“Akkhh! Sakit!”Di belakang, tadinya Raditya ingin menolongnya, tapi dibatalkan setelah melihat Vanesha sudah baik-baik saja, walau meringis menahan sakit.Mereka pun bisa melanjutkan perjalanannya karena sudah lampu hijau.Rambut Vanesha jadi berantakan.Suasana di dalam mobil kembali hening lagi. Radit hanya memperhatikannya dari belakang.“Nih! Ambil ini!” dengan kasar, Raditya menarik selembar uang seratus ribuan dari dompetnya dan dilemparkan pada Vanesha dari belakang.“Ini… apa, Tuan?” tanyanya memungut uang tersebut yang sempat jatuh di dekat kakinya.“Pakai tanya lagi! Itu adalah uang ganti dari uangmu yang kau berikan pada gembel itu!” jawabnya, kembali melihat sisi jalan dan menopang dagu di tangannya.“Tapi… tidak perlu, Tuan. Saya juga ikhlas kok ngasihnya.”“Jangan cerewet dan ambil saja! Aku juga ikhlas menyumbangkannya padamu!”Vanesha diam merenungkannya dulu, “Iya, terima kasih, Tuan.”Akhirnya mereka sudah sampai di lokasi. Para kru dan pemain sudah terlihat diluar
Vanesha tidak jauh dari tempat Raditya syuting, itu karena sebelumnya dia diharuskan oleh majikannya itu untuk tetap berada di dekatnya, dan melihat bagaimana caranya dia untuk syuting.“Hey, Vanesh.”“Ya?” Vanesha melihat Lili yang baru datang dan langsung duduk disampingnya.“Aku dengar, pak Sutradara menawarkanmu untuk menjadikanmu seorang artis ya?”“Apa? Oh… itu hanya isengnya saja kok, gak serius.”“Masa? Tapi, dia sampai memberikanmu kartu namanya kan? Langsung dari tangannya kan?”Vanesha menggaruk pipinya karena bingung mau mengatakan apa lagi.Lili melihat Vanesha sampai dia duduk miring untuk memperhatikan teman sesama asisten artis. Vanesha sampai bingung mengapa Lili melihatnya mulai dari kaki hingga wajahnya, “Lili, ada apa? Kenapa kau melihatku seperti itu?”“Kau kan cantik, dipoles dikit saja, kau sebenarnya lebih cantik dari Jovanka, artis perempuan yang sedang main dengan Raditya. Memang, kau kurang tinggi dibandingkan dia, tapi kau cukup imut loh.”“Akh, gak usah m
Vanesha memelankan kecepatan mobilnya, dan melihat kiri-kanan untuk mencari penjual kelapa. Raditya hanya duduk di sebelah kirinya, tidak membantu mencari pedagang kelapa, dan hanya sibuk dengan ponselnya, bermain game kesukaannya.“Tuan, anu, kita cari ke mana lagi? Di daerah sini gak ada jual air kelapa. Apa kita kembali saja dulu? Anda kan istirahatnya hanya setengah jam saja. Kalau pak Sutradaranya marah-“Tidak! Pokoknya aku mau minum air kelapa sekarang! Harus dapat, sebelum kembali.”Ya ampun! Rasanya Vanesha ingin bilang, ‘Tidak ada!’ tapi Vanesha harus patuh, agar tidak dikatakan cerewet atau bawel.Berusaha untuk bersabar, Vanesha memperluas jarak jangkauan untuk mencarinya lagi.“Tuan, itu, ternyata ada di sana.” Ucap Vanesha menunjuk di depannya. Raditya melihat arah yang ditunjuk, “Ya udah, cepat kesana!”“Iya Tuan.”Lega rasanya karena akhirnya Vanesha menemukannya. Itu artinya, dia bisa kembali ke lokasi syuting, walau waktunya sudah sangat mepet.Ketika mobil yang mere
Raditya melirik tajam pada tangan yang menyentuh tubuhnya.“Anu, maaf Mba, kamu salah paham. Dia bukan artis. Jadi, bisa gak tinggalkan kami?” Vanesha berusaha berbicara tenang agar tidak membuat majikannya tidak nyaman, walau dari awal sudah salah.Perempuan itu masih penasaran dan sangat yakin. Dia tidak mau pergi, dan beraninya dia menarik topi dan kacamata Raditya secara serentak.“Tuh kan benar, dia artis. Ya ampun, dia artis dewasa yang seksi itu kan?”Semua orang jadi berdiri dan berlomba-lomba ingin melihatnya. Walau Radit masih memakai masker hitam, tapi sudah terlihat jelas, mereka mengenalnya.“Tolong jangan ke sini! Biarkan kami!”Vanesha yang berusaha melindungi Raditya dari mereka yang tidak perduli padanya, mendorongnya hingga menjauh dari Radit. Walau samar, Radit bisa melihat jarak dari Vanesha.“Kak, foto dong.”“Aduh, ganteng banget. Mau jadi suami ketiga-ku gak?” bahkan mereka tak sungkan menyentuh dan mencubit pipi Radit.“Menjijikan!! Pergi kalian semua!!” teriak
“Cut! Radit, kau masih kurang fokus. Kita sudah mengulangnya lima kali, tapi kenapa kamu masih saja melakukan kesalahan yang sama?!” sutradara sangat marah. Karena sutradara marah besar, semua jadi kena omelan, termasuk tim dan krunya.“Maafkan aku, akan aku ulang lagi.”“Tidak! Sebaiknya-“Ini yang terakhir. Jika aku masih melakukan kesalahan, aku siap dikeluarkan dari proyek ini.”Sutradara melihat sekitarnya. Dan dia pun memberikan kesempatan terakhir, “Baiklah, mari kita ulang. Kalau masih sama, aku akan melakukan yang kau katakan tadi. Semuanya bersiap lagi!”“Vanesh!” Radit memanggil Vanesh, dia melambaikan tangannya.“Saya?” Vanesha menunjuk dirinya sendiri.“Iya, kau! Siapa lagi?”“Vanesh! Cepatlah pergi kesana! Supaya syuting ini bisa berjalan.” Suruh sutradaranya juga.“I-ya.”“Cukup!” Raditya memajukan tangannya menyuruh Vanesha berhenti dilangkah terakhirnya, “Kau berdiri saja di sana tanpa melakukan apapun.”“Hm? Memangnya ke-“Mulailah syutingnya!”Sejak Vanesha berdiri
Dengan tidak tahu malunya, Raditya memainkan ‘Burungnya’ yang sedang berdiri tegak dan berurat.“Tu-Tuan! Apa yang anda lakukan? Kita sedang ditengah jalan. Bagaimana kalau ada orang yang melihat?”“Apa kau bodoh? Sudah berapa kali kau mengemudikan mobil ini? Tidak ada yang bisa melihat dari luar, bodoh!”“Ta-tapi tetap saja! Suara anda pasti terdengar sampai keluar-“Itu bukan masalahku kan? Aku tidak bisa tidak bersuara. Akkhh… sshh… rasanya… hey, buka matamu!”“Tidak mau Tuan! Hentikan dulu itu, baru saya turunkan tangan saya.”“Kau mengancamku? Cepat buka matamu dan lihat kesana! Kemudikan mobilnya sekarang!”Suara klakson dari kendaraan lain dibelakang mobil membuat Vanesha tersadar sedang ada di mana. Itu tidak bisa membuatnya lama menutup mata.“Hah! Apa kau dengar itu? Sshh…” Raditya masih sibuk ‘Mengocok’ dengan satu tangannya. Vanesha berusaha untuk fokus, tapi suara desahan dan erangan Raditya membuatnya sesekali kehilangan konsentrasi.Tiba-tiba mobil rem mendadak, hampir
Hari berikutnya. Seperti biasa, Vanesha datang ke rumah Raditya untuk menjemputnya.Masuk ke dalam kamar, dan melihat, tidak ada orang yang berbaring di ranjang, yang artinya, majikannya sudah bangun.Vanesha tidak langsung duduk diam dengan manis, dia menyiapkan semua keperluan lainnya.“Hmm… aakhh.. shh…” suara desahan dari dalam kamar mandi.‘Apa yang terjadi? Apakah Tuan Raditya sakit di kamar mandi?’Tok! Tok! Tok!“Tuan? Anda tidak apa-apa?”Suara erangan dari Radit semakin keras dan jelas sejak dia mendengar suara dari Vanesha.“Tuan?!” lagi, Vanesha mengetuk pintunya.Ceklek!“Maaf Tuan, saya terpaksa masuk karena saya khawatir pada anda.”Vanesha pun segera mencari Raditya, dengan pikiran yang polos.“Akhh! Ya ampun! Anda melakukan ‘Itu’ lagi?” Vanesha menutup mata dan mengalihkan wajahnya, walau sempat melihat benda ‘Itu’ yang tegak berdiri dan mengeras.Bukannya menutup diri karena malu, Raditya malah secara terang-terangan menunjukan tubuhnya yang telanjang dibawah guyuran
Raditya marah ketika melihat Jovanka membully asistennya. Karena Radit marah, Jovanka mendengus meninggalkan Vanesha dengan tatapan tajam.‘Huuff… syukurlah dia sudah pergi. Apa dia begitu benci padaku?’ Vanesha lega karena tidak jadi menjadi bahan isengan Jovanka.Hari itu, kegiatan syuting berjalan dengan lancar. Apalagi tidak ada adegan ‘Panas’ kebanyakan.“Jangan lupa dengan janjimu.” Ucap Raditya, yang sudah duduk di belakang Vanesha yang mengemudikan mobil. Mereka dalam perjalanan pulang.“Janji? Saya janji apa denganmu, Tuan?”“Hah? Kau benar-benar lupa apa pura-pura?”“Tidak Tuan, saya benar-benar lupa. Sungguh.”“Ck! Kemarin kau berjanji padaku untuk menjadi partner latihanku.”“Oh?”“Sepertinya kau sudah mengingatnya kan?”“Mmm, iya, Tuan. Tapi, apa benar harus saya?”“Memangnya siapa lagi? Kau kan bekerja untukku, kau asistenku! Gajimu besar hanya dariku, jadi-“Iya iya Tuan. Saya mengerti.”“Bagus. Malam ini kau harus tinggal bersamaku.” Suara Raditya tidak marah lagi, sed
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da