Amora nampak kaget ketika ia keluar toilet tapi matanya malah melihat sosok suaminya kembali yang masih berdiri seperti keadaan dimana ia meninggalkannya tadi.Wanita itu melihat Aksen masih berdiri bersandar ke tembok dengan kedua tangan masuk ke dalam ke dua saku celananya. Melihat Amora baru saja keluar, Aksen langsung menghampiri wanita itu dengan tergesa.Amora merasa Aksen menghalangi jalannya. Ia menatap tidak suka Aksen dengan mata tajamnya.“Aem, aku hanya memastikan kau baik-baik saja selama di toilet,” ujar Aksen paham dengan apa yang tengah Amora pikirkan mengenai dirinya.Amora tak menanggapi. Ia berusaha mencari jalan untuk pergi meninggalkan Aksen yang menghalangi jalannya. Tapi Aksen tidak semudah itu meloloskan Amora dari hadapannya. Ia harus egois saat ini.“Aku mohon jangan pergi dulu!” cegah Aksen.“Kau mau apa?” sahut Amora tak suka.Tiba-tiba Aksen mengerutkan dahinya kala melihat bibir Amora tampak pucat. Lelaki itu hendak menyentuhnya namun segera ditepis kasar
Amora telah sampai di rumahnya dengan keadaan hati masih kacau. Berkali-kali ia mengatur napas, namun rasa sesak atas ciuman Aksen itu benar-benar membuatnya hilang kendali.Amora benci dirinya. Benci hatinya yang masih saja bisa terbuka untuk pria brengsek seperti Aksen. Padahal sudah beberapa kali Aksen menyakiti hatinya, mengecewakan harapannya.Amora mencoba memejamkan matanya beberapa kali untuk menghilangkan ingatan peristiwa yang baru saja terjadi antara ia dan Aksen. Amora ingin sekali menghapus ingatannya yang dimana ia terlihat bodoh tadi itu.“Nona, kau baik-baik saja?” ucap seorang pelayan yang terlihat cemas dengan keadaan majikannya saat ini.Amora membuka matanya. “Aku perlu mandi,” ujarnya kemudian berlalu dari pelayan itu.Sebelum ke kamar mandi, Amora membuka terlebih dahulu ponselnya sebentar. Terdapat beberapa pesan dari Aksen yang belum ia baca. Juga beberapa panggilan terlewat dari pria itu.Bagaimana tidak, Amora tadi langsung pergi begitu saja setelah mengatak
Aksen sudah sampai di kediaman Amora. Ia segera keluar tak menunda waktu lebih lama lagi. Namun nampak dari luar, rumah itu sangat sepi. Tapi Aksen tidak memedulikan itu, ia akan mencoba memastikan Amora ada di rumah.“Permisi, mbak.” Aksen menyapa salah seorang pelayan yang sedang menyapu di luar rumah. Rumah Amora memang menyediakan beberapa pelayan. Sebenarnya Amora sendiri tidak begitu butuh, tapi mereka adalah orang yang direkrut Arta untuk mengurus rumahnya yang sangat besar waktu itu. Jika Amora memecat pun, ia akan lebih dulu mencarikan pekerjaan untuk mereka sebelum memecatnya.“Eh, Pak Aksen. Ada apa pak?” Nampaknya Aksen memang dikenali di rumah Artawijaya.“Apa Amora ada di rumah?” tanyanya langsung ke inti.“Nona sedang pergi, Pak.” Jawabnya.“Pergi kemana?”“Untuk hal itu, saya kurang mengetahuinya Pak. Tapi, nona memang berniat pergi lama,” ujar pelayan itu membuat Aksen sangat kecewa.“Apa sebelumnya tidak memberitahu, Pak?” tanya pelayan itu kemudian.“Ah, sepertinya
Laki-laki berjaket hitam dengan bandana hitam pula di kepalanya itu masuk ke dalam sebuah gedung seraya mengamati keadaan sekitar untuk memastikan tidak ada yang mengikuti jejaknya ataupun memastikan tidak ada yang melihat pergerakanya.Diego mendapat kabar dari orang kepercayaannya bahwa musuh terbesarnya itu berada di gedung sepi tersebut. Mungkin saja kabar itu benar, karena setelah Diego lihat-lihat ternyata gedung tua itu sudah tidak berpenghuni.Aurelia pasti tinggal di tempat seperti itu setelah melarikan diri dari istana ternyamannya karena menjadi buronan. Mungkin rasa sesal telah Aurelia dapatkan saat ini, jika saja ia bermain jujur kesialan yang terjadi saat ini tidak akan menimpa dirinya.Diego begitu menyimpan dendam dan amarah terhadap perempuan Aurelia ini. Selain karena kasus tentang kematian pacarnya, ia juga amat marah kala mendengar Aurelia menyakiti sahabatnya, Amora.Diego bersumpah demi apapun akan menangkap perempuan itu dengan keadaan masih hidup ataupun tingga
Aksen mengusap wajahnya kasar. Tak bisa disangka jika selama ini dia adalah orang yang tergila-gila kepada musuh dalam selimut. Aksen merasa dirinya sangat bodoh dan tak berguna.Namun lihatlah, setelah ini Aksen berjanji akan membuat balasan yang setimpal sesuai apa yang telah dilakukan Aurelia kepadanya dan juga kepada Amora, istrinya.Jika saja ia tahu dari awal siapa Aurelia sebenarnya, tak mungkin ia akan membelanya mati-matian saat itu. Saat dimana wanita itu selalu dalam masalah, Aksen yang akan menjadi garda terdepan untuk membelanya.Tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya, Aksen bahkan akan menjadi garda terdepan untuk menangkap Aurelia bagaimanapun kondisi dan keadaannya. Bersama Diego, ia kini bersekutu untuk mengurung orang yang sama.“Tapi Aurelia kau biarkan kabur, bagaimana kita bisa menangkapnya?” Aksen menatap Diego yang tengah berfikir santai.“Kau fikir aku bodoh? Aku tidak pernah menyia-nyiakan satu kesempatan pun dalam hidupku, apalagi bertemu musuh seperti tad
Aksen nampak menghela napas lega setelah melakukan panggilan telepon bersama anak buahnya di seberang sana. Mereka mengatakan jika Aurelia sudah tertangkap begitu pula dengan satu orang pesuruhnya. Senyumnya begitu sinis menatap layar ponsel yang menampilkan beberapa foto mengenaskan Aurelia. Sepertinya ia sudah mirip psikopat sekarang, dimana ia merasa senang jika musuhnya sudah ada dalam kendalinya.Spontan Aksen meletakkan ponselnya ketika Amora datang dengan kotak P3K di tangannya. Wanita itu duduk di sebelah Aksen tanpa ekspresi sama sekali. Bahkan matanya tidak begitu ramah.Namun berbeda dengan Aksen, pria itu tak sejenak pun matanya beralih menatap ke arah lain. Fokusnya tetap pada mata istrinya, mengamati setiap gerakan Amora yang sedang menyiapkan alat dan bahan untuk mengobati luka di tangan Aksen.“Kemarikan tanganmu,” ucap pelan Amora kepada Aksen. Aksen menggerakkan tangan berdarahnya seraya meringis pelan. Ia meletakkan tangannya itu di atas perlak yang berada di atas
Aksen terbangun ketika hidungnya mencium aroma masakan yang tak asing. Sudah lama ia tidak mencium wanginya masakan Amora yang dulu tiap hari ia pasti menciumnya. Bruk“Argh!” Aksen meringis pelan kala tangannya yang luka hampir ketindih oleh tubuhnya yang baru saja ambruk dari sofa. Semalam Aksen akhirnya tidur di sofa ruang tamu sendirian. Amora tidak mengizinkannya masuk dan tidur bersamanya, padahal jika mau Aksen bisa saja masuk pakai kunci cadangan karena itu adalah kamarnya.Tapi Aksen mengalah, ia tidak mau menimbulkan keributan yang akan menyebabkan Amora akan lebih membencinya. Yang lebih ia takutkan, bagaimana jika Amora akan mengusirnya. Lebih baik Aksen memilih jalan aman.Aksen berdiri dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna. Ia berjalan sempoyongan menuju dapur mengikuti arah bau masakan yang menyeruak memenuhi rongga hidungnya.Di depan kompor, seorang wanita dengan dress putih sedang mengotak-atik pisau, memotong bahan-bahan masakan dengan telaten. Tubuh yang mun
Aksen menggertakkan giginya kala mendapat pesan informasi tentang Aurelia yang melarikan diri dari kurungan yang padahal sudah ia perintahkan untuk perkuat penjagaan.Wanita itu seperti cacing saja. Ia mudah menyelinap mudah pula kabur dengan lihai. Tapi Aksen tidak akan membiarkan semuanya terjadi sesuai keinginan Aurelia. Aksen akan mengejar kemanapun wanita itu pergi.“Aksen, kenapa kau belum pulang juga?” Rina membawa secangkir kopi kemudian duduk di seberang Aksen yang masih fokus terhadap ponselnya.“Ibu tidak baik mengusir anak sendiri,” balas Aksen tanpa menoleh sedikitpun.“Heleh biasanya juga kau tak pernah betah berada di rumah ini, kenapa sekarang tak mau diusir?” Rina menyeruput kopi hangatnya dengan anggun.Aksen langsung menoleh. “Aksen lagi sakit, bu. Tega sekali.”“Lagipula kau di sini juga mau apa, Amora bahkan tidak mau melihatmu!” sarkas Rina membuat Aksen menghela napas panjang.“Di sini Aksen mau membuktikan cinta tulus Aksen buat Mora. Ibu seharusnya mendukungku
Amora termenung di depan gerbang setelah ia keluar dari bangunan itu dan meninggalkan dua orang yang paling Amora benci di dunia. Baron dan Frans sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan sesuai tuntutan keluarga korban dan hukum yang berlaku.Setelah ini Amora akan belajar ikhlas atas semuanya. Ayah, ibu, kakek, semua keluarganya sudah tiada. Dan yang sekarang bisa menemaninya hanya keluarga dari sang suami. Mereka begitu terlihat peduli kepada Amora bahkan di kala perempuan itu dalam kesulitan.“Ayo, pulang!” Aksen merangkul pundak Amora dengan lembut.Amora kemudian menoleh. Perempuan itu tersenyum tipis membuat Aksen semakin erat memeluknya. Tak akan pernah Aksen lepaskan lagi seorang istri yang begitu berharga ini dalam hidupnya. Tak akan pernah.Amora kini merasa aman. Bersama orang-orang yang begitu menyayanginya. Seorang suami yang rela berbuat apapun demi menyenangkan hatinya, saudara-saudara yang selalu membuatnya tertawa dan seorang ibu mertua yang mementingkan kebutuhanny
“Aku sudah tahu tempat persembunyian para bajingan itu!” Aksen mengepalkan tangan kirinya dengan erat setelah mengetahui beberapa hal yang membuatnya sangat jengkel. Sudah beberapa hari Aksen mencoba melayangkan senjata kepada dua bajingan itu tapi entah kesaktian apa yang mereka punya sampai selalu lolos dari segala rencananya.Tapi tidak untuk hari ini. Aksen, Diego, Anna, Riri dan Amora akan menyatukan rencana untuk menjebak Baron dan Frans itu. Amora sudah berangkat dengan beberapa pengawalnya menuju gedung tak terpakai yang beberapa tahun lalu terbakar.Benar sekali, di tengah jalan, Amora diculik oleh dua orang dengan topengnya. Amora berpura-pura pingsan untuk mengelabui musuhnya itu. Terdengar jelas di telinga Amora tawa renyah Frans Baron memenuhi ruangan kedap suara. Ingin sekali Amora menyumpal mulut sialan itu. Tapi ia harus menahan itu semua dan berpura-pura pingsan dulu untuk sementara waktu.“Am, kau merindukan panggilan itu, bukan?” tanya Frans dengan wajah berseri.
Beberapa orang suruhan Diego dan Amora berhasil disebarkan untuk mencari keberadaan Aksen. Meskipun Amora nampak berdiam diri saja di rumah, tapi otak dan bawahan-bawahannya tidak pernah diam untuk terus menggali informasi perihal Aksen.Sehari berlalu, Amora belum mendapatkan kabar apapun dari Aksen. Hatinya semakin tak tenang dan otaknya sudah buntu tak bisa berpikir lagi. Apalagi ketika mendengar kabar terbaru dari televisi yang mengabarkan jika Baron dan Frans tidak terlacak kembali keberadaannya.Diego yang beberapa kali mencoba menghubungkan koneksi pelacak pun tetap tidak berhasil. Baron dan Frans sepertinya telah menyusun segala cara sebagus mungkin untuk hari ini dan hari-hari berikutnya demi menangkap Amora. Beberapa kali Diego berpesan untuk Amora tetap berjaga-jaga meskipun ia berdiam diri di rumah.Malam ini seperti biasa Amora tak berhasil memejamkan matanya. Pikiran yang terus berkecamuk dan kepala yang terasa pusing semakin membuatnya tak bisa tidur. Sesekali Amora men
Amora mondar mandir tidak jelas sejak tadi karena pikirannya yang mulai kacau semenjak acara televisi menyajikan berita tentang berkeliarannya dua orang buronan yang kabur dari keamanan. Tentu saja mereka itu adalah Baron dan Frans.Sesuatu yang begitu mengoyakkan hati Amora kala ia mengetahui jika kedua orang itu merupakan ayah dan anak. Frans merupakan anak Baron sebelum ia menikahi ibunya Aurelia. Sungguh sangat lembut permainan Frans waktu itu, hingga membuat Amora tidak bisa melihat mana rekayasa mana nyata.Tentulah sekarang Amora paham mengapa Frans begitu jahat padanya. Ya, semua itu karena Baron dan dirinya menginginkan harta kakeknya Amora yang begitu banyak dan melimpah. Namun tidak semudah itu, setelah membunuh Artha mereka juga mesti menyingkirkan Amora terlebih dahulu untuk mendapatkan harta itu.Amora menggigit jari telunjuknya mencoba menenangkan diri. Meski dirinya sekarang berada di tempat yang aman yaitu di rumah ibu mertuanya. Tapi yang lebih membuat Amora panik ad
“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Huaa ...” Dada yang kembang kempis tak beraturan begitu terlihat disertai wajah ketakutan Amora. Perempuan itu menoleh ke samping dimana ada suaminya tengah memandang khawatir padanya. Bahkan tangan Aksen masih menjadi bantalan kepala istrinya.Untung saja semua itu hanya mimpi. Seseorang mendatanginya bahkan terbawa ke alam bawah sadarnya. Dia datang ingin merenggut nyawa dengan tanpa alasan. Amora sungguh ketakutan hingga tak sadar tangannya menggenggam lengan Aksen. “Ada apa, Mora?” Aksen mencoba menyadarkan istrinya yang terlihat kebingungan selepas sadar dari pingsannya.Menyadari dirinya begitu menempel ke tubuh Aksen, Amora segera berusaha duduk dan membenarkan posisinya. Meskipun dalam keadaan tak baik-baik saja, ia tak akan memperlihatkannya kepada Aksen. Saking gengsinya ia tak akan pernah merendahkan harga dirinya lagi di depan Aksen. “Mora, kau baik-baik saja?”Amora menghela napas panjang beberapa
“Katakan, apa maumu? Aku tidak mempunyai waktu luang cukup lama untukmu,” ujar Amora langsung pada intinya ketika mereka sudah dihidangkan beberapa makanan di atas meja.“Mora, aku bukan klienmu. Sekarang ini aku berperan sebagai suamimu, apa pantas bicara begitu?”Amora menatap tanpa ekpresi ke arah suaminya. Aksen kini selalu menyebalkan di depan matanya. “Aku tak suka bertele-tel-““Makan dulu,” potong Aksen seraya menyodorkan sepotong beefsteak ke mulut Amora hingga perempuan itu terdiam.Melihat istrinya yang sama sekali tidak membuka mulut untuk melancarkan suapannya, Aksen menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya dengan isyarat. Beberapa detik kemudian Amora mengambil garpu yang dipegang Aksen kemudian menyuapkan potongan daging itu oleh tangannya sendiri.Aksen hanya tersenyum menanggapinya.“Tidak ada hal penting, aku hanya ingin makan siang bersamamu.” Aksen mulai menyuapkan potongan daging kepada mulutnya.Amora terdengar menghela napas panjang. Wanita itu tiba-tiba berdi
Paginya, Aksen harus terganggu dengan kedatangan Diego ke rumah ibunya. Apalagi ketika melihat lelaki itu begitu akrab mengobrol dengan Amora membuat hatinya memanas. “Senang melihatmu baik-baik saja, Amora,” ujar Diego seraya menampilkan senyum tipisnya.“Aku selalu baik-baik saja,” balas Amora. Sementara Aksen berlalu begitu saja melewati mereka yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dengan wajah masam itu, Diego menyadari jika Aksen memang tidak suka dirinya ada di rumah Rina. Apalagi ngobrol akrab dengan istrinya.Namun justru karena itu, Diego semakin gencar mengajak Amora mengobrol ria agar Aksen kesal. Pria itu paling suka melihat sepupunya marah. Aksen pergi ke dapur dan mengambil jus jeruk dingin dari kulkas. Aksen menuangkan jus itu ke gelas panjang kemudian meneguknya hingga tandas. Sisanya ia bawa ke ruang tamu seraya mendudukan dirinya begitu dekat dengan istrinya. Seakan memperlihatkan kepada Diego kalau Amora adalah miliknya.Diego yang paham dengan sikap Diego hanya m
TikPria beralis hitam tebal itu membuka seat belt yang selama hampir dua jam melilit dadanya. Napas lega begitu terdengar jelas dari mulut Aksen dengan diakhiri senyum tipis khas-nya.Setelahnya ia menoleh kepada perempuan yang masih terbaring nyaman di atas alat tidur portable di kursi samping yang direndahkan posisinya. Aksen merangkak mendekati Amora kemudian mengelus pelan pelipis wanita itu.Wanita itu terlihat nyaman bahkan tidak merasa terganggu sedikitpun ketika Aksen menyentuh pelipis dan hidungnya. Aksen terlalu gemas hingga beberapa kali mencubit hidung Amora seraya terkekeh pelan. Ditambah lagi, pipi Amora nampak sedikit berisi setelah ia mengandung.Aksen kembali melihat ke arah depan, mengedarkan pandangan kemudian tersenyum tipis. Terhalang kaca mobil, sebuah danau luas terhampar di depannya. Ya, Aksen ternyata mengajak Amora ke tempat yang tidak asing. Sebuah pulau yang dahulu kala adalah tempat mereka mengukir cerita yang hampir saja ingin Aksen lupakan. Jika mengi
“Gak mungkin anakku mati! Gak mungkin!!!”Teriakan ibunya Aurelia terdengar dari ruang IGD sampai ke tempat registrasi dimana Amora dan Aksen baru saja sampai untuk menjenguk mayat Aurelia yang baru saja ditemukan.Amora melirik sebentar ke wajah Aksen yang tengah tersenyum tipis ke arahnya. Aksen sengaja bersikap begitu dan memperlihatkan wajah tidak panik supaya Amora tidak merasa takut dan tidak sama-sama panik.Padahal dalam hatinya, Aksen kelimpungan sendiri. Takutnya ibunya Aurelia akan nekat melakukan hal buruk kepada Amora apalagi istrinya itu sekarang tengah hamil. Tapi bagaimanapun situasinya, Aksen sudah berjanji akan melindungi Amora dari serangan apapun.Menyadari Amora tidak maju juga dari tadi ke IGD, Aksen merengkuh bahu istrinya dengan tangan kanan kemudian merapatkan kepada tubuhnya. Amora kembali menoleh dan Aksen mengangguk meyakinkan.“Apa aku akan baik-baik saja?”Ini pertama kalinya Aksen mendengar kalau Amora sangat khawatir dan bertanya lebih dulu kepadanya. B