku hampir lima belas tahun
Ruolan menatap Duan Yu Yan. "Nona, jika Anda saja tidak tahu apalagi saya?" sahutnya setengah mengeluh kesal.Duan Yu Yan tertawa melihat raut wajah pelayan setianya itu. "Terkadang kau lebih tahu karena kau lebih bebas ke sana kemari dan bertemu dengan banyak orang.""Ada benarnya juga Nona." Ruolan kembali menatapnya seraya tersenyum kecil meringis. "Namun, saya tidak tahu siapa dia. Seharusnya dia adalah Yang Mulia Kaisar Ao Yu Long karena ini ruang belajarnya," ucapnya dengan ragu-ragu."Kau benar, tetapi aku tidak yakin," sahut Duan Yu Yan. Keningnya berkerut cukup dalam. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat sosok nyata Kaisar Ao Yu Long."Ada lukisan dirinya di ruang belajar Paman Mingyu, tetapi dia mengenakan pakaian kebesaran kekaisaran," gumamnya seraya kembali mendongakkan kepalanya menatap lukisan yang tergantung di dinding ruang belajar itu."Saya juga pernah melihat lukisan itu," sahut Ruolan, menganggukkan kepalanya.
"Nona, mereka sudah datang." Roulan memberitahukan kedatangan rombongan penjemput pengantin dari Manor Zhao dari Tanah Bebas."Aku tahu," sahut Duan Yu Yan pelan. Dirapikannya hanfu berwarna merah cerah nan mewah yang dikenakannya.Meski itu bukan gaun pengantinnya, tetapi dia harus tetap berhati-hati. Itu gaun yang disiapkan oleh mendiang neneknya untuk setiap calon pengantin yang melakukan perjalanan jauh menuju rumah pengantin laki-laki. Dahulu bibinya, Duan Xiao Jiao, mengenakan gaun ini juga saat datang ke Istana Zijin dengan dijemput oleh Jenderal Won dan Perdana Menteri Ming."Anda cantik sekali," puji Roulan tulus. Gadis pelayan itu tidak berbohong. Duan Yu Yan merupakan gadis dari Manor Duan yang merupakan simbol kecantikan yang murni bak dewi. Seperti halnya sang bibi, Duan Xiao Jiao atau pun adik dari neneknya yang merupakan ibu kandung dari Lady Ming Shuwan."Kau terlalu memuji," sahut Duan Yu Yan tersipu. Pipinya memerah bak buah pers
"Yu!" Serunya dengan riang memanggil kuda putih itu. Ditepuk-tepuknya kepala kuda itu dengan lembut.Ketua Mu hanya menggelengkan kepalanya dan memerintahkan rombongan untuk berhenti. Dia tidak segera masuk ke kedai karena hendak memeriksa keadaan Duan Yu Yan. Hanya Nanggong Ningli yang tampak begitu bersemangat di tempat yang sepi itu."Ketua Mu, biar aku saja yang membeli arak!" serunya lagi setelah puas menyapa Yu, kuda putih yang sama sekali tidak mempedulikannya dan sibuk mengunyah rumput hijau di bawah pohon tua."Berhati-hatilah! Ada Ketua Qilin di dalam kedai, jaga sikapmu!" Ketua Mu memperingatkan.Nanggong Ningli hanya tersenyum jahil dan berlari masuk ke dalam kedai. Sementara Ketua Mu mengetuk pintu kereta yang ditumpangi Duan Yu Yan dan Roulan."Nona, mari kita turun dan beristirahat sebentar," sapanya dengan sopan dan hormat."Paman, kau tidak perlu sungkan." Duan Yu Yan tersenyum dan dengan dibantu Ruolan dia turun
Duan Yu Yan tersenyum tipis. "Dia adalah adik ayah saya," ucapnya dengan lembut seperti tadi."Ah, jadi kau putri si tua bangka itu!" Tiba-tiba saja Lady Murong Fei tertawa terkekeh. "Ketua Mu, untuk apa kau membawa putri tua bangka itu ke Tanah Bebas?" tanyanya pada Ketua Mu."Kami mengantarkannya ke Tanah Bebas sebagai calon pengantin Zhao Lu Yang," sahut Ketua Mu dengan hati-hati.Pria muda dan tampan yang duduk di sudut kedai, menyemburkan arak yang tengah diminumnya. Begitu juga dengan Lady Murong Fei yang menoleh dan menatapnya. Keduanya saling berpandangan."Ah, calon pengantin Zhao Lu Yang," gumamnya setelah memastikan pria di sudut baik-baik saja dan kembali menikmati araknya. "Ini sungguh menarik," lanjutnya masih bergumam pelan. Jari jemari lentiknya yang berkuku panjang bergerak pelan bak tengah menari.Ketua Mu meneguk ludahnya, merasakan firasat yang kurang baik untuk mereka. Meski hubungan Kaili dengan Sekte Keabadian baik-
Lady Murong Fei menunjuk seorang prajurit biasa untuk melawan Ketua Qilin. Tentu saja itu membuat Nanggong Ningli khawatir. Dia pun berteriak memprotes."Lady Murong Fei, ini tidak adil! Prajurit biasa tidak akan mampu melawan Ketua Qilin!" seru Nanggong Ningli dengan marah.Namun, Ketua Mu menyuruhnya untuk diam. "Tenang, Nanggong Ningli. Biarkan prajurit ini mencoba," katanya dengan tenang, tetapi tegas. "Majulah!" Perintahnya pada prajurit yang sedari di perjalanannya selalu mengawal kereta yang ditumpangi Duan Yu Yan tanpa lengah sekali pun."Baik!" Prajurit itu pun mematuhi ucapannya. Dia maju dan menyerang Ketua Qilin dengan tombaknya setelah memberi hormat pada Ketua Sekte Keabadian itu.Gerakannya cepat dan penuh determinasi. Ketua Qilin dapat dengan mudah menghindar, namun prajurit itu kembali menyerangnya. Kali ini menggunakan salah satu jurus yang cukup membuat Ketua Qilin kerepotan. Namun, Ketua Qilin masih tetap bisa menghindar dengan
Ketua Mu menghela napas pelan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Melintasi Hutan Kematian menjelang malam tanpa arak persembahan untuk para roh penghuni hutan merupakan sesuatu hal yang hampir mustahil."Ayo kita pergi!Ketua Qilin, Lady Murong, terima kasih untuk kesempatan yang kalian berikan." Dia pun berpamitan pada kedua orang dari Sekte Keabadian itu setelah ber-kowtow dengan sopan."Ketua Mu, tunggu!" Ketua Qilin berseru, di saat Ketua Mu dan rombongan pengantar calon pengantin hendak meninggalkan kedai. Pria itu melangkah dengan santai, mendekati mereka."Ini, anggap saja aku mentraktirmu." Ketua Qilin tersenyum dan mengedipkan matanya.Dia memberikan satu buah kendi arak yang masih utuh kepada Ketua Mu. Arak itu berkilauan di bawah sinar matahari senja, memancarkan aroma harum yang menggoda. Ketua Mu ragu-ragu untuk menerimanya dan melirik Lady Murong Fei. Wanita itu membuang muka, melenggang pergi seraya bersiul pelan masuk ke dalam ru
Sosok bercaping dan bercadar putih itu menghentikan rombongan yang dipimpin Ketua Mu. Di tengah hutan yang sunyi, hanya suara angin yang berdesir di antara dedaunan yang terdengar. Sosok itu berdiri tegak, bayangannya memanjang di bawah sinar matahari yang keemasan."Serahkan kereta beserta isinya, dan aku tidak akan menyakiti kalian," suaranya tenang tetapi penuh ancaman, menggema di antara pepohonan.Ketua Mu, memicingkan mata menatap sosok yang seharusnya seorang pria menilik suaranya barusan. "Siapa kau? Dan untuk apa menghalangi kami?"Sosok bercaping itu hanya tersenyum tipis di balik cadarnya. "Ketua Mu, kau tak perlu tahu siapa diriku. Yang perlu kau lakukan hanyalah menyerahkan kereta dan isinya padaku," katanya pelan, sebelum melompat maju dengan kecepatan yang mengejutkan.Mao Beifeng, dengan tangkas bersiap menghadangnya dengan tombaknya. Sebelum pria itu tiba, dia sudah melemparkan tombaknya. Denting pedang beradu dengan tombak terden
Meigui Jin, Ibukota Negeri UtaraLi Feng Hai menatap Permaisuri Ye Yang hampir saja memuntahkan darah saat membuka kotak-kotak peti yang dibawanya. Wanita cantik itu seketika menjadi pucat pasi. Perutnya terasa mual."Yang Mulia, selain itu ada pesan dari Tuan Xie Jing Cuan sebagai pemilik Wisma Lonceng Naga." Li Feng Hai menyerahkan sebuah gulungan.Permaisuri Ye membacanya dan kemudian berteriak marah melemparkan gulungan itu. Jika kedua peti berisi kepala Kasim Zhou dan Kasim Zheng membuatnya merasa ngeri, maka gulungan itu membuatnya naik darah."Apa kalian ingin membuatku bangkrut," geramnya seraya melirik Li Feng Hai.Li Feng Hai hanya tersenyum tipis. Kemudian dia menjelaskan tujuannya datang ke Negeri Utara selain membawa kepala kedua kasim yang dipenggal Wu Hongyi dan juga tagihan dari Xie Jing Cuan atas merusak Wisma Lonceng Naga."Yang Mulia, Negeri Kaili tidak akan ikut campur suksesi di Negeri Utara. Namun, Kaisar Ao
Seperti yang dikatakan Xie Jing Cuan tadi, matahari perlahan-lahan muncul di timur. Meski masih malu-malu, tetapi sinarnya cukup untuk menyinari pedang di tangan Xie Jing Cuan.Di halaman wisma, di mana semua orang berkumpul, Pedang Bulan milik Wu Hongyi tiba-tiba bergetar dan melayang. Pedang itu terbang melesat meninggalkan halaman."Ketua," gumam Wu Hongyi lirih. Dia berusaha untuk bangun dan mengikuti pedangnya. Namun, tubuhnya tak mampu lagi."Yu, kita harus ke danau!" Fu Rui segera memapah Wu Hongyi dan membawanya terbang. Diikuti Ketua Qilin dan yang lain. Sebelum itu Dun Ming sempat meminta para pelayan wisma untuk mengurus jenazah Kang Li.Mereka tiba di danau yang membeku, tepat saat Xie Jing Cuan melemparkan Pedang Matahari yang bersatu dengan Pedang Bulan ke arah Zhang Jiawu dan tepat menancap di dadanya. Pria itu menatap dadanya yang terluka parah. Dicabutnya pedang itu dan melemparkannya. Dia hendak menyerang
Ketua Qilin tertegun, pasir keemasan berhamburan di halaman wisma. Sosok Feiyu berdiri tegak di tengah halaman dengan pusaran pasir mengelilinginya."Aku tidak keberatan untuk menyapu bersih kalian semua," ucapnya dengan tatapan dingin pada para anggota sekte Lotus Hitam yang tersisa."Bai Hua, sebaiknya kita mundur dan membantu Ketua," Yang Hui berbisik pelan. Bai Hua tidak segera menyahut.Dia menatap sekelilingnya sekilas. Kemudian dia mengangguk dan memberi isyarat agar seluruh anggota sekte mundur mengikutinya.Para tetua sekte Lotus Hitam itu pun mundur dengan terbang menjauhi wisma.Sementara itu Kang Li berusaha membantu Wu Hongyi dan Dun Ming. Namun,jurus tapak beracun milik kedua Kasim dari Negeri Utara itu mengenai dadanya. Kang Li pun tersungkur jatuh melayang dari atap aula utama."Kang Li!" Dun Ming berteriak panik dan meluncur turun untuk menangkap tubuh Kang Li. Sedangkan Wu Hongyi menatap keduanya yang meluncur d
Ao Yu Long hanya memandangi kepergian Jenderal Duan. Dia melirik atap aula utama di mana Wu Hongyi dan Dun Ming masih bertarung dengan kedua Kasim dari Negeri Utara. Di sisi lain, Dong Xiu Bai dan Mu Jin masih berjaga-jaga melindungi Pangeran Dong Fang Xian. "Xie Jing Cuan, mau tidak mau aku harus bertarung dengan Zhang Jiawu bukan?" gumamnya seraya menatap Zhang Jiawu yang masih berdiri tegak tak jauh darinya. "Aku tidak ingin bertarung denganmu, Yang Mulia." Pria berhanfu dan berjubah hitam bermotif bunga lotus itu berkata dengan kesal. "Bagiku bukan masalah, apakah harus bertarung denganmu atau tidak," sahut Ao Yu Long santai. Dia tersenyum tipis dan tangannya bergerak mengangkat pedang esnya. Pedang itu berkilau kebiruan ditimpa sinar bulan. Menimbulkan kilatan-kilatan kebiruan yang indah, tetapi juga mengerikan. Siapa pun tahu jika pedang itu ditebaskan dengan kekuatan
Kelopak-kelopak lotus hitam berhamburan menyerang Wu Hongyi dan Dun Ming. Pedang Bulan Wu Hongyi berkelebat cepat mencacah kelopak-kelopak lotus itu hingga hancur berkeping-keping.Zhang Jiawu memberi isyarat pada anggota sekte Lotus Hitam yang masih berada di luar untuk menyerbu masuk. Wu Hongyi yang menyadari situasi mulai tidak menguntungkan mereka, membunyikan lonceng di jarinya. Begitu juga dengan Dun Ming.Dari kegelapan malam, muncul sosok-sosok mayat hidup yang menghadang para anggota sekte Lotus Hitam. Sementara Kang Li sadar betul dia tidak akan bisa menahan mereka semua sendirian. Dia mengibaskan selendang putihnya disertai mantra Sutra Kematian.Selendang putih itu berkelebat dengan cepat, meliuk-liuk dan menghajar sepuluh pembunuh bayaran dari organisasi Tangan Kematian. Yu Jue, pimpinan mereka pun terluka cukup parah. Namun, kedatangan orang-orang dari sekte Lotus Hitam membuat Kang Li kerepotan.Beruntung sa
Seorang pria muda tampan berhanfu dan jubah hijau muda tersenyum menatap sang kasim. Memamerkan deretan giginya yang putih berseri-seri dan senyum yang teramat manis. "Dun Ming, si pemilik senyum malaikat," gumam Kasim Zhou. Dun Ming, ketua pintu kematian ke-lima, tersenyum tipis menganggukkan kepalanya. "Wah, rupanya Kasim Zhou masih mengingatku dengan baik. Aku sungguh merasa terhormat." Dun Ming kembali memamerkan senyuman yang bak malaikat. Sayangnya, senyum indahnya itu hampir dipastikan membawa maut bagi orang-orang di sekelilingnya. Karena itu dia dijuluki Pemilik Senyum Malaikat Maut. "Jangan halangi aku!" Kasim Zhou menyipitkan matanya dan tanpa basa-basi menyerang Dun Ming dengan pedangnya. Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis dan terbang menghindari serangan sang kasim. Dia melompat ke atap aula utama bergabung dengan Wu Hongyi yang tengah bertarung dengan Kasim Zheng. Wu Hongyi tertegun, tetapi tidak bertanya dan justru menjadi
Kasim Zheng menatap Wu Hongyi. Dia kembali berdiri tegak. Darah merembes di hanfu ungunya, tetapi itu tidak menghalanginya untuk melanjutkan pertarungannya. "Pangeran Mahkota patuhilah perintah Permaisuri Ye!" Dia berseru pada Pangeran Dong Fang Xian yang berdiri di atap bangunan di belakang bangunan di mana Kasim Zheng dan Wu Hongyi berada. "Kasim Zheng! Aku hanya mematuhi perintah Ayahanda Kaisar! Yang Mulia memerintahkan diriku untuk pergi dari Negeri Utara dan baru diijinkan kembali jika Yang Mulia telah tiada!" sahut Pangerang Dong Fang Xian dari kejauhan. Pangeran Dong Fang Xian berbicara dengan tenang dan tegas. Dia sangat memahami keberpihakan Kasim Zheng dan Kasim Zhou pada Permaisuri Ye. Mereka berdua merupakan Kasim yang terkuat baik posisi, status maupun ilmu beladiri diri, di dalam Istana Meigui Jin. Bahkan Kasim Wang pun belum tentu mampu mengalahkan salah satu dari mereka berdua. "Pangeran, jangan salahkan hamba!" Kasim Zheng m
Tongkat berkilau itu bergerak cepat sebelum pedang milik Rou menyabet Yu Jue. Benda itu menghantam dada Rou dan membuat gadis cantik jatuh ke tanah berlapis salju yang dingin. Seteguk darah muncrat dari mulutnya."Kami hanya ingin membawa kembali Pangeran Mahkota!" Sang pemilik tongkat, seorang pria berpakaian khas berwarna ungu dan hitam, berbicara dengan tegas.Rou berdiri meski tertatih-tatih. Dia mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangannya. "Tidak semudah itu! Lewati aku dulu!" Rou sama sekali tidak gentar. Meski menyadari tongkat perak berkilau di tangan pria itu cukup berbahaya bahkan mungkin mematikan."Gadis kecil, jangan memaksaku!" Pria itu bergerak cepat. Tongkatnya memukul tanah dan salju kembali berhamburan bersamaan dengan batu-batuan yang melapisi halaman utama wisma.Rou dengan cepat menghindar. Dia melompat dan berputar kemudian mendarat di ujung tangga yang menuju aula utama. Meski terluka, tetapi dia masih mampu bertahan d
Pintu gerbang kayu terbuka karena ditendang dengan kekuatan yang cukup besar. Kini pintu gerbang wisma Lonceng Naga itu terbuka lebar. Papan nama kayu yang tergantung di atasnya ikut terjatuh dan terbelah dua. Hanya lonceng naga saja masih tergantung kokoh di atas pintu gerbang itu."Begitulah cara kalian bertamu?" Rou berdiri tegak di tengah halaman aula utama. Dia berdiri seorang diri, menyambut kedatangan para tamu yang tak diundang dan sepertinya juga tidak berniat untuk menginap di wisma selayaknya para tamu yang biasa mengunjungi wisma."Kami sudah membunyikan lonceng di gerbang! Namun, tidak ada yang membukakan pintu gerbang!" sahut salah seorang dari orang-orang yang memaksa untuk memasuki wisma.Dia seorang wanita cantik yang mengenakan hanfu berwarna biru dan putih. Dia melangkah maju mendekati Rou dengan penuh percaya diri."Tentu saja! Bagaimana kami akan menyambut tamu yang datang di tengah malam di tengah musim dingin seperti ini? Bu