Ed membuka pintu chapel dengan kasar. Lupa pada sopan santun, dan hanya ingin melabrak Javier. Ed menghela napas saat mendapati adiknya sedang berlutut dengan tangan mengatup—berdoa di depan altar. “Kau pikir aku tidak akan tahu apa yang kau lakukan?! Jangan berpura-pura berdoa!” bentak Ed. “Sssttt… Jangan menjadi tidak sopan, Ed. Duduk dan tunggu sampai aku selesai.” Javier menunjuk deretan kursi kayu panjang yang kosong. “Kau itu…” “Ssssttt….” Javier kembali meminta Ed diam dan menundukkan kepalanya lagi. Ed hanya bisa menggeram marah sambil menghenyakkan diri untuk duduk. “Jangan harap aku akan pergi sebeluma kita bicara!” desis Ed. Kurang lebih peringatan kalau ia akan menunggu sampai berapa lamapun Javier berdoa. Javier tidak akan bisa menghindar dengan berpura-pura berdoa. “Ck!” Ed mendecak karena tidak ada lagi jawaban dari Javier. Ia harus menunggu. Ed menopang dagu sambil menatap punggung terbalut jubah hitam itu. Sampai sekarang Ed masih bisa mengingat rasa terkejutnya
“Aku tidak memintamu untuk menjadi tergila-gila padanya secara langsung, tapi beri kesempatan saja dulu pada Liz.” Javier kembali membujuk setelah Ed tidak juga menjawab.“Kau bergitu menyukainya?” Ed melirik dengan heran. Ini kali kedua ia menemui orang yang membela Liz tanpa keraguan.“Ya. Dia manis. Kemarin-kemarin aku berusaha membantu mengurangi beban Liz, dan ia menolak dengan alasan tidak ingin berbohong dan curang. Ia malah menegurku. Mengatakan Pastor tidak seharusnya berbohong. Ia benar juga soal itu.” Javier tampak tersenyum geli. Lucu mengingat saat dirinya perlu diingatkan oleh Liz tentang tempatnya.“Memang apa yang terjadi?” tanya Ed. Penasaran dengan interaksi mereka berdua sampai bisa membuat Javier membelanya.“Aku tidak bisa membuat Tia Mia mendengarku, tapi aku bisa meminta Tita dan yang lain berpura-pura agar Liz tetap terlihat bekerja. Atau paling tidak menangani pekerjaan yang lebih ringan. Tapi rencana itu tertolak, dan Liz bekerja seperti biasa—seperti pelayan
“Tidak biasanya kau ikut makan di sini.”Ruby melirik dan melihat siapa yang mendapat teguran dari Mia. Javier yang datang dan kini duduk di hadapannya.“Aku ingin makan bersama Ed. Sudah lama kami tidak makana bersama.” Javier tersenyum sambil memandang Ed yang sudah duduk di ujung meja panjang itu. Kursi yang biasanya kosong kini terisi, dan Ruby yang biasanya duduk di sembarang tempat dengan khusus diminta Tita untuk duduk pada barisan ujung kanan. Menegaskan statusnya sebagai istri Ed. Tempat yang tidak pernah diberikan Mia, tapi hari ini ia tidak banyak bicara. Ini pertama kali Ruby melihat Mia tidak banyak bicara. Biasanya Mia akan selalu menyindir atau menyalahkannya atas sesuatu ketika makan.“Kapan kau akan kembali ke Guadalajara?” tanya Pedro, pada Ed. Memecah percakapan antara Ed dan Javier.“Bukan urusanmu.” Ed menjawab pendek dan kembali bicara pada Javier.Ruby menunduk, karena tiba-tiba saja ingin tertawa. Ikut puas melihat Pedro bersungut-sungut karena diabaikan oleh
“Siapa?!” Ruby mulai panik, lalu turun dari ranjang dan meraba. Saklar lampu berada cukup jauh dari ranjang. Ada sedikit cahara dari tirai yang tidak rapat. Ruby bisa melihat sosok menunduk di lantai, tapi masih remang-remang.“Kau ingin apa?” tanya Ruby. sedikit lega saat menemukan saklar dan menekannya. Kamar itu terang benderang, dan sosok aneh itu jelas mengejutkan Ruby.“Ed?” Ruby berdiri diam beberapa detik. Meyakinkan kalau Ed benar-benar membutuhkan bantuan. Ruby khawatir ia hanya tengah mabuk. Ruby tidak ingin mendekati Ed saat mabuk.Tapi saat melihat Ed terus menunduk dengan butir keringat menetes di dari leher, Ruby tahu ada yang salah dan langsung menghampiri.“Ed? Ada apa?” Saat menunduk lebih dekat, Ruby baru menyadari kalau apa pun yang diderita Ed adalah serius. Rintihan, lalu napasnya yang pendek memburu, menegaskannya.“Apa… aku akan memanggil Javier!” Ruby tidak mungkin tahu harus menolong bagaimana, tapi saat beranjak, Ed menahan tangannya.“Jangan… jangan kata
“Ulangi lagi.” “Ha?” Ruby bingung. Ia sudah dua kali mengulang dan suaranya cukup jelas. “Ulangi,” pinta Ed. “Aku… tidak takut… pada wajahmu.” Ruby berdiri dan melepaskan tangan Ed. Tangan itu tidak lagi melawan, maupun terlihat ingin menghancurkan. “Aku tidak pernah takut pada wajahmu.” Ruby mengulang tanpa diminta, karena merasa kalau ucapannya berpengaruh. Ed menjadi tenang dengan cepat. Memang berpengaruh, yang mana mengejutkan juga untuk Ed. Tidak mengerti bagaimana kata-kata itu meringankan rasa sakitnya. Tidak hilang sama sekali, karena Ed masih merasakan tarikan nyeri, tapi tidak lagi terasa membakar atau membuatnya merasa gila. “Kau pingsan saat melihatku,” kata Ed. “Ah, itu… aku terkejut. Tidak tahu wajahmu akan… Aku hanya sangat terkejut, dan sakit. Mual dan lainnya. Tegang, sempat muntah juga.” Ruby menjelaskan sambil menunduk malu. Tadi Ruby tidak mempermasalahkan salah paham Ed yang menyebut dirinya takut pada wajah rusak itu, tapi untuk sekarang, Ruby tidak te
“Tinggalkan! Maaf, tapi Anda tidak harus lagi membantu di sini. Senora Mia tidak akan menyuruh hal seperti ini lagi.” Tita mengeluh dengan putus asa, saat melihat Ruby berdiri di depan wastafel dan tengah mencuci piring bekas sarapan. Tita tadi sudah mengusirnya keluar dari dapur saat mencoba membantu menyiapkan sarapan, dan rupanya belum cukup. “Jangan!” Ruby mempertahankan piring di tangannya, dari Tita yang mencoba merebut. “Ah!” Ruby dengan terpaksa melepaskan, karena Tita dengan curang menggelitik pinggangnya. “Nah!” Tita mendorong Ruby menjauh dengan wajah puas. “Tapi aku harus melakukan apa?” Ruby mengeluh. Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia sudah terbiasa dengan jadwal pekerjaannya di rumah itu, dan sekarang bingung. Ia lebih menyukai keadaan dimana ia bisa bekerja. Mungkin tidak sampai membersihkan kotoran kuda, tapi tidak ingin juga kalau hanya diam tanpa tugas. “Bagaimana kalau ini?” Tita bergeser dan menyerahkan nampan. Berisi secangkir kopi dan roti bakar
“Kami sungguh tidak tahu tentang ini, Don Rosas. Mereka tiba-tiba saja merebut daerah pemasaran di bagian barat.” Ed mendengarkan laporan mendadak itu sambil mengetukkan tangan di atas meja.“San Diego?” tanya Ed.“Benar. Sepertinya DEA yang baru itu benar-benar bekerja keras.” Orang yang melapor itu tampak takut-takut.“Aku akan mengurusnya nanti. Kalian pakai saja jalan aman yang lain. Jauhi area itu. Untuk suplai ke LA, sementara ini lewat jalur timur. Houston atau New Mexico,” kata Ed.“Tapi itu akan sangat boros. Akan ada biaya…”“Aku tahu, sementara saja. Kita naikkan harganya kalau memang nanti margin keuntungannya kecil. Tapi sementara ini kita butuh jalur untuk masuk.” Ed mengibaskan tangan, meminta mereka keluar.Perintah yang seharusnya mudah dipatuhi, tapi karena terlalu terkejut dua orang yang berdiri di hadapannya sama-sama saling memandang.“Apa lagi?” tanya Ed. Heran melihat mereka belum bergerak.“Kami tadi melaporkan kerugian dua ratus lima puluh ribu dolar.” Suara
“Aku melamun. Maaf.” Ruby memberi alasan pada Otiz, sekaligus meminta maaf pada Lori karena mengabaikannya. “Ya.. ya.” Lori yang tadi berlari, mengatur nafas, lalu menepuk lengan Ruby. “Kau seharusnya kau bilang kalau akan keluar. Kita bisa pergi bersama.” Lori dengan ringan menggandeng Ruby. “Hm?” Ruby jelas saja bingung melihat keakraban yang tiba-tiba itu. Lori bersikap seolah mereka sudah berteman selama bertahun-tahun. Padahal sudah jelas tidak mungkin Ruby akan mengatakan apapun padanya. Hubungan mereka belum sejauh itu. Tapi mungkin ini gaya pergaulan gadis-gadis kaya. “Tapi yang penting kita bertemu sekarang. Kau ingin mengunjungi bar baru itu bukan? Katanya keren memang.” Lori menunjuk ke arah gedung warna-warni di seberang jalan. Hari baru menjelang sore tapi lampu yang ada di bagian depan gedung itu sudah menyala. Menawarkan hingar bingar di dalamnya. “Oh, bukan. Aku—akan berbelanja.” Ruby menunjuk toko pakaian. “Berbelanja? Yah, cukup seru. Ya sudah, aku ikut
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad