Share

Bab 3

Author: Sara Davina
Setelah telepon ditutup, polisi menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah yang sulit.

Meskipun mereka langsung menelepon, tetap saja kami tidak bisa melacaknya.

Aku menoleh ke belakang, melihat Adit yang kebetulan lewat mendengar seluruh percakapan, dan sekarang wajahnya pucat pasi.

“Kakak ipar … Apa benar orang tua Kak Fandi diculik? Tapi Kak Fandi bilang padaku kalau mereka dan kau hanya berpura-pura...”

Aku malas berbicara lebih banyak dengannya, kusuruh dia telepon Fandi dan beri tahu dia kebenarannya.

Aku cemas melihat jam, dengan kekayaan pamannya Fandi, sepuluh miliar seharusnya tak perlu memakan waktu lama untuk ditransfer. Setelah beberapa lama, aku meneleponnya, “Giselle...”

Aku baru saja hendak membuka mulut, namun dia menghela napas berat dan mulai berbicara sendiri, “Giselle, berbohong itu nggak baik loh. Lihat saja, di keluarganya Fandi, selain mertuamu, nggak ada yang mau memperlakukanmu dengan baik. Aku pikir, anak sepertimu yang malang harus diberi lebih banyak kesempatan. Tapi... siapa sangka, orang yang malang pasti ada sisi yang membuat orang lain kesal. Kalau bukan karena kebiasaanmu berbohong, bagaimana mungkin Fandi yang baik hati bisa membencimu?”

Wajahku menjadi pucat pasi, tahu bahwa apapun caranya sepuluh miliar itu tak akan bisa terkumpul.

“Om, apa benar Fandi bilang padamu kalau aku sedang berpura-pura?”

Suaraku terdengar sedikit cemas.

“Om boleh nggak mempercayai aku, tapi sekarang polisi ada di sampingku, mereka bisa memastikan apa yang aku katakan itu benar...”

“Kamu nggak perlu sewa orang untuk pura-pura jadi polisi buat nipu Om. Meskipun hari ini kau berhasil menipu Om, apa kau bisa menipu dirimu sendiri? Giselle, Om tahu kau menyukai Fandi dan nggak mau lepas darinya, tapi Fandi sudah ada orang yang dia sukai, dan orang itu sekarang sudah kembali. Kalau kau benar-benar menderita, lebih baik cerai saja sama Fandi.”

Belum selesai dia berbicara, aku langsung menutup telepon dengan wajah yang penuh kemarahan.

‘Sekarang nyawa mertuaku terancam, kenapa malah keluarganya justru menjadikan situasi kritis ini sebagai cara untuk menyerang Fandi?’

Sementara itu, Adit akhirnya berhasil menghubungi Fandi.

“Kak Fandi, dengarkan aku! Situasinya gawat, orang tuamu sepertinya benar-benar diculik ... Polisi ...”

Tak menunggu Adit selesai berbicara, terdengar suara malas dari telepon, sepertinya yang mengangkat telepon adalah Jessi.

“Adit, kenapa sekarang kau ikut-ikutan berpura-pura dengan dia? Bilang, berapa banyak yang dia berikan padamu, aku akan beri dua kali lipat.”

Adit terlihat agak terguncang emosinya.

“Nggak!”

Jessi enggan mendengarkan lebih lanjut, ia menyerahkan ponsel kepada Fandi yang berada di sampingnya, “Fandi, adikmu juga sudah disogok oleh wanita murah itu.”

Dari ujung telepon terdengar suara yang dingin dan tegas, “Adit, jangan buat keributan lagi.”

Adit hampir menangis karena panik, “Kak, Tante dan Om benar-benar dalam bahaya, cepat kirim sepuluh miliar ke rekening istrimu!”

Di sisi lain terdengar suara dengusan dingin.

“Oh, ternyata hanya ingin uangku.”

“Bilang ke Giselle, jangan pura-pura di sini, berakting seolah-olah dia kasihan, benar-benar gila, Jessi nggak ada masalah dengan siapa-siapa!”

Suara telepon yang terputus terdengar jelas. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, hanya bisa tertawa pahit dan berkata pada polisi, “Kita harus berangkat, meskipun uangnya belum cukup, aku tetap harus pergi. Aku akan menarik perhatian para penculik.”

“Nggak bisa, itu terlalu berbahaya untukmu.”

Aku menundukkan kepala.

“Bagaimana kalau ini dilakukan oleh orang yang aku kenal? Mungkin para penculik mengenaliku, kalau kalian yang pergi, mereka bisa curiga.”

Dengan secepat mungkin, aku sampai di Jembatan Musin, dan saat itu juga, penculik menelepon.

“Mana uangnya?”

Aku berdiri menantang angin kencang, suaraku bergetar tak bisa dihentikan.

“Uangnya sudah aku letakkan di bawah jembatan. Uang ditukar dengan nyawa, orangnya di mana?!”

Suara di seberang telepon terdengar tenang, “Orangnya di gedung rusak tepat di depan jembatan, di kamar 301.”

Aku berlari menuju kamar 301. Bau darah yang sangat menyengat langsung menyentuh hidungku, jantungku berdebar keras, dan aku merasakan firasat buruk yang mencekam.

Aku mengikuti jejak darah hingga sampai di depan pintu, kemudian membuka pintu yang setengah terbuka, dan pemandangan yang aku lihat hampir membuatku runtuh.

Perut ayah dan ibu mertuaku terluka parah tertusuk dengan dua lubang besar, darah terus mengalir deras.

Dengan tangisan yang tak bisa dihentikan, aku mencoba menekan luka mereka dengan pakaianku. Namun, ibu mertuaku menghalangi dengan tangannya.

”Sudah tak ada harapan, Giselle,” katanya dengan suara lemah.

Dengan mata yang berkaca-kaca, aku memandangnya dan menggenggam erat tangannya.

”Aku sudah menelepon ambulans, polisi juga sedang dalam perjalanan. Tolong kalian jangan mati dulu, ya? Semua ini salahku, aku yang nggak bisa mengumpulkan uangnya, aku yang menunda-nunda waktu…”

Ibu mertuaku tersenyum lemah, seakan-akan menghabiskan seluruh tenaganya.

“Ini bukan salahmu, dari awal para penculik itu memang nggak berniat melepaskan kami. Kamu sudah banyak menderiat. Fandi banyak berutang padamu. Bercerailah dengan dia, semua harta kami akan kami wariskan padamu, jalani hidupmu yang seharusnya…”

Aku tiba-tiba teringat sesuatu, menangis sambil menelepon Fandi, tangan yang memegang ponsel tak bisa berhenti gemetar.

“Ayah, Ibu, bertahanlah sedikit lagi, aku akan minta Fandi datang menemui kalian sekarang juga…”

Aku mengirim pesan WhatsApp padanya, memberitahunya bahwa orangtuanya terluka parah, memintanya segera datang. Namun, tak ada balasan.

Di mata ayah dan ibu mertuaku, cahaya perlahan menghilang, hingga akhirnya mereka pun berhenti bernapas.

Aku menangis dengan hati yang hancur, menangis hingga pandanganku kabur dan tak bisa melihat dengan jelas.

“Nona Gisselle, apa kau baik-baik saja?”

Polisi datang dan tertegun melihat dua mayat di lantai. Aku hanya merasa dunia di sekitarku berputar, seolah seluruh langit menjadi gelap.

Polisi membantuku berdiri, “Nona Giselle, kami sudah menangkap para penculiknya, uangnya juga berhasil kami amankan.”

Tatapan matanya berkelip, pelan ia berkata padaku, “Maafkan kami, kami datang terlambat.”

“Kami turut berduka cita.”

Related chapters

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 4

    Setelah selesai membuat laporan di kantor polisi, aku hendak pergi, namun bertemu dengan paman dari Fandi. Tampaknya polisi sudah memberitahunya.Melihat diriku, dia tak bisa menahan diri untuk mencibir dan berkata, "Seru sekali, ya? Bermain drama sampai sejauh ini, bahkan mengeluarkan uang untuk menyewa polisi untuk berakting dan menipu aku?"Aku menundukkan pandanganku, tak lagi menatapnya."Om kira aku punya kemampuan sebanyak itu untuk menyuap polisi dan berakting? Jenazah mertuaku sudah dibawa ke rumah duka. Sekarang pergi beri tahu Fandi dan suruh dia segera ke sana."Melihat ekspresi serius dari polisi di sampingku, wajah pamanku tiba-tiba berubah serius.“Kau... jangan bercanda, lelucon begini sama sekali nggak lucu.”“Giselle, katakan pada Om kalau kau sedang berakting! Kalau kau sedang menipuku, katakan sekarang! Katakan kalau kau hanya bercanda, Om pasti nggak akan marah!”Aku menatap pria di depanku yang semakin kehilangan akal sehatnya, lalu menghela napas dalam-dalam.Ak

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 5

    Aku meletakkan surat cerai di hadapan Fandi dan dengan suara lembut ku berkata,“Aku lelah. Ayo kita bercerai.”Wajah Fandi menjadi dingin. Ia menyeringai dengan nada sinis.“Kau serius dengan ucapanmu?”Aku menjawab, “Aku serius.”Dia mengambil pena dengan santai, suaranya terdengar ringan.“Tentu saja aku setuju. Tapi jangan menyesal nanti. Jangan setelah cerai malah setiap hari datang menangis di rumahku, benar-benar menyebalkan.”Aku tersenyum tipis.“Sudah pasti nggak akan.”Fandi pun mengangkat pena dan menuliskan tanda tangannya di atas kertas putih dengan tinta hitam.“Tunggu sebentar!!!”Jessi hanya melirik sekilas dokumen perjanjian tersebut, lalu wajahnya langsung berubah drastis. Dia menjerit, “Fandi! Cepat lihat pembagian harta warisan di perjanjian ini! Wanita jalang ini ternyata ingin mengambil seluruh warisan Ayah dan Ibumu. Nggak akan kubiarkan!!!”Fandi langsung meraih kertas itu dan menghempakannya ke meja, menatapku dengan tatapan terkejut.“Giselle, aku benar-bena

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 6

    Keputusan yang tak diambil oleh Fandi, aku yang mengambilnya untuknya.Selama bertahun-tahun aku membangun usaha sendiri, kini aku memiliki perusahaan yang cukup besar. Meskipun mertuaku mewariskan harta kepada aku, namun aku tidak tertarik untuk merebutnya darinya.Ayah dan ibunya sudah tiada, sungguh menyedihkan.Aku punya hak apa untuk merebut sesuatu dari seorang yatim piatu?Aku memilih untuk pergi tanpa membawa apa-apa dan dalam beberapa hari ke depan aku akan berkoordinasi dengan pengacara.Langkah terakhir adalah meminta persetujuan dari Fandi.Aku tiba di rumah duka, di dalamnya udara dipenuhi dengan bau asap yang menyengat.Seperti sudah tua puluhan tahun dalam semalam, pamannya Fandi terlihat pucat, matanya membengkak, dan ketika melihatku, dia seolah-olah melihat secercah harapan dan langsung menerobos ke arahku.“Giselle, aku tahu kau tak akan pernah meninggalkan Fandi! Dia ada di dalam, cepatlah bujuk dia…”Aku merasakan firasat buruk, segera berjalan cepat menuju ruang p

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 7

    Setelah menyelesaikan urusan pribadiku, aku kembali ke rumah untuk beristirahat selama beberapa hari.Ayah dan Ibu tidak menyalahkanku karena bercerai dengan Fandi. Mereka hanya peduli apakah aku pernah diperlakukan buruk selama bertahun-tahun ini.Hatiku terasa hangat, tapi sekaligus menyesali mengapa dulu aku begitu gegabah menikah dengan Fandi? Aku punya orang tua yang mencintaiku, karier dan pendidikan yang kubangun sendiri. Hidupku seharusnya cukup memuaskan dan bahagia, tapi aku malah memilih terjun ke dalam "kekacauan" yang bernama pernikahan.Aku tersenyum sambil berkata kepada ayah dan ibu, “Hidupku baru benar-benar dimulai sekarang. Aku tak akan lagi hidup demi orang lain.”Beberapa hari kemudian, aku menerima telepon dari kantor polisi.Fandi telah membunuh seseorang dan kini ditahan di penjara.Aku bertanya dengan malas kepada polisi, “Maaf, apa hubungannya ini denganku?”“Nona Giselle, pelaku secara khusus meminta untuk bertemu dengan Anda. Jika dia tidak bisa bertemu Anda

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 1

    Ketika cinta pertama Fandi tiba, aku kebetulan menerima telepon dari penculik."40 miliar! Kau punya waktu satu jam untuk mengumpulkan uangnya. Satu jam kemudian, taruh uang itu di kolong Jembatan Musin. Kalau kau berani lapor polisi, nyawanya akan melayang!"Dengan pengalaman dari sebelumnya, aku mengaktifkan speaker telepon, dan Fandi juga mendengar panggilan itu.Aku menoleh dan bertatapan dengan wajahnya yang suram.Dia terkekeh sinis, "Giselle, bagaimana bisa kau seberani ini? Demi mengusir Jessi pergi, kau bahkan bersekongkol dengan orang tuaku untuk berpura-pura di depanku?"Aku tidak menangis dan berteriak seperti yang dia kira, aku hanya dengan tenang berkata, "Aku nggak sedang berpura-pura. Mertua kita diculik dan butuh 40 miliar untuk tebusan. Sekarang, ambil uang itu."Fandi menatapku dengan tatapan dingin, dan tanpa ekspresi dia berkata "Jadi setelah menikah nggak dapat cinta dariku, sekarang malah mau menipu uangku, ya?"Aku dan Fandi sudah saling mengenal lebih dari dua

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 2

    Meskipun penculik itu melarang untuk melapor ke polisi, setelah berpikir panjang, aku tetap melaporkan kejadian ini ke polisi.Masalah besar seharusnya diserahkan pada ahlinya yang lebih profesional. Setelah melapor ke polisi, aku berjalan cepat menuju kantor polisi.Belum sampai di kantor polisi, aku sudah menerima telepon dari seseorang yang aku kenal. Aku memandang nomor yang menelepon dan mengernyitkan dahi, lalu segera mengangkat telepon.“Tsks.”Yang menelepon adalah sepupu Fandi, Adit. Seperti biasanya, dia tidak sabar padaku, “Memangnya melapor laporan palsu itu menyenangkan? Apa sih salahnya Kak Fandi, kenapa kau begitu kekanak-kanakan?”Semua keluarganya Fandi meremehkan aku, hanya mertuaku yang baik padaku, jadi aku harus menyelamatkan mereka.Aku menjawabnya dengan tenang, “Adit, apa Fandi bilang padamu bahwa aku melapor laporan palsu?”Hening di seberang sana mengonfirmasi kebenaran ucapanku. Aku mendengus dingin dan berkata, “Adit, sebagai polisi, kau menerima panggilan

Latest chapter

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 7

    Setelah menyelesaikan urusan pribadiku, aku kembali ke rumah untuk beristirahat selama beberapa hari.Ayah dan Ibu tidak menyalahkanku karena bercerai dengan Fandi. Mereka hanya peduli apakah aku pernah diperlakukan buruk selama bertahun-tahun ini.Hatiku terasa hangat, tapi sekaligus menyesali mengapa dulu aku begitu gegabah menikah dengan Fandi? Aku punya orang tua yang mencintaiku, karier dan pendidikan yang kubangun sendiri. Hidupku seharusnya cukup memuaskan dan bahagia, tapi aku malah memilih terjun ke dalam "kekacauan" yang bernama pernikahan.Aku tersenyum sambil berkata kepada ayah dan ibu, “Hidupku baru benar-benar dimulai sekarang. Aku tak akan lagi hidup demi orang lain.”Beberapa hari kemudian, aku menerima telepon dari kantor polisi.Fandi telah membunuh seseorang dan kini ditahan di penjara.Aku bertanya dengan malas kepada polisi, “Maaf, apa hubungannya ini denganku?”“Nona Giselle, pelaku secara khusus meminta untuk bertemu dengan Anda. Jika dia tidak bisa bertemu Anda

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 6

    Keputusan yang tak diambil oleh Fandi, aku yang mengambilnya untuknya.Selama bertahun-tahun aku membangun usaha sendiri, kini aku memiliki perusahaan yang cukup besar. Meskipun mertuaku mewariskan harta kepada aku, namun aku tidak tertarik untuk merebutnya darinya.Ayah dan ibunya sudah tiada, sungguh menyedihkan.Aku punya hak apa untuk merebut sesuatu dari seorang yatim piatu?Aku memilih untuk pergi tanpa membawa apa-apa dan dalam beberapa hari ke depan aku akan berkoordinasi dengan pengacara.Langkah terakhir adalah meminta persetujuan dari Fandi.Aku tiba di rumah duka, di dalamnya udara dipenuhi dengan bau asap yang menyengat.Seperti sudah tua puluhan tahun dalam semalam, pamannya Fandi terlihat pucat, matanya membengkak, dan ketika melihatku, dia seolah-olah melihat secercah harapan dan langsung menerobos ke arahku.“Giselle, aku tahu kau tak akan pernah meninggalkan Fandi! Dia ada di dalam, cepatlah bujuk dia…”Aku merasakan firasat buruk, segera berjalan cepat menuju ruang p

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 5

    Aku meletakkan surat cerai di hadapan Fandi dan dengan suara lembut ku berkata,“Aku lelah. Ayo kita bercerai.”Wajah Fandi menjadi dingin. Ia menyeringai dengan nada sinis.“Kau serius dengan ucapanmu?”Aku menjawab, “Aku serius.”Dia mengambil pena dengan santai, suaranya terdengar ringan.“Tentu saja aku setuju. Tapi jangan menyesal nanti. Jangan setelah cerai malah setiap hari datang menangis di rumahku, benar-benar menyebalkan.”Aku tersenyum tipis.“Sudah pasti nggak akan.”Fandi pun mengangkat pena dan menuliskan tanda tangannya di atas kertas putih dengan tinta hitam.“Tunggu sebentar!!!”Jessi hanya melirik sekilas dokumen perjanjian tersebut, lalu wajahnya langsung berubah drastis. Dia menjerit, “Fandi! Cepat lihat pembagian harta warisan di perjanjian ini! Wanita jalang ini ternyata ingin mengambil seluruh warisan Ayah dan Ibumu. Nggak akan kubiarkan!!!”Fandi langsung meraih kertas itu dan menghempakannya ke meja, menatapku dengan tatapan terkejut.“Giselle, aku benar-bena

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 4

    Setelah selesai membuat laporan di kantor polisi, aku hendak pergi, namun bertemu dengan paman dari Fandi. Tampaknya polisi sudah memberitahunya.Melihat diriku, dia tak bisa menahan diri untuk mencibir dan berkata, "Seru sekali, ya? Bermain drama sampai sejauh ini, bahkan mengeluarkan uang untuk menyewa polisi untuk berakting dan menipu aku?"Aku menundukkan pandanganku, tak lagi menatapnya."Om kira aku punya kemampuan sebanyak itu untuk menyuap polisi dan berakting? Jenazah mertuaku sudah dibawa ke rumah duka. Sekarang pergi beri tahu Fandi dan suruh dia segera ke sana."Melihat ekspresi serius dari polisi di sampingku, wajah pamanku tiba-tiba berubah serius.“Kau... jangan bercanda, lelucon begini sama sekali nggak lucu.”“Giselle, katakan pada Om kalau kau sedang berakting! Kalau kau sedang menipuku, katakan sekarang! Katakan kalau kau hanya bercanda, Om pasti nggak akan marah!”Aku menatap pria di depanku yang semakin kehilangan akal sehatnya, lalu menghela napas dalam-dalam.Ak

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 3

    Setelah telepon ditutup, polisi menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah yang sulit.Meskipun mereka langsung menelepon, tetap saja kami tidak bisa melacaknya.Aku menoleh ke belakang, melihat Adit yang kebetulan lewat mendengar seluruh percakapan, dan sekarang wajahnya pucat pasi.“Kakak ipar … Apa benar orang tua Kak Fandi diculik? Tapi Kak Fandi bilang padaku kalau mereka dan kau hanya berpura-pura...”Aku malas berbicara lebih banyak dengannya, kusuruh dia telepon Fandi dan beri tahu dia kebenarannya.Aku cemas melihat jam, dengan kekayaan pamannya Fandi, sepuluh miliar seharusnya tak perlu memakan waktu lama untuk ditransfer. Setelah beberapa lama, aku meneleponnya, “Giselle...”Aku baru saja hendak membuka mulut, namun dia menghela napas berat dan mulai berbicara sendiri, “Giselle, berbohong itu nggak baik loh. Lihat saja, di keluarganya Fandi, selain mertuamu, nggak ada yang mau memperlakukanmu dengan baik. Aku pikir, anak sepertimu yang malang harus diberi lebih banyak kes

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 2

    Meskipun penculik itu melarang untuk melapor ke polisi, setelah berpikir panjang, aku tetap melaporkan kejadian ini ke polisi.Masalah besar seharusnya diserahkan pada ahlinya yang lebih profesional. Setelah melapor ke polisi, aku berjalan cepat menuju kantor polisi.Belum sampai di kantor polisi, aku sudah menerima telepon dari seseorang yang aku kenal. Aku memandang nomor yang menelepon dan mengernyitkan dahi, lalu segera mengangkat telepon.“Tsks.”Yang menelepon adalah sepupu Fandi, Adit. Seperti biasanya, dia tidak sabar padaku, “Memangnya melapor laporan palsu itu menyenangkan? Apa sih salahnya Kak Fandi, kenapa kau begitu kekanak-kanakan?”Semua keluarganya Fandi meremehkan aku, hanya mertuaku yang baik padaku, jadi aku harus menyelamatkan mereka.Aku menjawabnya dengan tenang, “Adit, apa Fandi bilang padamu bahwa aku melapor laporan palsu?”Hening di seberang sana mengonfirmasi kebenaran ucapanku. Aku mendengus dingin dan berkata, “Adit, sebagai polisi, kau menerima panggilan

  • Pengkhianatan di Tengah Duka   Bab 1

    Ketika cinta pertama Fandi tiba, aku kebetulan menerima telepon dari penculik."40 miliar! Kau punya waktu satu jam untuk mengumpulkan uangnya. Satu jam kemudian, taruh uang itu di kolong Jembatan Musin. Kalau kau berani lapor polisi, nyawanya akan melayang!"Dengan pengalaman dari sebelumnya, aku mengaktifkan speaker telepon, dan Fandi juga mendengar panggilan itu.Aku menoleh dan bertatapan dengan wajahnya yang suram.Dia terkekeh sinis, "Giselle, bagaimana bisa kau seberani ini? Demi mengusir Jessi pergi, kau bahkan bersekongkol dengan orang tuaku untuk berpura-pura di depanku?"Aku tidak menangis dan berteriak seperti yang dia kira, aku hanya dengan tenang berkata, "Aku nggak sedang berpura-pura. Mertua kita diculik dan butuh 40 miliar untuk tebusan. Sekarang, ambil uang itu."Fandi menatapku dengan tatapan dingin, dan tanpa ekspresi dia berkata "Jadi setelah menikah nggak dapat cinta dariku, sekarang malah mau menipu uangku, ya?"Aku dan Fandi sudah saling mengenal lebih dari dua

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status