Di atas gua pelindung harapan
Ada energi yang terpancar, menembus langit-langit gua hingga membumbung tinggi sampai ke atas langit. Menciptakan fenomena langit dan bumi yang menggetarkan juga menciptakan awan gelap. Setelah beberapa saat, energi layaknya pancaran cahaya itu berangsur-angsur mengecil. Menyusut kembali hingga nampaklah pusat pancarannya. Itu berasal dari sebuah tungku pemurnian yang tingginya hanya setengah meter, berwarna hitam keunguan seperti bahannya yang berupa batu Cryostar.Tungku yang baru saja selesai ditempa, dapat terlihat dari keadaan sang penempanya. Remaja bertelanjang dada, terengah-engah penuh peluh dan terduduk di lantai dengan kedua tangan bertumpu di belakangnya. Senyuman lebar dengan tatapan begitu puasnya terpancar ke arah tungku hasil menempanya, bahkan tidak bergeming saat ada yang mendekatinya.…Hari berikutnyaSania dan Akara pergi menuju kota hutan Araves, ia kini mengenakan topeng mata yang sebelumnyBukan membicarakan tentang pertempuran sebelumnya, melainkan tentang malapetaka yang membuat para Kaisar menghilang. Selain para Kaisar, ternyata di dunia atas juga ada beberapa master aura terkemuka yang juga menghilang. Kegaduhan setelah pertempuran ternyata teredam akibat kedatangan pengganti Kaisar Amerta. Mereka tidak menyangka jika tuan putri merupakan seorang gadis yang masih berusia belasan tahun. "Tapi kecantikannya itu! Semua orang langsung terpana saat itu, bahkan aku saja sampai lupa mau ngapain!" ucap salah satunya diikuti gelak tawa mereka."Belum tentu usianya belasan tahun, sebagai anak kaisar Amerta, tentu saja bakatnya tidaklah biasa. Masih terlihat belasan tahun karena sudah mencapai ranah abadi di usia yang begitu muda dan penuaannya jadi terhenti,""Beberapa tahun lalu ada Lina si Peri Salju yang menjadi master aura muda terkuat, satu-satunya yang bisa mencapai ranah abadi di usia kurang dari dua puluh tahun. Kini bahkan sang Putri Ka
Di lokasi tanaman terakhir, ternyata laki-laki kurus tadi sedang bersitegang dengan dua orang. Ada seorang pak tua tinggi kurus bernama Toni. Ia membawa tongkat kecil di salah satu tangannya, lalu tangan lainnya berada di belakang pinggangnya. Tongkatnya tidak ia gunakan untuk menyangga tubuh, dan hanya ditentengnya saja. Sebab, tubuh tuanya masih memiliki postur tegap.Ada juga seorang remaja bertubuh pendek bernama Donso."Tapi bahan lainnya juga sudah habis," ucap pria bermasker dengan santai, namun pemuda bernama Donso malah dengan arogan berkata."Memangnya aku peduli!? Dan yang akan memurnikan pil itu adalah guruku!" "Permisi!" Akara mendatangi mereka dan berkata. "Maaf, saya membutuhkan bahan obat itu untuk memurnikan pil Astral Jiwa, kalau kalian juga memurnikan pil itu, boleh berbagi bahan? Tenang saja, biar saya yang memurnikannya dan saya hanya akan mengambil satu butir pil," ucap Akara dengan sopan, namun lagi-lagi Donso men
"Sialan, apa mau kalian!?" seru remaja bertubuh pendek."Bahan Pil Astral Jiwa," ucap pria bermasker tanpa basa-basi."Tidak mungkin! Itu milik guruku!""Kalau begitu." Pria bermasker menarik pedangnya. "Ucapkan selamat tinggal pada nyawamu.", lalu diacungkan pada Donso hingga membuatnya terduduk lemas."Jangan!" Remaja bertubuh pendek itu merangkak menjauh, hingga menabrak kaki bawahan bermasker. "Guruku Alred Jati, beliau master alkemis tingkat enam! Kalian tidak akan dibiarkan hidup jika melukaiku!" teriaknya sambil meringkuk ketakutan. Bahkan saat Toni mendekatinya, ia berteriak keras, namun pak tua itu segera meraih tangannya dengan erat."Berikan saja nak Donso," ucapnya pelan."Tapi?.." Donso begitu bimbang, namun terkejut saat melihat pria bermasker berjalan mendekat. "Baiklah!" Ia melemparkan bahan obat yang diperebutkan. "Sudah 'kan!? Lalu lepaskan kami!" teriaknya lagi dengan ketakutan, lalu ekspresinya berub
Ia lalu melesat sambil mengayunkan pedangnya, namun bisa dihindari. "Pintar juga kau menghindar!" pria bermasker terbang melesat, namun selalu saja pemuda berjaket hitam itu menghindar dan mengayunkan cakarnya. Akara tidak menangkis secara langsung karena perbedaan kekuatan, sedangkan kecepatan menghindarnya meningkat akibat energi angin yang menyelimuti tubuhnya. Serpihan dari kristal es pada cakarnya kini menyelimuti pedang milik pria bermasker, bahkan juga menempel di tangannya. Serpihan itu menyebabkan pembekuan di sekitarnya hingga akhirnya pria bermasker menyadarinya."Es ini!?" pria bermasker berhenti menyerang untuk mengamati pembekuan pada pedang dan tangannya. Di saat itulah Akara memanfaatkan kesempatan..Wushh bughh!Pria bermasker menghindari cakarnya, namun ternyata Akara melayangkan kepalan tangan kirinya. Pukulan penghancur hidung, tepat mengenainya hingga membuat hidungnya patah dan mengeluarkan darah. Ia sontak reflek
Akara masih bisa melihat kekasihnya yang sedang begitu khawatir, namun tidak ada suara yang mampu ia dengar. Suasana sunyi cukup lama, lalu ada suara yang berbisik padanya."Patahkan saja kedua kaki dan tangannya, lalu tinggalkan dia! Biarkan pembekuannya hilang dan dia merasakan siksaan dunia!"Ia berusaha menggelengkan kepala untuk berusaha sadar, namun tiba-tiba pandangannya mulai kabur. Ia kemudian berada di tempat yang gelap dan dingin, hanya dirinya sendiri dan kesunyian yang menemani."Sania!?" teriaknya, namun tidak ada jawaban selain dari suaranya yang menggema. "Sayang!?" teriaknya lagi, lalu ada suara wanita yang menyahutnya."Sayang!?" Setelah itu muncul sepasang mata ular yang begitu besar dengan nyala biru."Siapa!?" teriaknya lagi."Siapa? Kau itu milikku, siapa itu Sania!?" Mata besar itu mendekat, lalu nampaklah sosoknya. Naga berwarna biru seperti pada sampul novel ini. Naga elemen Es, bahkan hanya berada di dek
Keesokan harinya, mereka mengecek hasil rampasan kemarin. Berbagai benda mereka dapatkan, dari senjata, tanaman obat, pil, juga artifak dan benda lainnya. Dari semua barang itu tidak ada yang membuat Akara tertarik."Tidak ada barang yang bagus, tanaman obat selain yang kemarin paling mentok hanya level tiga. Senjatanya juga lebih baik aku lebur kembali, kalian kumpulkan saja,"Saat sedang memilah, Alan menemukan sebuah lencana yang berbentuk pusaran angin dengan latar berupa bulan. Ia segera melaporkannya pada Akara."Ada yang tau itu lencana apa?""Sepertinya lencana sebuah organisasi, lebih baik kamu simpan saja." Sania memberikannya pada Akara, lalu setelah itu proses pemurnian pil Astral Jiwa dimulai. Ia membelakangi tungku pembakaran yang biasa ia gunakan menempa, mulai menyiapkan tungku pemurnian dan bahan-bahannya. Ia mulai menyalakan api mutasinya, lalu membuka aura alkemis sebelum memasukkan satu bahan obat. Tidak lama bahan itu tereksrak menjadi cairan mujarab, lalu bahan k
Ada master Alkemis bertubuh gemuk di kota hutan Araves bernama Dong Waru, juga dua master Alkemis level enam di kota Shuyal. Di atas sebuah bangunan besar bertingkat, ada sebuah rumah berdinding dan atap kaca. Bangunan yang sering disebut sebagai 'rumah hijau', ditanami berbagai tanaman mujarab. Di sana ada seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan dengan rambut hitam panjang dan kumis berbentuk garis centang. Aura tenang dan berwibawa terpancar dari penampilannya. Dia seorang Alkemis tingkat enam bernama Alred Jati, ia langsung menoleh ke arah datangnya energi tadi."Alkemis tercela!" gumamnya geram karena mengingat muridnya yang dirampok sebelumnya, namun kemudian dua hentakan energi menyusul. "Terbentuk tiga dari empat pil, seorang Alkemis hebat kenapa melakukan hal yang tercela?" lanjutnya merasa aneh...Di dalam sebuah ruangan tertutup, ada belasan rak dari kayu yang berjejer. Senjata berbagai jenis tertata rapi memenuhinya, dari yang tanpa energi hingga senjata dengan pancar
Seorang pria muda berdiri di depan tungku pembakaran. Bertelanjang dada, memperlihatkan tubuhnya yang terbentuk akibat latihannya selama ini. Kobaran api panas membuat setiap pori-pori di tubuhnya mengeluarkan keringat, sehingga kulit putih kecoklatan itu tampak berkilau. Di salah satu tangannya, ada enam bilah belati kecil, keenam belati itu memiliki energi yang berbeda-beda. Api, es, angin, racun, energi hitam dan juga polosan tanpa energi. Sedangkan di tangan lainnya ada sebuah pedang besar yang dipanggul. Ia berjalan perlahan mendekati seorang pria yang tengah rebahan santai di sebuah lubang pada dinding gua. Pria itu sedang memainkan topeng serigalanya, dengan tudung kepala dari jubahnya menutupi kepala hingga sebagian besar wajahnya. Ia segera menoleh saat mengetahui kedatangan seseorang. Pemuda yang kemudian berkata padanya dengan santai."Ambillah." Akara melemparkan keenam belati tadi padanya. "Enam jalan kematian, semoga membantumu walau hanya level lima," jelasnya."Walau