Menahan marah dengan kesabaran yang seperti di akhir batas, rasanya sungguh menyiksa. Herdion sudah berniat meminta pada bodyguard dan seorang polisi ketua sidak untuk menggeber pintu saja dengan terus menerus. Agar alarm yang dimatikan dari dalam terus kembali berbunyi. Namun, sekilat sinar dari atas pintu membuat bibir urung terbuka. Herdion beserta orang-orang di depan pintu pun sedikit menyingkir. Sangat paham bahwa seseorang di dalam sedang memasukkan sandi pintu. Menduga kuat bahwa orang itu tentu saja Julian!Mereka semua menunggu dengan degup. Tidak terkecuali pun Hisam Ardan, juga Hana yang tampak pias dengan mata melebar nanar pada pintu. Apalagi sang tuan pemilik wanita sandera di dalam sana, Herdion. Bahkan sedang menahan napas dan tidak berkedip menatap pintu di hadapan.“Anda harap mundur ke belakang sedikit, Tuan,” bisik polisi ketua sidak pada Herdion. Segera mengganti posisi Herdion dan bersiaga bersama senjata api di depan pintu.Menyadari keamanan diri pun penting
Sebab sangat cemas dan waswas sebelum berhasil mendapat kembali sang istri, kinipun sudah dalam pelukan semula, rasanya tetap saja tidak tenang. Semua sebab terpikir dengan adik dan ayah yang sedang dalam perawatan di rumah sakit.Karena alasan kuat itulah Herdion terpaksa membawa Aresha direct pulang menyeberang ke Indonesia di Pulau Batam. Ingin segera mengurus Taufiq dan melihat keadaan papanya. Namun, Syahfiq Herdion juga memesan kamar spesial di atas kapal feri. Merasa iba pada sang istri yang terlihat pucat pasi.“Apakah enak?” Herdion tersenyum melihat Aresha yang makan sangat lahap. Merasa lega, pertanda sang istri baik-baik saja dan sehat.“Aku tidak tahu, apa ini enak apa tidak. Hanya yang kuingat, beli makanan dalam kapal, rasanya selalu tidak enak. Tetapi ... sekarang, makanan ini membuatku ingin makan dan terus ingin makan,” ucap Aresha sambil tersenyum. Cara makannya sungguh lahap. Membabat cepat beberapa ragam menu yang sudah dibelikan Herdion. Mereka duduk di serambi l
Herdion dan Aresha sepakat menuju rumah terlebih dulu dan tidak langsung ke rumah sakit. Sebab merasa diri bahwa pakaian yang menempel di badan bisa jadi sumber penyakit. Tidak ingin kian terkontaminasi jika dipaksa memasuki bangsal di perawatan pesakit.“Stop it, Bang Fiq …!” pekik Aresha sambil berkelit menjauh. Herdion akan menyentuh bukit di dada Aresha kala melepas baju dan menukar. Kini lelaki itu diam dengan menyandar punggung di almari dan sekadar memandang. Tidak ingin memburu yang membuat sang istri jadi panik.“Maaf, Bang … kita ini sedang sangat buru-buru. Habis kamu suka tidak terkendali hingga lupa waktu. Takutnya jam kunjungan akan berakhir dan kita tidak sempat lagi. Aku sudah sangat ingin melihat kedua mertuaku,” ucap Aresha sambil terus berbenah diri.“Aku tahu …,” sahut Herdion mengalah. Senyum smirk terbit di ujung bibir merah.“Ya sudah, ngapain lama-lama diam begitu. Cepat tukar bajumu. Nanti habis waktu …,” ucap Aresha tegas mengingatkan. Sebenarnya kasihan ju
Siti Yasmin hingga menangis terisak sebab tiba-tiba Aresha sudah di depan mata. Demikian juga Yunus Herdion yang kini sudah sanggup tersenyum dengan wajah yang berbinar dan cerah. Memandang takjub dan penuh senyum pada menantu. Menyambut kembalinya penuh sukacita dari tangan penculik gila.“Mama dan papamu sangat terkejut kamu tiba-tiba datang, Sha. Apalagi tidak ada luka sedikit saja di badanmu."“Fiq, bukankah mamamu ini sudah pesan, lebih baik menginap barang semalam di Singapura. Kasian sama Aresha yang pasti kelelahan.” Siti Yasmin mengomeli sang putra di sela mengusap air di matanya. Aresha masih dirangkul manis dengan sebelah tangan.“Nggak apa-apa, Ma. Aku dan Bang Syahfiq sama-sama ingin cepat melihat keadaan Papa,” ujar Aresha menengahi sambil memandang papa mertua yang terus tersenyum bahagia.Rasa bersalahnya mulai pudar dengan ditemukan Aresha dan kini kembali di bawah payung keluarga. Yunus Herdion yang merasa teramat bersalah tidak akan bisa memaafkan diri sendiri anda
Jantung dalam dada serasa jatuh ke perut. Kalimat dan kata seolah sangkut di mulut. Sebab sebuah tepukan kasar yang mendarat di pundak mendadak. Aresha begitu terkejut sehingga mata indahnya terbelalak.“Miana …?!” pekik Aresha meluah rasa kaget. Wanita yang tiba-tiba menyapa dengan menepuk pundak adalah wanita yang dulu sangat tidak menyukainya, apa sekarang sudah sama sekali tidak? Entahlah, Aresha bahkan ragu hanya untuk menilai kebaikan Miana.“Kamu kenapa di sini?” Miana juga terlihat amat heran. Mata indahnya pun melotot lebar.“Aku …,” ucap Aresha menggantung sebab rasa bingung.“Non Miana, Nyonya Aresha datang bersama Tuan Herdion. Ingin melihat Venus,” ucap suara tua yang menyela dan dia adalah Mak Sal.“Lekaslah lihat, antar dia Mak Sal. Ponakanku nangis terus, tuh! Repot banget, deh. Heran, pelet dari dulu masih saja manjur. Kapan lunturnya …,” ucap Miana sinis menanggapi.Aresha terkesiap. Sekian purnama berlalu pun, sikap Miana masih pedas seperti itu. Dia sangka perempua
Memilih kesenangan Venus adalah pertimbangan paling utama. Mengingat orang tuanya juga sudah tiada, keluarga Hisam merelakan bayi itu dibawa Herdion pagi-pagi ke Batu Ampar. Bayi itu sudah segar kembali dan sama sekali tidak demam. “Maaf, kami tidak bisa melihat keadaan Taufiq. Kami berdoa semoga Allah selalu memberikan yang terbaik.” Nur Fatimah melepas kepergian Venus dengan berbicara sejenak pada Herdion.“Tidak masalah, Nyonya. Anda mengizinkanku membawa Venus saja itu sudah meringankan segala urusanku. Salam buat Tuan Ardan. Apa Miana masih tidur?” Herdion tidak mendapati wanita berperut buncit itu. Baik saat sarapan di meja makan atau sekarang saat sudah akan perjalanan. Sedang ayahnya Hisam, Tuan Ardan, tidak ikut menjenguk Pak Yunus dan Venus sebab pergi menemani Hisam ke mana-mana. “Seperti itulah Miana. Sudah menikah dan akan punya anak pun selalu lambat bangun. Lelah Mama menasihatinya, Fiq,” sahut Nur Fatimah yang mengeluh akan putrinya. Merasa tidak masalah meluah rasa
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw