Damar mendengkus kesal, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Manik matanya masih menatap Dean yang berbicara sambil menahan emosi.Dean kesal pada Damar yang secara sepihak membatalkan pertunangannya dengan Athalia.Tapi di sisi lain, Damar telah memberikan ancaman yang membuat Dean tak bisa berkutik.“Wanita itu sudah membutakanmu. Jika kau lebih mencintai dia daripada Papa dan Mamamu, kejar saja dia! Menikah tanpa restu kami! Tapi jangan pernah bawa Dirly dan Papa pastikan saat kau kembali, kau hanya akan melihat pemakaman Papa!” tegas Damar yang sekali lagi membuat tangan Dean mengepal.“Nenek, wanita simpanan itu apa?” Dean dan Damar segera menjeda perdebatan mereka saat mendengar suara halus Dirly.Mereka pun memutar kepala dan melihat ke arah tangga.“Dirly?!” Dean terkejut melihat Dirly yang sudah berdiri di ujung tangga atas dan berdiri di samping Rita.Rita merangkul Dirly, tapi wajah w
Malam hari, sebuah mobil berhenti di depan teras kontrakan Athalia. Pemilik mobil itu belum beranjak turun dari mobilnya. Matanya masih lurus mengamati pintu kontrakan itu yang tertutup.Athalia salah jika mengira Dean malu dan marah padanya karena tak pernah menemuinya setelah acara pertunangan yang gagal itu.Justru selama ini Dean membiarkan Athalia karena ingin memberikan wanita itu waktu untuk menenangkan diri.Kini Dean menarik napas sejenak, lalu bergerak turun dari mobilnya.“Semoga saja Athalia mau bicara denganku,” ucapnya sambil menyingsingkan lengan kemeja hingga menggulung ke siku, kemudian mengayun langkah dan berdiri di depan pintu.Dean mengangkat tangan, lalu mengetuknya.Tak berselang lama, terdengar suara langkah dari dalam sana yang bergerak untuk membuka pintu.Dean tersenyum saat daun pintu berayun terbuka dan sosok Athalia mematung di hadapannya.“De … an?”&ldq
Namun selang satu menit masih tak ada jawaban. Dirly pun menarik wajahnya dan mengulum senyum kecewa. Lantas berbalik pergi melangkah gontai ke kamarnya.Dirly tidak tahu, sebenarnya Dean mendengar dan masih berdiri di dekat pintu kamarnya. Matanya berkaca-kaca, lantas setetes air meluncur jatuh ke pipi.“Saya tak pernah melihat Nona Athalia keluar dari dalam kontrakannya selama beberapa hari ini, Tuan. Sesekali saya hanya melihat dia berjemur di depan rumah atau menyapu lantai. Kadang menyambut ibunya yang pulang sehabis berjualan,” ucap seorang lelaki yang saat ini sedang mengamati kontrakan Athalia dari kejauhan.Lelaki itu sedang berbicara dengan bossnya melalui sambungan telpon. Ia menyampaikan informasi yang ingin diketahui oleh bossnya itu.“Jadi dia sudah tak berkerja lagi di mana pun?” tanya Mahesa dari seberang telpon.Greg mengangguk. “Sepertinya begitu, Tuan.”“Tapi aku yakin kalau Athalia pasti memb
Namun suara dehaman Rita membuat Damar menarik kembali telunjuknya dengan segera.Baik Damar maupun Dean, keduanya sama-sama memasang wajah seolah tak terjadi perdebatan apa-apa ketika melihat Dirly melangkah turun dengan tubuhnya yang sudah mengenakan seragam sekolah lengkap.“Kita sarapan dulu, Yuk!” Rita berseru pelan, tersenyum pada Dirly sambil menuntun tangan bocah itu mendekati meja makan.Mata Dean mengamati Dirly yang kini duduk di balik meja makan dan menikmati sarapannya dalam diam. Dirly menunduk, tak sedikit pun mengangkat pandangannya untuk sekadar memberikan senyum selamat pagi pada Dean.Mendesah pelan, Dean menghampiri anaknya dan mengecup puncak kepalanya.“Sarapannya yang banyak. Papa berangkat kerja dulu. Oke?”Dirly tak menjawab, hanya mengangguk samar dan berpura-pura sibuk dengan makanannya.Dean melangkah pergi, berhenti di dekat Damar yang masih berdiri tegap. Menatapnya dengan dala
Kelima pelamar lainnya pun terkejut melihat Mahesa, bedanya hati mereka langsung berbunga-bunga, tak menyangka jika pemimpin mereka adalah seorang lelaki tampan yang begitu berkarisma.Mahesa merasa puas melihat raut terkejut di wajah Athalia. Mahesa melangkah santai dan mendekat.Ketika kelima pelamar itu menatap Mahesa penuh rasa kagum. Athalia justru menunduk dan tertohok oleh tatapan Mahesa yang dalam ke arahnya. Athalia tahu arti tatapan itu.“Jadi, mereka calon karyawan yang kau katakan di telpon tadi, Andin?” tanya Mahesa duduk di kursi khusus dan menghadap para pelamar yang berdiri.Andin mengangguk. “Iya, Tuan. Anda sudah melihat CV mereka dan Anda setuju untuk memilih mereka berenam.”“Ya, aku sudah melihat CV mereka semua.” Mahesa mengangguk-anggukan kepala. “Resti, Rena, Fitri, Nova dan Nancy, kalian berlima bisa ikut ke ruangan HRD untuk penandatanganan kerja. Sedangkan Athalia tetap di
“Mahesa? Kau kenapa?” meski baru saja direndahkan oleh lelaki itu, tapi Athalia tak bisa menyembunyikan kepanikannya demi melihat Mahesa yang seperti tengah kesakitan.Athalia mendekat, tapi Mahesa segera mengangkat tangan, menahannya agar tak lebih dekat lagi.“Athalia … Athalia … “ tanpa sadar bibir Mahesa menggumamkan nama itu berkali, membuat mata Athalia berkaca-kaca.Athalia meremas tangannya, menahan diri untuk tak memeluk lelaki itu. Suara Mahesa terdengar begitu lembut saat menyebut namanya berkali-kali. Apakah itu artinya ingatan Mahesa sudah kembali?Mahesa terduduk di lantai, menunduk dan merasakan rasa sakit di kepalanya yang perlahan mereda.Melihat Mahesa mengatur napasnya, Athalia pun menghampiri lelaki itu dan berjongkok di sampingnya.“Mahesa, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanya Athalia, menyentuh pundak kanan Mahesa.Mahesa melirik ke arah tangan halus Athalia yang
Athalia mengerjap saat tangan Yasna mengusap pipi kanannya.“Kak Athalia!” panggil Yasna.“Engh, iya Yasna?” terkejut, Athalia segera menatap Yasna.Dan helaan napas pelan keluar dari mulut remaja tanggung itu. “Hhh … mulutku sudah nyerocos berbicara ini itu, tapi ternyata Kak Athalia malah melamun.” Yasna menepuk jidatnya.“Ya sudahlah, aku mau tidur saja. Besok aku ada ujian. Selamat malam, Kak!”“Selamat malam, Yasna!” Bangkit dari duduknya, Yasna beranjak keluar kamar dan meninggalkan Athalia.Seperginya Yasna, Athalia kembali berbaring dan menarik selimut.Akan tetapi, ia mengerutkan kening saat tak sengaja melihat ke arah gelang berwarna merah bergambar mickey mouse yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.Gelang itu telah mengingatkan Athalia pada seseorang.“Dirly!” ucap Athalia, menatap nanar gelang itu dengan sorot
Begitu mendengar kabar dari Bik Inah bahwa cucu mereka sedang sakit, Rita dan Damar langsung pergi ke rumah Dean. Bahkan mereka sampai rela membatalkan penerbangan ke Surabaya hanya agar bisa melihat keadaan Dirly.Hancur hati mereka saat melihat kondisi Dirly yang lemah. Sebelah tangannya dihias oleh selang infusan.“Dirly, ayo makan dulu! Nenek suapin ya, sayang.” duduk di samping ranjang Dirly, Rita menyodorkan sendok ke depan mulut cucunya, berharap Dirly mau membuka mulut dan menelan makanannya.Namun bocah itu tetap terdiam. Hanya menunduk dengan tatapan yang lesu.“Dirly, kau ingin pergi ke toko buku dan membeli koleksi komik lagi, ‘kan? Papa akan mengajakmu ke sana. Tapi kau harus menghabiskan makananmu. Apa kau masih ingat yang pernah Papa katakan? Jagoan tidak pernah cengeng.” Dean berkata karena melihat mata Dirly yang memang memerah tanda habis menangis.Sejak tadi pagi, Dirly belum memasukan apa pun ke dalam perutnya. Bocah itu menutup rapat mulutnya dan menolak makan mau
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s