Selamat membaca.
Dari kerumunan paling belakang, seorang wanita dengan tudungnya mendekat."Apa yang terjadi disini?"Kaget. Pria paru baya berkumis itu menyapu dadanya karena ada yang bertanya secara tiba-tiba, tapi saat di lihat dari asing wajahnya wanita bertudung itu. Pria paru baya berkumis belah dua itu sadar, kalau itu hanyalah penjelajah yang lewat."Itu, ada seorang putri yang terkena penyakit langkah. Kasihan sekali!" jelasnya."Dan siapa nama putri itu?"Entah mengapa, Almosa yang sedang menyamar berharap kalau bukan nama Emabell yang akan pria itu sebutkan nantinya."Anda tidak mungkin mengenalnya, tapi namanya Emabell!"Positive thingking saja. Mungkin bukan Emabell yang itu, mungkin Emabell yang lain."Emabell?" ulang Almosa, hanya bisa melihat dari tempatnya tampa mengatakan apa-apa.Pria paru baya itu berubah sendu, mulutnya merapar dan matanya berkaca-kaca seakan sangatlah terluka dengan kabar sakitnya Emabell. Lalu dengan berat hati, ia menganggukan kepalanya. "Ya, dia—Emabell kami. Satu-sarunya Emabell di Clossiana Frigga, putri paling terkenal milik Dante dan Angely."DEG! Jantung Almosa menunjukan keterkejutan, begitu juga dengan matanya. Yang terlihat melebar singkat, karena tak menyaka kalau Emabell berbohong soal melanggar aturan territory.Sang pria berkumis itu kembali menjelaskan. "Semua mengenal Emabell, karena selalu datang di saat yang kritis. Benda-benda yang dikatakan gadis itu saat berkunjung di kediamaan yang sakit, anehnya. Adalah obat untuk menyembuhkan pasien.""Dan kalian tak curiga?"Pria berkumis itu tertawa. "Kenapa harus curiga, Emabell kan, selalu memberikan benda yang ia katakan sebagai mainan itu begitu saja. Lalu pulang tanpa tahu manfaat obat yang ia bawa.""Obat?""Ya, biasanya berbahan mentah. Jamur, kerang, bunga, bahkan lumut dan ranting yang anehnya adalah bahan obat-obatan yang sempurna."Penjelasan sang pria paru baya berkumis itu, membuat Almosa yakin. Kalau Emabell telah melanggar hukum Territory yang berlaku, tetapi pertanyaannya—bagaimana bisa ia melakukannya serapi itu? Bahkan dari pihak penghuni pinus tak ada laporan apapun. Jadi, siapakah Emabell?"Jadi saya...."Saat pria paru baya itu hendak bercerita lagi pada wanita di sampingnya, Almosa justru menghilang begitu saja dari tempat tersebut. Lantas, ia pun mencari ke arah kiri dan kanan. "Nona penjelajah? Nona penjelajah...."***Angin malam berhembus menerpaku, sontak aku kembali terbangun dari tidurku lagi. Berjalan menuju jendela, melihat apakah masih ada orang atau tidak? Ternyata sudah kosong."Bagus!" gumamku senang.Berikutnya, ku lepaskan tali rajut berbahan kain ke luar jendela. Lalu turun dengan halus seperti pemadam kebakaran dalam buku yang pernah Nike ceritakan padaku.Sampai ke tanah. Nike sudah menungguku."Lama sekali!" Kesal Nike."Aku ketiduran, maaf. Kita pergi sekarang!" ujarku meminta maaf sambil tersenyum kecil pada Nike, temanku yang selalu ada untukku.Kami berdua, lalu berjalan menuju suatu tempat. Di dekat hutan beringin, menuju ke arah sebuah kereta tua yang tak digunakan lagi, tampak berkarat, berlumut, dan penuhi tanaman rambat—kereta itu dulu, terhubung langsung ke kerajaan-kerajaan timur, barat, selatan dan utara. Tapi aturan Territory memaksa kereta untuk berhenti berobrasi. Sekarang, tinggal fana dengan Fana, abadi bersama dengan abadi."Emabell ayo masuk!" ajak Nike, menarikku masuk ke gerbong kereta.Dan ya, aku terkejut. Buku yang begitu banyak, lampu seadanya. Kunang-kunang yang membantu menerangi. "Luar biasa!""Iyakan." Bangga Nike. "Ini markasku, buku-buku ini harusnya sudah musnah. Tapi kakekku mengumpulkannya, dan memberikan kehormatan menempatinya padaku!"Tetapi semua yang Nike katakan, tak aku dengarkan dengan baik. Karena hanya takjub pada tempat ini. Jadi dia bilang apa barusan?!***Beberapa saat yang lalu, Almosa yang dalam wujud pria dewasa dengan jenggot tipis sedang mengintai di sekitaran rumah Emabell. Tetapi Almosa terkejut, saat melihat seseorang membuka jendela lantai dua."Emabell!"Tebakkan Almosa benar, itu memang Emabell yang sedang melarikan diri dari kamarnya sendiri."Kali ini, apa lagi yang ingin kamu lakukan?" bingung Almosa pada jalan pikir Emabell, yang sakit saja. Tetapi bisa terus terlihat baik-baik saja.Hendak mendekat, membantu Emabell. Tapi semua Almosa urungkan, saat melihat gadis lain yang sudah mengunggu di bawah. Itu, membuat Almosa tersenyum sinis.Mengikuti mereka berdua sampai ke tempat persembunyian mereka, di kereta tua. Sebelum menghilang bagai bayangan yang lewat.Bersambung....Selamat membaca. Di kereta tua. Nike menandangku penuh tanya, tetapi aku juga tahu. Kalau sebenarnya ia juga cemas pada kondisiku. "Jadi bagaimana kamu bisa sampai terkena penyakit itu?" tanya Nike akhirnya. "Aku takut loh Emabell?"Aku lantas tersenyum. "Sama aku?""Bukan, kapan sih kamu pernah serius?" kesal Nike karena aku malah mengajaknya berkelahi dengan kata-kata. "Iya, maaf-maaf!" ucapku meminta maaf. Sebelum aku menjelaskan asal mula mengapa aku bisa sampai sakit seperti ini, sembari membalik lebaran demi lembaran kertas pada sebuah buku besar, yang ada pangkuanku. Tapi mataku berhenti pada sebuah kalimat sederaha namun bermakna. "Darah sang turunan penguasa utara!" Pikirku membatin."Jadi mana penjelasannya?" tuntut Nike. "Iya." jawabku singkat, sebelum kembali membalik buku dan menjelaskan. "Untuk mendapatkan batu karang perak, aku menyelam sampai ke kedalaman lautan terdalam. Aku hampir gagal karena sulit bernafas, tapi seekor ikan pari membantuku. Selama beberapa saa
Selamat membaca. Informasi yang Almosa dapatkan langsung ia sampaikan pada sang raja, dengan detail."Jadi apakah kita harus menangkap gadis itu karena melanggar territory? Almosa?" saran Darka pada Almosa yang sedang menundukkan kepalanya. "Tetapi Almosa, kita bukanlah pihak yang rugikan. Bangsa Pilatasus dari hutan pinuslah yang harus melapor, karena mereka yang dirugikan.""Tapi yang mulia, mereka tak melaporkan apapun selama lebih dari 20 tahun terakhir. Di hitung semenjak Emabell lahir.""Kalau begitu biarkan saja, dia mati ataupun tidak. Bukanlah urusan saya!" ungkap Darka dengan kejamnya. "Tapi yang mulia....""Kamu tidak terlihat seperti Almosa yang kukenal?" sambung Darka. Kali ini Almosa terdiam. Benar, selama melayani Darka. Perasaan seperti ini tak pernah ada, bukan cinta. Tapi rasa penasaran, dan juga rasa untuk menolong dan melindungi. Entah mengapa, Emabell membuat rasa penasaran tergerak. Seolah ada magnet pada diri Emabell. "Baik yang mulia, hamba mengerti!"Dark
Selamat membaca. "Clossiana Frigga!" sebut Kafkan, sembari menutup matanya. Menghirup aroma pedesaan, yang kaya akan danging manudia dan darah manusia yang begitu lekat dirasakannya. Dari bawah gunung batu, perbatasan Clossiana Frigga dan wilayah kerajaan utara. Ia membuka matanya. Lalu berkata. "Haruskah ku bakar saja Desa ini, agar gadis itu keluar dari persembunyiannya?"Pikiran yang mungkin akan membuat Darka dan Almosa murka. Karena kalau sampai gadis itu tak selamat, maka ia juga sudah di pastikan tak selamat. Kafkan hanya bisa mendengus pasrah. Sebelum suara tawa lembut menyambut. ***Beberapa saat sebelumnya.Aku Emabell, menyatakan kalau aku bukanlah orang yang sedang sakit parah sampai keluar pun tidak boleh. Lalu, dengan kesalnya aku keluar alias melarikan diri dari rumah dengan secarik surat yang ku letakan di atas meja. Isinya: "jangan ganggu aku!"Singkat padat dan jelas, harusnya cukup untuk membuat ayah dan ibu tak mencariku. Kali ini. "Maaf Nike!" aku tahu, kalau
Selamat membaca. "Bukankah memaafkan orang itu baik?" tanya Kafkan balik. Itu membuat Emabell berpikir. "Kan?" desak Kafkan , ingin Emabell setuju. "Benar!" jawab Emabell. Sontak Kafkan langsung menjentikan jarinya bangga, merasa pintar dibandingkan siapapun di dunia ini. "Itu dia maksud saya!""Kalau begitu Emabell minta maaf ya.""Tidak mau!" balas Kafkan dengan senyuman liciknya. Sedang Almosa hanya bisa menggelengkan kepalanya, pada tingkah keduanya. Memilih diam, dan menikmati suara Emabell dalam diam yang baginya sangatlah unik. "Kenapa kamu sangat menyebalkan sebagai seorang laki-laki?" "Aku belajar banyak dari manusia yang sedang mengoceh, di depanku saat ini!" Ledek Kafkan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya pada Emabell. Kafkan merasakan Energi berwarna dan indah dari dalam diri Emabell. Saat gadis itu meresponnya sedari tadi. "EMABELLL!"***Suara memanggil namaku lagi. Seperti suara Nike yang panik. "Aku harus pergi!" Pamitku pada mereka. Tak bisa terus-terus
Selamat membaca. "Emabell, sama seperti kamu membantu saya. Saya juga akan membantu kamu Emabell," kata sang tabib. Dia masih muda, tabib kesayangannya Clossiana itu sudah seperti kakak bagiku. Tapi kali ini, ia tak bisa memabntuku. Lantas, aku menundukan kepalaku. Menatap buram ke arah lantai, menahan rasa sakit di hatiku. "Emabell!""Tapi kamu tidak bisa membantuku Tara!" ujarku padanya senbari menatapnya dengan senyuman penuh pilu. Sedang Tara, sang tabib menatapku sendu. Tak percaya kalau aku akan mengatakan hal itu. Lantas. Tara pun mengangguk-anggukan kepalanya dengan rahang yang mengeras, tangannya juga mengepal dengan kuatnya. "Kamu benar, kakakmu ini. Memang tidak bisa menjadi hebat dari seorang Emabell, jadi tolong sembuhlah!"***Permintaan di sertai isakkan yang terdengar sampai di luar, hanya bisa membuat sang ayah menghembuskan nafasnya kasar karena tak bisa berbuat banyak untuk putrinya yang sedang sakit. Diam, membiarkan Seanoasa Tarascyna. Berbicara sebagai ka
Selamat membaca. Saat hampir pagi, aku terbangun dari tidurku. Lalu berjalan turun melewati anak tangga kayu dengan cepat. "Hati-hati nanti..."Brukkk! 'Awww' ya, karena tidak hati-hati dan terlalu terburu-buru, serta ceroboh. Jadi aku jatuh mencium lantai rumah bibi Anne, lagi! Dan seperti biasa kakiku terluka, namun kali ini cukup menyakitkan. Bibi Anne mengobatiku. "Makanya hati-hati kalau menuruni tangga, sekarang berdarah kan!"Tapi aku hanya terkekeh. "Maaf, dan, terima kasih." Setelah di perban, aku bangkit dari dudukku. Lalu berjalan ke arah cermin lama yang terlihat retak, sampai-sampai wajahku menjadi tiga bayang. Tapi masih bisa dipakai. Dan ya. Mataku tidak bengkak, tidak merah lagi. Dan itulah yang membuat aku takut juga suka saat tinggal di rumah bibi Anne, sebab aku kembali menjadi Emabell yang ceria. "Bibi, aku pulang dulu ya. Sampai jumpa, aku mencintaimu bibi!""Hati-hati...."Bukh! Dan lagi. Kepalaku menjedot pintu yang ternyata belum terbuka. Semua karena a
Hatiku sakit saat harus meninggalkan mereka. Tetapi aku harus pergi, aku harus sembuh, aku harus jadi lebih sehat. ***Suara kereta kuda terdengar beriringan memasuki istana hitam. Setiap kereta, diberikan tanda wilayah masing-masing. Setiap perwakilan keluar dari kereta kuda masing-masing. King Herdian Laskaris, dari kerajaan Rulyria bagian barat. King Desadan Sider, dari kerajaan Irlanga bagian selatan. Kemudian, King Nesesbula Safalis dari kerajaan Gratarus, bagian Timur. Giri dari kerajaan Pilatasus, hutan pinus. Dan Emabell dari Clossiana Frigga. Aku tak meminta kalian menghafal nama mereka. Tetapi kalian bisa menandai Nesesbula Safalis, sebagai raja yang kurang menyukai kepemimpinan Raja utama Elydra. "Salam."Kafkan menyambut dengan hormat, mempersilahkan semua utusan untuk masuk ke dalam ruangan rapat tentang Territory. Duduk di tempt masing-masing, dan Emabell berada dipaling jauh dari kursi Raja utama. Almosa masuk. Sebagai perwakilan dari utara. Mengantikan Darka. Tan
Selamat membaca. Pingsan karena serangan penyakit sialanku itu kambuh. Aku akhirnya bisa membuka mataku, meski rasanya begitu berat. Namun…. DEG! Mataku malah membelak, terkejut saat melihat pria asing sedang berada di atasku. "Tenanglah!" Suara, dan tatapan pria itu serta Energi kelam keluar dari tubuhnya. Yang mengartikan kalau pria itu berbahaya! Itu yang otakku peringatkan. Mata kami terus bertemu, sampai ia mengigit lengannya sendiri. Itu membuat mataku semakin terbuka. "Baginda!" ujarku. Sadar. Aku mencoba untuk menghindar dari ranjang. Tapi…."Ku bilang tenanglah!"Pria yang tak lain adalah King Darka itu sendiri. Menarik bahuku, menahanku tetap di tempat semula—aku ingin menangis. Siapapun tolong aku! "Buka mulutmu!" titahnya. Aku mengeleng dengan sangat cepat. Aku ingin sembuh, tapi ini tidak benar. Aku ketakutan—aku menarik kembali keinginanku. "Emabell!"Tiba-tiba…."AKHHH!" Aku meringis saat ia mengingit leherku. "Ba-baginda…" Aku mendorongnya. Tetap menutup mulutku
Selamat membaca. Tabir pelindung yang terbentuk di atas dunia Elydra itu mampu menyerap setiap api kemarahan Darka, meski terlambat. Tapi kekuataan itu begitu besar sampai setiap kaki yang berdiri akhirnya tak mampu lagi untuk berdiri—semua mahkluk akhirnya menghormati Emabell, bahkan para tetua yang tersisa menundukan kepalanya.Bukan karena kekuataan lagi. Tapi karena pengorbanan seorang manusia biasa pada dunia yang dengan hebatnya menolaknya sebagai ratu, tapi dengan sangat luar biasanya ia bela dengan mengorbankan nyawanya sendiri."Mungkin agak terlambat, tapi kini kau akan menjadi ratu kami. Satu-satunya ratu kami, Emabell kami."Aku menang. Tapi tunggu, aku kewalahan karena menahan kekuataan Darka. Keringat dingin memenuhi tubuhku, tapi tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku di panggang!WUSH!Lenyap. Ah, rupanya aku juga tumbang. Baginda…tolong aku?!Gelap.***Beberapa hari kemudian, akhirnya aku sadar. Seolah tersadar dari mimpi, atau terbangun di dalam mimpi.Aku me
Selamat membaca.Raja dan Ratu, dan setiap makhluk yang mengisi aula utama Gratarus yang mengag dan indah saling tatap. Mereka kebingungan dengan alis yang mengerut sempurna—bagaimana tidak, pasalnya aku yang sudah seperti kehilangan kendali akan dirinya sendiri tiba-tiba saja menjadi tenang."Kau baik-baik saja Nak?" tanya ayah. Melirik ke arahku yang sedang berjalan menuju altar. "Emabell?""Ya ayah? Aku baik. Sangat baik." ucapku sembari tersenyum. Meski hatiku sangat ragu sekarang—"ternyata benar ya ayah, memilih itu sangat mudah. Yang susah itu, adalah bertahan." Kataku sambil mengumbar senyuman khas seorang Emabell dari Clossiana Frigga.Dan yah. Mata ayahku berbinar, dapat ku rasakan kalau hatinya tergetar atas perkataanku yang sepertinya sangat menyentuh hatinya. "Kau a-akhirnya mengerti Emabell?""Iya.""Ayah bangga padamu."Aku tersenyum. "Ayah akan semakin bangga. Karena kini aku mencintai Dunia Elydra.""Kenapa?" Karena dunia ini mencintai Bagindaku, rajaku, pilihan hatiku
Selamat membaca.Kau mengurungku. Lalu memintaku untuk melangsungkan upacara pernikahan yang tidak seharusnya terjadi Vardiantura? Baik, lakukan. "Aku akan mengukur waktu!"Mataku berubah warna menjadi keemasan, dan darah keluar dari mataku meski hanya sedikit. Itu karena Sakana mencoba melakukan lelepati denganku yang ternyata berhasil—baginda, hanya menyuruhku untuk menunggu sampai ia datang."Kalau kau tidak bisa bersabar, Baginda bersumpah akan memperkosaku setiap malam dan membunuh kami di depanmu! Jadi jangan lakukan hal gila. Kau mengerti!" tegas Sakana mengingatkan.Mataku membulat sempurna. Dan dengan susah payah aku menelan salivaku, "iya a-aku mengerti." jawabku.Karena semakin pusing. Jadi Sakana memutuskan telepati.Setelahnya, aku menatap ke arah pintu. Tapi percuma, pintu itu dikunci dari depan. 'hah' aku tidak suka di paksa—runtukku dalam hati.***-sementara itu, istana hitam. Utara yang membeku. Terjadi penangkapan besar-besaran di empat wilayah di Utara. Kota Devika
Selamat membaca.Berkat kecurigaan yang sepenuhnya benar. Aku di sidang di hadapan raja Vardiantura, di temani pangeran Edanosa dan Raja Nesessbula sebagai saksi atas kesalahanku."Bagaimana bisa rasa rindu menjadi kesalahan? Rindu itu tidak menyakitiku maka itu bukanlah sebuah kesalahan." Aku membela diriku sendiri. Tidak peduli seberapa hebatnya para ratu serta ibu dan ayahku yang terus memberiku kode agar aku diam saja tak mengatakan apapun—maaf tapi dia bukan Bagindaku, dan aku tidak akan pernah tunduk padanya."Berarti kamu berkomunikasi dengannya." ucapnya dingin."Itu hakku!" "Sejak kapan kamu memiliki hak Emabell?""Dan sejak kapan kau memiliki hak untuk bertanya padaku?" balasku tak ingin kalah. karena aku benar, ini adalah hakku.Edanosa menatapku dengan alis yang mengerut ke atas lagi. Tapi aku tidak bisa diam lagi, aku menatapnya sekali lalu tersenyum padanya seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja meski hasilnya."Lihat aku!" Titah Vardiantura. Dan aku menatapnya
Selamat membaca.Gartarus. Kerajaan yang yang akan menjadi yang utama setelah Utara, indah, asri dan sangat nyaman namun sedikit mencekam.Orang-orangnya berkulit sawo matang dan hampir dari 99% warganya adalah pengendali tumbuh-tumbuhan. Merekalah yang membuat tumbuhan dapat bergerak, tapi ada juga tumbuh-tumbuhan yang sudah memiliki nyawa sejak lahir.Dedaunan yang jatuh bahkan bisa terbang kembali ke udara seperti ribuan burung-burung.Mereka ramah, dan alami saat tersenyum padaku."Huh! Senang rasanya melihat semua saling bahu membahu dalam mengurus kerajaan. Tamu tak diundang bahkan di sambut dengan baik," Ucapku sambil tersenyum manis menghirup udara segar menyambut hari pernikahanku. "Anehnya hanya Raja Nesessbula yang berbeda." Tambahku."Apa maksud Anda Emabell?!""Kau seperti orang mati, berkulit pucat, dingin dan terlihat seperti bukan berasal dari wilayah ini."Dia tersenyum smirk. "Timur. Tidak selalu tentang warna kulit. Dan lagi, aku adalah keturunan asli kerajaan Grata
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb