“Kak Nadia, ayo temani aku main bola!” teriak Sean yang kini sudah berlari ke taman di samping rumah. Hari itu dirinya pulang lebih awal, jadi dia tidak pulang dengan sang ayah.Ketika Nadia sedang sibuk menemani Sean bermain bola, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan halaman rumah. Seorang wanita cantik berpakaian modis dengan kacamata hitam tampak keluar sambil menenteng tas mewah. Hal itu membuat Nadia bertanya-tanya mengenai siapa tamu tersebut.“Sean?” panggil wanita itu dari balik pintu gerbang dengan sebuah senyuman, mengalihkan pandangan bocah kecil tersebut.Seketika, wajah Sean berubah ceria. "Mama!"Nadia pun langsung mengerti. 'Oh, jadi itu ibu kandung Sean?' batinnya seraya menghampiri wanita itu bersama Sean. 'Kalau nggak salah ... namanya Monica?'Menyadari bahwa satpam gerbang sedang tidak di tempat, Nadia pun langsung membukakan pintu. Wanita dengan rambut coklat bergelombang dan bibir kemerahan nan ranum itu pun melenggang masuk dan memeluk Sean."Sean, saya
"Apa yang kamu pikir kamu lakukan kepada orangku?!"Pertanyaan Daniel membuat Monica tampak terkejut. Apa maksud pria itu dengan ‘orangku’? Mengesampingkan hal tersebut, Monica sendiri tidak menyangka pria tersebut pulang lebih cepat dari biasanya. "Kamu sudah pulang?" Dia terlihat tidak peduli dengan apa yang telah dia lakukan pada Nadia.Dengan tatapan mata tajam, Daniel menggeram, "Aku bertanya, apa yang kamu pikir telah kamu lakukan!?" Bentakan pria itu bergema di seluruh penjuru rumah, menyebabkan beberapa pelayan yang mendengar langsung berlari ke ruang tamu untuk mengecek keadaan. "Siapa yang mengizinkan wanita ini masuk ke rumah ini?!""Oh, ya ampun!" seru sang kepala pelayan ketika melihat darah yang berceceran di lantai. Dia juga terkejut melihat sosok Monica di ruang tamu kediaman itu.Melihat sang kepala pelayan telah tiba di ruang tamu, Daniel langsung membentak, "Bawa Nadia, periksa tangannya dan pastikan dia baik-baik saja!""B-baik, Tuan!" balas sang kepala pelayan yan
"Kamu ini gimana sih, kenapa tadi diam saja dan nggak minta tolong? Apa kamu nggak takut jika Nyonya Monica melakukan hal lebih sama kamu?" Kepala pelayan mengomeli Nadia selagi dirinya mengobati tangan gadis itu. “Lihat ini, lukanya dalam sekali!”Nadia pun tertawa dengan canggung. Jujur saja, dirinya di zaman sekolah dulu adalah seorang berandal, suka berkelahi, bahkan dengan para laki-laki. Luka yang Nadia derita sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan luka bekas tawuran dulu."Saya lebih takut jika dipecat dari sini sih, Kak,” balas Nadia sembari menggaruk kepalanya. “Ibu masih butuh banyak uang untuk bisa kembali sehat," jawabnya sembari tertawa untuk menceriakan suasana.Akan tetapi, ucapan Nadia malah membuat Kepala Pelayan menjadi semakin tidak enak. Dia pun menasehati, “Lain kali, kalau Bu Monica datang, jangan biarkan masuk tanpa seizin Pak Daniel. Selain itu, kalau ada yang berani bersikap seperti ini lagi atau kurang ajar sama kamu, teriak aja. Kami semua yang di s
Nadia membuka matanya perlahan. Gadis itu merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, tapi rasa nyeri yang paling kentara berasal dari area intimnya."Ugh … sakit," lirihnya.Samar, dia menatap ruangan yang tak asing, namun juga tak terlalu akrab. Suara deru napas seseorang membuatnya menoleh ke samping. Seketika, matanya membulat.Pria tampan itu masih memejamkan matanya rapat. Jantung Nadia berdetak semakin kencang. Apa ini semua? Pikirnya.Dia bukan gadis bodoh. Mereka kini berada di ranjang yang sama!Wajah Nadia mulai memucat seolah darah dikuras habis dari tubuhnya. Dia lantas memeriksa tubuhnya dan kembali terkejut ketika sadar tak ada sehelai benang pun yang melekat di kulitnya.Wajah Nadia seketika jadi pias. Ingatan kemarin malam kembali muncul dan membuatnya hampir berteriak.'Ini nggak mungkin,' batinnya lagi sambil menggigit bibirnya.Perlahan, Nadia menyibakkan selimut dan duduk di sisi ranjang. Dia meremas sprei dengan perasaan yang campur aduk. Bisa dilihat, kulitnya kini dihi
Bab 9“Papa!” seru Sean yang turun dengan Nadia ke ruang makan.Melihat sosok Nadia yang berada di samping Sean, jantung Daniel berdetak kencang. Dia hanya menganggukkan kepala kepada putranya dan terdiam setelah meminta anaknya untuk duduk.Sesekali, netra hitam Daniel mendarat pada sosok Nadia. Mengingat kembali akan kesalahannya semalam, juga dengan kenyataan dia telah merenggut kesucian gadis tersebut, rasa bersalah pria itu menjadi semakin besar.Akan tetapi, ketenangan Nadia membuat Daniel bertanya-tanya. 'Kenapa … dia tidak membuat keributan dan meminta pertanggungjawaban?' batin Daniel. Sejak bangun tadi, Daniel sudah bersiap akan keributan yang mungkin saja terjadi. Tapi apa ini? Nadia malah lebih sibuk mengurus Sean dibandingkan mencari penyelesaian masalah mereka?!Nadia yang tengah sibuk menyuapi Sean, juga merasa seseorang sejak tadi meliriknya. Tapi, gadis ini pura-pura tak tahu. Tidak Daniel ketahui, dalam pikiran gadis itu, hanya ada satu pertanyaan penting. Apa dirin
“Operasi ibumu berhasil. Sekarang, kita hanya perlu menunggu kapan beliau sadar,” jelas seorang dokter yang di sampingnya ditemani seorang suster. “Seharusnya, tidak lama lagi.”Mendengar hal itu, senyuman merekah di wajah Nadia dan matanya berkaca-kaca. Dia membungkuk hormat kepada sang dokter seraya berkata, “Terima kasih, Dok! Terima kasih!”Ketika dokter keluar dari ruangan, Nadia pun duduk di samping tempat tidur sang ibu. Dia menggenggam tangan ibunya yang begitu kurus sampai tulang terlihat menonjol.“Ibu dengar kata dokter, ‘kan? Ibu sudah baik-baik saja,” ucapnya dengan suara rendah sembari mengelus wajah sang ibu. “Ibu akan segera sadar."Setelah sekian lama ibunya berada dalam keadaan koma, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan kabar baik mengenai sang ibu. Ibunya akan sadar, dan Nadia percaya itu.Walau memang operasi ini berlangsung setelah sebuah malapetaka terjadi, tapi Nadia rela. Demi sang ibu, bahkan harga diri rela gadis itu jual.Tanpa Nadia ketahui, ada sepa
"Apa ini?" Nadia tampak kebingungan saat menerima sebuah surat dari Daniel di ruang kerja pria itu. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap sosok pria yang memasang wajah datar itu."Mulai minggu depan kamu akan kuliah khusus di hari Sabtu dan Minggu."Mata Nadia membulat dengan sempurna. Apa telinganya tak salah dengar? Kuliah? Kenapa sangat mendadak?"A-apa? Kenapa Anda tiba-tiba--""Tak ada alasan khusus. Aku hanya ingin baby sitter anakku tidak bersikap memalukan dan mengajarkan kata-kata yang tidak benar," kilahnya penuh kebohongan. Daniel tak ingin mengatakan yang sebenarnya. Cukup dia seorang saja yang tahu alasannya.Nadia tersentak kaget. Kata-kata Daniel barusan terkesan menyinggungnya sebagai gadis yang 'bodoh' dan tak berpendidikan.Gadis itu pun menurunkan pandangannya, lalu terkejut dengan jurusan yang didaftarkan Daniel untuknya. “Sastra?” Matanya berbinar, dan tangan Nadia menutup mulutnya. Dia melirik pria di hadapannya. ‘Bagaimana … bisa dia tahu aku–’Sebelum dirinya
"Oh, jadi maksud kamu saya nggak pantas jadi suami kamu?"DEG!Detik itu juga, tubuh Nadia membeku. Suara bariton familier itu mengakibatkan mata gadis itu membulat, mulutnya bahkan menganga lebar. Perlahan, pandangan Nadia terangkat, melihat sosok Daniel kini sudah bersandar tepat di kusen pintu kamar Sean dengan kedua tangannya terlipat di depan dada.‘Sejak kapan pria dingin itu ada di sini? Seberapa banyak yang dia dengar? Ya Tuhan! Habis sudah!’Dengan tatapan tajam netra hitamnya, Daniel mengulangi pertanyaannya, “Gimana Nadia, saya nggak layak jadi suami kamu? Gitu maksud kamu?”"A-anu itu … saya cuma bicara tentang fakta, Tuan.” Nadia memutar otak. “S-saya ‘kan bawel, Tuan ‘kan jutek– Eh! Maksudnya kalem, jadi nggak cocok.” Dia menutup mata rapat dan berbicara cepat setengah berseru, “Intinya, nggak kebayang deh kalau kita nikah!”Semakin Nadia mencoba menjelaskan, dia malah menggali masalah makin dalam. Gadis itu bisa melihat tatapan tajam Daniel seolah-olah ingin mengulitiny
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h