Balik dulu bentar... :))
“Ini… bagus …” Ed mengamati sekeliling. “Katakan saja yang sebenarnya. Ini terlalu sederhana untuk lingkunganmu yang biasa.” Ruby mendengus. Tidak percaya dengan penilaian Ed. Lingkungan rumahnya di New York tidak buruk, tapi tentu jauh kalau dibanding apa yang dimiliki Ed. Ruby fokus pada uang untuk usaha, bukan rumah. “Aku tidak mencela apa pun. Rumah ini nyaman, dan AJ… Menikmatinya aku rasa.” Ed berpaling memandang AJ yang tengah melompat di tengah tangga lantai dua. “Kau dengar ini?! Suaranya seperti tikus!” AJ berseru, memamerkan pada Ed, sesuatu yang menurutnya menarik. Bagian tengah tangga ke lantai dua yang cukup tua itu memang akan berderit saat ada yang menginjak, dan AJ menyengajakannya. Rumah itu tidak berada dalam keadaan seratus persen tentu, karena Ruby belum sampai mengumpulkan uang untuk memperbaiki. Selama masih bisa dipakai, berbunyi seperti apa pun akan diabaikan Ruby. Tapi melihat AJ terus melompat pada titik yang sama, tentu mengkhawatirkan. “AJ, kau aka
“Aku tidak ingin kau berharap banyak. Ibuku terkadang sedikit sulit diajak bicara saat ingatannya tidak sempurna.” Ruby memberi sedikit pengetahuan sebelum mereka turun di tempat parkir.Ed mengangguk. “Aku paham.”Ed tidak punya pengalaman bertemu dengan seseorang yang memiliki penyakit Alzheimer, tapi ia cukup tahu bagaimana keadaan penderitanya.“Ayo, cepat!” AJ yang seperti biasa—bersemangat, menarik tangan ibuny dan Ed.“Pelan-pelan, AJ. Kau akan membuat kopinya tumpah. Ruby tentu saja membawa makanan untuk Grace.“Aku saja.” Ed akhirnya mengambil alih kopi itu ke tangannya, lebih kokoh.“Kau bersemangat untuk sekali bertemu dengannya.” Ed mengusap kepala AJ, agar semangatnya tidak berlebihan.“Ya, Abuela baik. Meksi tidak ingat siapa aku, tapi Abuela baik.” AJ tidak pernah mengeluhkan keadaan itu, karena Jade tidak pernah berbuat kasar pada AJ meski tidak ingat.“Ibuku tidak pernah merasa harus kasar pada anak kecil. Kata Grace hal itu insting.” Ruby menjelaskan lagi untuk Ed.“
“MAMA!” Ruby seketika menarik kursi roda ibunya untuk mundur, sementara Ed mengusap wajahnya yang basah dengan mata menyipit—pedih karena jus itu tepat mengenai matanya.“Daddy, ini.” AJ mendekat membawa tisu untuknya, lalu menggandeng Ed menjauh. AJ rupanya sudah terbiasa dengan perubahan sikap Jade. Ia menjauh sementara ibunya menenangkan.“Mama, ada apa?” Ruby mengusap bahu ibunya, yang terlihat bergerak. Terengah. Menahan amarah. Ia terus memandang Ed dengan mata benci.“Katakan padanya aku tidak akan kembali! Aku tidak akan menyerahkan Ruby!” Jade meraih tangan Ruby yang ada di bahunya, menariknya mendekat. “Mana Gemma? Apa kau melihatnya? Bawa dia! Kita pergi!” Jade menggulirkan kursi rodanya.“Mama, siapa Gemma?” Ruby belum pernah mendengar nama itu.“Gemma! Kakakmu! Ayo, cepat! Mereka akan datang sebentar lagi! Sudah ada yang sampai di sini!” Jade menyentak tangan Ruby dengan tidak sabar. Menggulirkan kursi rodanya ke arah pintu.“Kakak…” Ruby yang terkejut, sesaat mematung.
Ed melepaskan pelukan dan mengusap kepala Ruby. Ia datang ke kamar Ruby dengan tujuan itu. Ia tahu Ruby akan resah.“Gemma itu… tidak salah lagi adalah saudaramu. Namanya saja sudah terlihat,” kata Ed.“Hm?”“Gemma—artinya permata berharga. Seperti namamu, dan ibumu—Jade. Kalian berkelompok. Nama itu dipilih khusus. Tapi terlalu dini untuk menyimpulkan apakah Gemma ini adalah Liz. Kita harus bertanya pada ibumu untuk lebih jelasnya.” Ed tidak ingin Ruby mengambil kesimpulan terlalu cepat.“Aku… aku tidak pernah mendengar satu kata pun tentang Gemma sebelum ini. Tidak sekalipun. Kenapa sekarang tiba-tiba…” Ruby menggeleng. Tidak bisa mengerti lagi.“Karena Guadalajara. Apa kau pernah membahas kota itu dengan ibumu?” tanya Ed.Ruby menggeleng. “Tidak kota apa pun. Mama tidak pernah mengizinkan aku keluar dari Veracruz. Seumur hidupku ia berpesan agar aku tidak keluar dari kota itu. Aku tidak pernah pergi jauh. Aku baru menyadari dihari pernikahan kita kalau aku bisa mabuk darat—karena s
“Apa maksudmu kau tidak tahu? Rumah ini kosong sudah berapa lama?!” Esli sedikit emosi karena jawaban Liz sejak tadi tidak memuaskan. ‘Tidak tahu’ sudah muncul lima kali dan Liz tidak merasa bersalah.“Padre, aku memang tidak tahu! Aku harus mengatakan apa padamu? Ed sudah lama tidak pulang. Entah beberapa bulan!” Liz yang sedang berbaring di samping kolam renang, melepas kacamata hitam yang dipakainya, dan berdiri memanatap ayahnya. Jengkel karena merasa terganggu. Ia ingin menikmati waktu santai.“Dia suamimu! Paling tidak kau harus tahu dia dimana, Liz. Aku sudah tidak marah padamu saat kau malah tidak tidur dengan Ed, tapi setidaknya kau harus tahu dia dimana saat aku membutuhkannya!” bentak Esli.“Kau tidak mengatakan apa pun sebelum ini dan tiba-tiba datang dan menuntutku melakukan sesuatu?! Jangan konyol!” Liz tidak terima.“Kau tidak melakukan apa pun sebagai istri Ed bertahun-tahun! Apa kau tahu berapa banyak uang yang aku keluarkan untuk menutupi semua kegilaanmu? Membayar s
“Aku ingin itu. Satu lagi.” AJ menunjuk gelato rasa lain.“Ini tidak cukup?” Ed menunjuk gelas AJ yang sudah penuh. Ada tiga rasa di sana. Akan meluber kalau AJ meminta rasa lain.“Bukan. Untuk Mommy. Rasa ini. Kopi dan cokelat.” AJ tidak memikirkan dirinya sendiri.“Oh, oke.” Ed tersenyum, dan memesan porsi baru.“Dua lagi.” Ed tidak hanya memesan satu.“Untuk siapa lagi?” AJ yang kini bingung.“Untukku.” Ed menggeser tubuh AJ, membayar semua pesanan, lalu menggandengnya keluar. Kantong kertas yang menahan cup gelato ada di tangan kirinya.“Tapi tadi kau mengatakan tidak suka manis.” AJ melompati genangan air, saat berjalan kembali ke gedung utama ADDF.“Aku juga ingin makan menemani kalian.” Ed hanya tidak ingin tertinggal.“Apa Mommy masih menangis?” AJ bertanya dengan wajah kembali memerah.“Aku rasa sudah tidak.” Ed tidak berani menanggung sebenarnya.Ed tadi meninggalkan Ruby, karena permintaannya. Ia menangis setelah mendengar keterangan dari Jade, dan tentu AJ juga ingin men
“Daddy, apa Mommy sakit lagi?” tanya AJ, sambil meremas selimutnya. Khawatir.“Tidak. Ia hanya lelah. Untuk beberapa hari ini smapai kita kembali ke Zurich, aku yang akan menemanimu saat tidur. Apa kau tidak suka?” Ed menyipitkan mata.“Suka!” AJ tertawa pelan. Tidak keberatan, tapi tentu akan meminta alasan dari perubahan itu. Ia tidak memprotes saat Ed yang mengantarnya ke kamar, dan baru bertanya setelah Ed selesai membacakan buku.“Tidurlah, aku akan mematikan lampu.” Ed turun dari ranjang, tapi tangannya tertahan karean AJ menarik lengannya.“Can I give you a hug?” (Apa aku boleh memelukmu?)Senyum terbentuk dengan mudahnya, seiring hangat yang menerpa sampai ujung kakinya. Terlalu bahagia.“Tentu saja.” Ed membungkuk dan membiarkan AJ melingkarkan tangan ke lehernya.“Terima kasih. Kau membantu Mommy.” AJ tidak tahu bagaimana kenapa, tapi ia tahu kalau Ruby tidak benar-benar melakukan apapun setelah mereka pulang menjenguk Jade.Saat makan malam pun—Ed memesan pizza, Ruby hanya
Ruby memejamkan mata. Ia tidak heran dan tahu Ed sulit memaafkan. Bagaimana mungkin Ed akan memaafkan, kalau Ruby saja sangat sulit memaafkan mereka? Tapi Ruby tidak ingin mereka mati. Sebelum tahu tentang fakta ini, Ruby punya bayangan bagaimana nasib Esli dan mengabaikan. Ia tahu Ed akan keji, dan membiarkan. Tidak mendukung atau melarang. Ruby marah pada Esli, tapi lebih menyerahkan nasibnya pada Ed. Ruby sudah sibuk memikirkan nasibnya sendiri yang tidak pasti kemarin. Tapi Ruby tidak bisa lepas tangan saat ini. “Aku sudah menyiapkan beberapa hal untuk Esli terutama, tapi… kalau kau melarang, aku tidak akan melakukannya.” Ruby tersentak, meluruskan duduknya dan memandang Ed yang mengulurkan tangan. Mengusap pipinya. “Aku marah. Aku benci. Ia berusaha membunuhku, menipuku dan lainnya. Tapi aku tidak akan melakukan apa pun yang membuatmu menyesal atau sakit.” Ruby mengira air matanya kering, tapi tidak untuk Ed. Air matanya mengumpul oleh haru akibat janji itu. “Aku tidak aka
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad