Ruby mengencangkan tali pada ujung bawah kemeja yang dipakainya, sambil memastikan bikini yang ada di balik kemeja itu tidak terlihat, sekaligus memastikan kain yang menutupi pinggangnya tidak melorot. Pekerjaan yang sulit karena Ruby melakukannya sambil berlari, sampai akhirnya sampai di depan kamar Javier. Ruby mengambil nafas dalam-dalam, dan mengetuk kamar Javier sekuat tenaga.“Javier! Tolong aku!” Ruby berseru sepanik mungkin, dan tentu pintu itu langsung terbuka.“Liz? Ada apa?” Javier lansung ikut panik.“Itu! Lori tenggelam, aku sudah menariknya, tapi tidak bernapas!” Ruby menunjuk ke arah laut. “Dimana?” Javier berlari keluar sambil bertanya.“Di sana!” Ruby menunjuk tubuh di kejauhan. Diam terbaring di pasir, di dekat ombak.Javier langsung berlari menyusuri pantai yang sekarang hampir gelap itu, dengan Ruby di belakangnya.Chapel tempat tinggal Javier memang terpisah dari rumah, tapi masih memiliki garis pantai yang sama.“Lori?!” Begitu sampai, Javier membungkuk dan me
“Kau…” Ruby terbata, tapi sebelum bisa melepaskan diri, tiba-tiba ada yang menarik rambutnya. “AGHH!” Ruby menjerit dan tubuhya terseret menjauh dari Pedro. “Kau memang jalang! Kami baru saja sampai dan kau sudah melempar tubuhmu kepadanya?!” Mia berteriak dan terus menarik Ruby menjauh dari Pedro. Mata Ruby berair oleh rasa sakit di kepalanya. “Mia… sudah, Mia… Jangan…” Pedro membujuk sambil, berusaha melepaskan tangan Mia dari rambut Ruby. “Berani sekali kau menggodanya saaat aku ada! Kau semakin tidak tahu malu rupanya!” Mia mengayunkan tangan, untuk menampar, tapi Ruby menahan tangan itu sambil mengernyit. “Aku tidak menggodanya! Aku tidak melihatnya!” Ruby juga menarik tangan Mia yang masih menjambar rambutnya dengan lebih keras. “Alasan! Sejak awal kau datang memang sudah berniat untuk menggoda bukan? Kau tidak akan diam-diam terus memandang Pedro kalau tidak berniat buruk!” Mia berusaha menyerang lagi. “Memandang apa?!” Ruby menghindar sambil menepis tangan Mia. Tentulah
“Semakin jarangnya rasa sakit Anda rasakan itu Itu berarti keadaan jiwa Anda menjadi lebih stabil. Anda tidak perlu lagi bergantung pada obat.”Psikolog yang ada di depannya tersenyum dan mengangguk dengan wajah puas. Ini kali kedua dalam jarak satu minggu ia bertemu kliennya itu, dan sudah ada peningkatan yang signifikan.“Tolong kalaupun memang tiba-tiba rasa sakit itu kembali datang, jangan langsung meminum obat. Berusahalah untuk menenangkan diri terlebih dahulu, dengan begini Anda tidak terlalu beresiko terpapar candu dari obat. Tubuh Anda akan secara alami meminta kenaikan dosis kalau Anda tidak berhati-hati."Ed hanya mengangguk. Kemarin saat dokter menyarankannya untuk berkonsultasi dengan psikolog atau ahli jiwa, Ed memang skeptis, dan sampai sekarang pun ia masih skeptis.Tentu saja Ed tahu kalau alasan yang membuat keadaannya membaik bukanlah psikolog itu, tapi ia akan tetap meneruskan sesi terapi karena sudah membayarnya paling tidak untuk sepuluh pertemuan lagi.“Satu la
“Tidak ada.” Ruby mengelak sambil menutupi bagian kepalanya yang sakit itu“Apa yang kau sebut tidak ada? Aku tidak buta.”Ed sangat ingin memaksa untuk memeriksa keadaan kepala itu lagi, tapi Ruby sudah menjauh. Dan Ed paling tidak suka saat melihat Ruby menjauh. Mengingatkannya pada ketakutan Ruby akan dirinya.“Oke, aku tidak akan memegangnya. Tapi katakan apa yang terjadi.” Ed memutus paksaannya, tapi Ruby masih menggeleng. Mekanisme pertahanan yang muncul pertama dari Ruby tentu saja menghindar.Sedikit banyak, Ruby cukup terpengaruh dengan sumpah serapah Mia. Kalau menimbang dari posisi, dirinya saat ini lebih lemah dari Mia—anggota asli dari keluarga Rosas. Seburusuk apapun, Ed tidak terlihat akan melawannya. Masalahnya lidah busuk Pedro yang didukung sepenuhnya oleh Mia.Ruby tidak yakin kalau menceritakannya pada Ed adalah jalan keluar. Ed kemarin memintanya berpakaian lebih sopan sampai seluruhnya untuk membeli baju baru agar tidak ‘mengganggu’ pandangan Pedro. Ed memintan
“Tii…tidak.” Ruby memalingkan wajahnya yang memerah, saat mendengar tawa Ed.“Kau yakin?” goda Ed, sambil menyusuri pipi Rubu dengan ujung jarinya. Lucu melihatnya merona seperti itu.“Ya… yakin.” Jawaban yang semakin tidak meyakinkan tentunya. Ruby menggigit bibir, agar napasnya tidak terlalu kentara.“Oke.” Ed mengangguk, dan menurunkan tangannya. “Eh?” Ruby membekap mulutnya, karena tanpa sengaja kekecewaannya terdengar. Tidak perlu kata, desis lembut itu bukan terkejut, dan Ed tentu saja mengerti.“Lalu aku harus melakukan apa?” tanya Ed, berpura-pura meminta petunjuk dari hal yang sudah jelas, dan membelai telinga Ruby.“Tttidak… tahu.” Ruby meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, sambil memejamkan mata—mengeluh dalam hati. Tubuhnya mendadak menjadi sangat sensitif dari sebelumnya, Ed hanya menyentuh leher dan telinganya, tapi seluruh tubuhnya tergelitik.“Kalau begitu akan aku tunjukkan…” bisik Ed. Ia berdiri dan mematikan lampu yang masih menyala terang.Bahkan kegela
“Ya, kau urus saja. Aku akan kembali nanti.” Ed memutus panggilan dari Otiz, sambil memutar kemudi mobilnya. Diiringi pandangan cemas dari Ruby.Ia berharap Otiz menghubungi Ed untuk mengabarkan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan Ed, tapi rupanya tidak. Hanya melapor saja.Harapan Ruby yang ada semenjak sebelum mereka berangkat—agar Ed tidak jadi mengantarnya, kandas sudah. Mereka sudah ada dalam perjalanan menuju rumah Esli sekarang.“Apa kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat?”Ed yang akhirnya berkonsentrasi lagi pada jalan, tentu melihat perubahan wajah Ruby. Semakin pucat saat mereka semakin jauh.“Aku hanya mual. Tidak masalah.” Ruby tentu saja mabuk darat. Jarak rumah Esli jauh. “Mual? Apa kau salah….”CKITT!Ed memotong kata-katanya sendiri, dan mengerem mobilnya dengan mendadak. Ruby nyaris saja terpelanting.“Kenapa… HUK!” Ruby yang sejak tadi menahan mual, tentu saja semakin buruk karena rem mendadak itu. Isi perutnya telah sampai ke pangkal tenggorokan.“Ke tepi!” R
“Aku teledor.” Ed bergumam saat Ruby selesai dan sudah duduk di sampingnya—menunggu hasil tes itu. Ruby yang baru saja mengirim pesan pada Esli—mengabarkan kalau mereka akan terlambat, melirik ke arah Ed. Ragu bicara, tapi ingin memastikan kalau tebakannya benar. “Kau tidak ingin aku hamil.” Itu tebakan Ruby, karena yang paling mungkin, menilik amarah Ed terjadi tepat setelah ia membahas mual. “Ya. Aku tidak menginginkannya.” Jawaban tegas dan jelas, dan benar seharusnya, tapi Ruby memalingkan wajah. Tidak sampai menangis, tapi tidak menduga juga kalau akan ada rasa sakit yang muncul. Ruby ingin bertanya kenapa Ed tidak menginginkannya, tapi takut mendengar jawabannya. Ia tidak ingin benar-benar menangis. “Berharap saja hasilnya akan negatif.” Ruby menanggapi dengan tidak kalah dingin dan datar. Ruby sekaligus menegaskan pada hatinya sendiri. Ia juga tidak ingin hamil karena akan menjadi mengerikan. Ruby tidak bisa membayangkan kalau sampai ia harus hamil padahal namanya saja
“Akhirnya kalian sampai.” Esli menyambut dengan wajah prihatin—sekaligus gembira yang sangat pas. Ia tahu benar apa yang terjadi karena Ruby terus melaporkan—termasuk kedatangan Ed. Esli tidak akan memaafkan adanya kejutan Ed kalau sampai Ruby diam. “Apa kau baik-baik saja? Tidak ada yang gawat bukan?” Esli meraih tangan Ruby dan menggenggamnya, lalu mengelus pipinya. Berperan menjadi Ayah yang peduli dengan sangat menakjubkan. Kalau tidak ingat pria itu pernah menampar dan menjebaknya, Ruby mungkin akan terharu dan menangis atas bentuk perhatian itu. Kebetulan ia tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya. Sudah meninggal semenjak kecil kata ibunya.“Aku baik-baik saja, Padre.” Ruby tersenyum, berhasil menahan mual yang tidak ada hubungannya dengan mabuk darat. Ia muak pada Esli.Sisa perjalanan tadi Ruby tidak lagi muntah, dan langsung merasa lebih baik saat mobil berhenti dan bisa menghirup udara segar di sekitar taman rumah Esli yang tentu saja luas. Ini kali kedua Ruby m
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad