Kejutan! Summer anak siapa hayoo? Nanti dia punya cerita sendiri, ya. Sekarang dia numpang lewat doang jadi cameo. Wkwk .... Yang kangen Sky atau mau baca-baca tentang dia, bisa cek Istri Presdir yang Hilang, ya. Dan kira², persoalan makam Cayden itu gimana? Tunggu bab selanjutnya!
"Ini yang kau temukan? Cayden ... telah berbaring di sini?" Emily tersedak oleh kesedihan. "Itulah yang pertama kali kupikirkan sebelum akhirnya, aku menemukan kejanggalan." Air mata Emily seketika membeku di pelupuk. "Kejanggalan?" Sky membuka halaman kedua. Potongan artikel berita tersusun rapi di sana. "Ini adalah hasil tangkapan layar yang dulu ingin kuperlihatkan padamu. Kau tahu? Saat itu, ini menjadi berita besar. Tapi hanya dalam beberapa jam, semua berita itu hilang." Bola mata Emily bergetar samar. Ia telusuri satu per satu artikel di depannya. “Quebracha Berduka. Kecelakaan maut telah merenggut nyawa putra terbaiknya.” “Cayden Evans meninggal setelah sempat dilarikan ke rumah sakit. Princeton Evans, sang adik, kini sedang berjuang melewati fase kritis." "Pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan terkait penyebab kecelakaan. Pihak keluarga menduga itu adalah pembunuhan berencana." Kemudian, perhatian Emily beralih ke foto dua pria yang tampak serupa dan fami
"Domba Keriting, jangan nakal! Ayo pakai kalungmu! Kamu sudah kupilih untuk menjadi pemimpin. Kamu perlu ini supaya teman-temanmu mau menurut, dan supaya aku lebih mudah mengenalimu. Domba Keriting!" Summer berlari sambil melambai-lambai. Di tangannya, tergantung seutas tali yang telah diikat dengan sebuah lonceng. Entah karena takut pada bunyi gemerincing atau suara si gadis kecil, domba yang diincar terus menjauh. Alhasil, mereka berdua lari berputar-putar pada arena di dalam pagar. "Summer, berhentilah mengejar domba malang itu! Apakah kau tidak kasihan padanya? Dia ketakutan. Kalau dia stres, bulunya bisa rontok nanti." Bukannya mendengarkan, Summer malah berlari lebih kencang. Tawanya yang bergema menggelitik semua hati yang mendengar. "Tidak, Mama. Domba itu adalah calon pemimpin kawanannya. Dia tidak boleh takut menghadapi apa pun. Dia harus tegas dan pemberani. Karena itu, dia harus memakai kalung. Ini adalah lambang keberaniannya. Domba Keriting!" Sambil meng
"Ini ...." Emily menarik napas dalam-dalam. Matanya tidak bisa lepas dari nama si pengirim pesan. "Apakah ini Prince—maksudku Cayden? Karena dia tidak bisa memberitahuku secara langsung, dia terpaksa menghubungiku lewat email?" Dengan mata berkaca-kaca dan hati yang penuh harap, Emily membuka pesan. Saat itulah, jantungnya berdebar hebat. Paru-parunya mendadak penuh dengan emosi yang didominasi oleh kegembiraan. Cayden Evans melampirkan sebuah gambar! Pada badan teksnya, terdapat sebuah kalimat, "Fotografi human interest telah menjadi favoritku sejak foto ini." "Ini jelas kata-kata Prince. Tidak salah lagi. Ternyata dia memang benar-benar Cayden! Lalu apa ini? Mungkinkah ...." Emily menelan ludah. Dengan jemari yang gemetar, ia mengunduh file. Begitu gambar ditampilkan, ia cepat-cepat menutup mulutnya. Seiring dengan desah tawa, keharuan menetes dari sudut mata. Itu adalah foto dirinya yang berumur empat tahun di peternakan kuda! Foto yang diambil oleh Cayden tanpa sepengetah
"K-kau siapa?" tanya Emily dengan suara tercekat. Sekujur sarafnya menegang. Ia seperti sedang melihat hantu di depannya. Mengetahui ketakutan sang gadis, pria bertopeng itu kembali bersembunyi dalam bayang-bayang. Saat itulah, Emily dapat melihat jalannya yang pincang meski telah dibantu oleh sebuah tongkat. "Apakah aku menakutimu?" Pria itu menunduk. Sebelah tangannya terangkat memastikan bahwa topengnya terpasang dengan benar. "Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Kalau saja aku tahu kau tidak sanggup melihatku ...." Pria itu mendesah berat. "Aku seharusnya tidak menepati janjiku untuk menemuimu." Emily berkedip bingung. Matanya enggan berpaling dari sang pria. "Kau yang mengirimiku email itu? Kau ... sungguh Cayden?" Sang pria meruncingkan telunjuk. Alih-alih menjawab, ia malah masuk dan kembali bersama sebuah kotak berukuran agak besar yang tampaknya berat. "Apa itu?" tanya Emily was-was. "Kau sudah bersusah payah datang kemari. Sangat disayangkan kalau perjalana
Semakin lama Emily memikirkan Prince, semakin banyak duri yang tumbuh di hati. Ketika ia tidak tahan mengatasi nyeri, tangannya terangkat mencengkeram dada. "Tapi itu tidak seperti sandiwara. Aku merasa dia tulus—" "Itu hanya akal-akalannya saja, Emily. Dia mahir melakukan itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia berhasil menggaet banyak perempuan di luar sana? Dia berpura-pura menjadi diriku." Sementara Emily terjebak dalam kebingungan, Cayden berkata lembut, "Prince yang bersamamu selama beberapa hari terakhir ini palsu. Dia hanya sedang berusaha memenuhi misi terakhirnya untuk menghancurkan hidupku. Dia tahu betapa pentingnya dirimu bagiku. Dia ingin merebutmu, memilikimu seutuhnya sehingga aku patah." Emily tanpa sadar menggelengkan kepala. Ia masih kesulitan mencerna informasi yang terlalu mengejutkan baginya. "Kau adalah motivasiku untuk bertahan, Emily. Kalau sampai kau jatuh dalam pelukannya, aku tidak bisa membayangkan hidupku akan menjadi seperti apa. Aku tidak pun
"Cayden Evans?" Summer menyipitkan mata. Kedua tangannya masih menempel di pinggang. "Aku tidak pernah mendengar nama itu. Siapa kamu, Cayden Evans?" "Aku seorang fotografer yang telah mengenal Emily jauh sebelum ibumu mengenalnya. Kami sudah lama terpisah, tapi baru sekarang kami bisa bertemu lagi. Aku bahkan bisa ada di NZ karena mengikutinya." Bibir Summer mengerucut. Pipinya sedikit menggembung. "Apa buktinya kalau kau teman Bibi Emily?" Prince berlari mengambil kameranya. Ia tunjukkan foto dirinya dan Emily di Mont Saint Michel. Summer pun memperhatikan dengan saksama. "Laki-laki ini tampak sepertimu," gumamnya sembari membandingkan. "Mata, hidung, mulut. Kurasa ini memang dirimu. Kau juga terlihat akrab dengan Bibi Emily. Kalau begitu, sekarang aku percaya kau berteman dengan Bibi." Merasa gemas, Prince mengelus kepala Summer. "Kalau begitu, bisa tolong kau panggil Emily sekarang? Ada hal penting yang perlu kubicarakan dengannya." "Bibi tidak ada di sini, Tuan. Dia
"Emily ...." Prince tampak senang telah menemukan Emily. Namun, melihat siapa yang berdiri di belakang sang gadis, wajahnya berubah cemberut. Ia cepat-cepat menghampiri. Sayangnya, pria bertopeng maju ke depan Emily. Sambil mengacungkan tongkat ke arah Prince, ia menggertak, "Jangan mendekat!" Kemudian, ia menoleh tipis ke balik pundaknya. "Jangan takut, Emily. Aku akan melindungimu." Prince mendengus mendengar itu. Sambil memiringkan kepala, menatap gadis yang mengintip di belakang musuh, ia berkata lembut, "Nona Harper, cepat kemari. Menjauhlah dari laki-laki itu. Dia pembunuh." Alis Emily berkerut. Ia terjebak lagi dalam kebingungan yang membuatnya mematung. Siapa yang harus ia percaya? Prince atau "Cayden"? "Nona Harper?" Suara Prince menggetarkan hati Emily. Selang satu helaan napas, ia akhirnya buka suara. "Kalian berdua, bisakah kalian berdamai saja? Kalian bersaudara. Kalian tidak seharusnya bermusuhan." Prince terbelalak menatap Emily. "Kau bilang kami berdua ber
"Emily, ayo pergi dari sini!" desak pria bertopeng sambil menariknya pergi. Akan tetapi, Emily enggan bergerak. Ia sama sekali tidak bergeser dari posisi. "Kau mau meninggalkan Prince sendirian di sini? Dia bisa mati!" "Tidak usah pedulikan dia. Luka tembak itu sudah biasa baginya. Dia hanya berpura-pura kesakitan demi mendapatkan simpatimu." Emily mendesah tak percaya. Ia menarik lengannya dari genggaman "Cayden", berbisik, "Tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian." Emily kembali membungkuk, membantu Prince berdiri. Namun, lagi-lagi, ia dihalangi. "Emily, dengarkan kata-kataku. Ikut aku dan tinggalkan laki-laki ini." "Dia adikmu, Cayden! Meskipun benar dia pernah mencelakaimu, kau tidak berhak membunuhnya. Di mana nuranimu?" timpal Emily dengan suara serak. Hidungnya kembang-kempis mengimbangi emosi. Sementara Cayden mendesah tak percaya, Emily kembali memperhatikan pria yang masih menekan luka. "Ayo, Prince. Jangan sampai kau kehabisan darah." "Kau le
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa