Aksen berjalan tertatih-tatih seraya menopangkan tangannya ke dinding sepanjang ia melangkah. Kepalanya terasa pening dengan penglihatan yang sedikit buram.
Perlahan lelaki itu memijat pelipisnya dengan kuat. Matanya ia kerjap-kerjap kan untuk memastikan penglihatan samarnya.Sial, Aurelia telah meracuninya dengan obat perangsang hingga ia tak bisa mengendalikan diri. Untung saja Diego segera datang dan menarik Aksen yang hampir kewalahan dengan nafsunya sendiri.Aksen juga sangat heran. Kenapa bisa ada Diego disana, di apartemen Aurelia. Lelaki itu muncul tiba-tiba tanpa Aksen sadari kedatangannya.Diego membuat Aksen tak sadar diri kemudian mengirimkan pria itu ke rumahnya dengan menghubungi bodyguard rumah Aksen.Ketika terbangun, Aksen sudah berada di kamarnya dengan baju yang sudah acak-acakan. Menyadari dirinya yang telah tak sengaja meminum obat perangsang, Aksen segera pergi ke belakang rumah dan menceburkan dirinya ke kolam ren“Diego!”Lelaki di depannya langsung menoleh.“Hallo, honey! Aku sudah menyingkirkan kekasihmu, bagaimana jika kau melanjutkan permainan denganku saja?” tawar Diego dengan menaikkan sebelah alisnya.Aurelia menatap tajam mata Diego yang tanpa menampilkan wajah bersalahnya. Sudah lama ia tak bertemu dengan Diego, lelaki yang beberapa tahun lalu mengincar nyawanya.Bukan tanpa sebab, Diego masih mempunyai dendam atas kematian Melva, kekasihnya. Aurelia menjadi tersangka satu-satunya yang Diego incar. Bagaimanapun sepupu jauh Aksen itu benar-benar mengetahui dengan jelas bagaimana sikap wanita licik itu sebenarnya.Bahkan niat jahat Aurelia terhadap Aksen saja, Diego mengetahuinya. Hanya saja ia ingin melihat sepupunya hancur juga karena ia selalu iri terhadap kesuksesan Aksen. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Bukankah sebelumnya kita sudah pernah bertemu?”Plak!Tangan mulus Aurelia mendarat di wajah tampan Diego. Lelaki itu sepertinya kaget, tapi ia
“Jika kau tak amnesia, tentu kau tak melupakan malam ini, Nona?”Suara tak asing itu membuat Amora menoleh cepat ke samping kanannya. Diego tersenyum manis dengan tangan kiri menopang ke kursi Amora dan tangan kanan disimpan di meja. Posisinya sangat dekat hingga napasnya mampu meraba helaian anak rambut Amora.Amora tak gugup sama sekali. Untuknya, dadanya hanya akan berdebar kala sangat berdekatan dengan Aksen. Pria lain tak ada pengaruh untuk tubuhnya, apalagi Diego yang hanya ia anggap sebagai orang baru.Seharusnya Aksen bangga memilikinya. Wanita yang jarang ditemui seperti Amora. Tak haus lelaki ataupun harta. Tapi hati Aksen nampaknya masih gelap untuk sahabat lamanya itu.“Ah, padahal aku sudah berusaha sembunyi darimu,” ucap Amora bernada pasrah kemudian pandangannya kembali ke laptop di depannya. Diego tersenyum tipis menampilkan lesung pipitnya yang menjadi khas pria itu. kemudian ia menarik kursi tepat di depan Amora dan dud
Malam sudah sangat larut tapi mata Aurelia sama sekali tak mau terpejam. Beberapa kali ia merubah posisi tidurnya, tapi tak satupun posisi yang bisa membuatnya terlelap. Bukan tanpa sebab, Aurelia sebenarnya masih sangat terpaku pemikirannya kepada ucapan-ucapan Diego yang berupa ancaman. Sebagai yang telah melakukan dosa di masa lalu, Aurelia sendiri sebenarnya benar-benar tak yakin jika tuhan bisa memaafkannya atau tidak.“Argh! Sial, kenapa pria brengsek itu selalu menghantuiku!” teriaknya frustasi. Aurelia terduduk dengan selimut membungkusnya sebatas perut. Rambut panjangnya acak-acakan, matanya terlihat menghitam. Drtt ... Drtt ...Aurelia menoleh ke samping kirinya karena tiba-tiba saja ponselnya menerima pesan baru dari seseorang. Dengan malas Aurelia meraih ponselnya itu dan segera membukanya.From : ManagerJangan lupa besok pemotretan, kamu harus bangun pagiAurelia langsung melempar ponselnya
“Kali ini kau tidak akan lepas dariku!”Dengan seringaian khasnya, Aurelia menginjak pedal gas tepat ketika seorang perempuan hendak menyebrang di zebra cross. Wanita itu nampak terburu-buru seraya melihat layar ponselnya beberapa kali.“Awas kau, Amora!”Mobil melaju dengan sangat cepat. Aurelia sungguh dalam pikiran kalut hingga ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Aurelia capek, Aurelia ingin semua berakhir dengan kematian Amora. Ia yakin semua permasalahannya berakar di wanita itu.Disaat detik-detik mobil Aurelia hendak menuju zebra cross tersebut, Amora merasa seseorang menarik tangannya hingga ia hampir terjungkal ke belakang. “Astaga!” kagetnya.Mobil Aurelia pun sudah melaju melampauinya. Mobil itu tidak berhasil menyentuh sedikitpun tubuh Amora. Aurelia gagal melakukannya.Ciiit ...Mobil langsung menepi dengan rem yang mendadak. Aurelia melihat ke belakang memastikan bahwa Amora benar-benar tidak
Setelah menyelesaikan rehabilitasi beberapa pasien asuhannya, Amora keluar ruangan kemoterapi dengan meregangkan kedua tangannya meluapkan semua rasa lelah.Seraya berjalan hendak menuju ruangannya, Amora menggerak-gerakkan lehernya yang terasa sangat pegal. Hari ini aktivitas di rumah sakit benar-benar menyita banyak tenaganya.Setelah hampir sampai Amora sedikit kaget kala melihat seseorang berdiri menyandarkan punggungnya di tembok sebelah pintu ruangan pribadinya.Anna nampaknya sudah lama menunggu di sana.“Kenapa tak memberitahuku hendak berkunjung?” tanya tiba-tiba Amora membuat sahabatnya sontak menoleh.“Harusnya aku yang bertanya padamu, kenapa tak mengangkat teleponku?” kesal Anna balik bertanya.Amora menyadari sesuatu yang hilang dari kantong sakunya. Dia melupakan ponselnya selama berada di ruangan rehabilitasi tadi dan meninggalkan ponsel itu di ruangannya.“Masuklah!” Amora mendahului masuk ke dalam ruang
Berita pembunuhan Melva yang dilakukan rekan kerjanya sendiri langsung menjadi trending topik dan menjadi bahan perbincangan banyak orang. Terutama mereka yang menjadi fans berat Aurelia sebagai model top dari beberapa tahun yang lalu.Tak bisa dipungkiri, Aurelia memang berhasil dalam menggali kemampuannya dan membangun karir yang selalu membuat iri orang lain.Wajahnya yang cantik, tubuh yang seksi serta tinggi semampai membuatnya dijuluki sebagai orang yang paling beruntung dalam hal kecantikan.Padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dalam hidupnya. Hidup yang selalu dimanja dan dididik sebagai seorang yang harus terus berada di atas orang lain, semakin membuatnya bertekad membunuh siapapun yang bisa menghalangi semua keinginannya.Hidup yang tak pernah mendapat penolakan, hidup yang tidak pernah merasa kekurangan dengan seorang ibu yang selalu menjadi tamengnya dan seseorang yang sangat mencintainya ia jadikan tangga m
Arta menatap anak dan cucunya bergantian. Mulai dengan Aurelia yang masih berdiri ketakutan kemudian beralih ke Vina yang sibuk menggigit bibir bawahnya karena merasa gelisah sejak tadi. Mereka tak bisa menebak apa yang akan terjadi sekarang. Nasib baik atau buruknya berada di tangan Arta.Hari ini Arta sengaja mengumpulkan anak dan cucu-cucunya karena satu masalah yang baru saja viral hampir meruntuhkan perusahaannya. Amora ikut dalam perkumpulan tersebut sebagai perwakilan atas ayah dan ibunya.“Jelaskan!” pinta Arta seraya duduk di sebuah kursi single tempatnya. Aurelia sama sekali tak ada keberanian untuk mendongak menatap mata kakeknya. Ia menunduk takut dan pasrah apa saja hukuman yang akan diberikan Arta kepadanya.“Jawab!” Arta memerintah masih dengan nada rata-rata.“Itu terjadi sudah lama, aku tak sengaja melakukannya,” jawab Aurelia tanpa menoleh kepada wajah sang kakek.Arta menatap tak percaya pada cucunya yang suda
Wajah Aksen terlihat begitu tertekuk. Malam ini ia begitu tak semangat pulang juga tak semangat untuk bekerja. Selain pusing karena proyeknya gagal, Aksen juga bingung bagaimana caranya membantu Aurelia dalam masalah beratnya.Sepulang kerja dari kantornya, Aksen duduk bersandar di sofa ruang tamu dengan mata terpejam. Sebelah tangannya sengaja ia letakkan di dahi untuk memijat dahi sampai ujung pangkal hidungnya.Kepalanya pusing, otaknya berputar tak berhenti dengan semua masalah yang harus ia hadapi dalam waktu serentak ini. Aksen sangat pusing masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.“Lemon tea, pereda stress.” Aksen spontan membuka matanya kala satu suara memudarkan lamunannya. Aksen perlahan memperjelas penglihatannya yang memburam. Pertama yang ia lihat adalah segelas lemon tea tanpa tahu siapa yang memberikannya.Aksen membenarkan posisi duduknya hingga ia menyadari siapa yang menyodorkan minuman itu padanya. Tapi ia
Amora termenung di depan gerbang setelah ia keluar dari bangunan itu dan meninggalkan dua orang yang paling Amora benci di dunia. Baron dan Frans sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan sesuai tuntutan keluarga korban dan hukum yang berlaku.Setelah ini Amora akan belajar ikhlas atas semuanya. Ayah, ibu, kakek, semua keluarganya sudah tiada. Dan yang sekarang bisa menemaninya hanya keluarga dari sang suami. Mereka begitu terlihat peduli kepada Amora bahkan di kala perempuan itu dalam kesulitan.“Ayo, pulang!” Aksen merangkul pundak Amora dengan lembut.Amora kemudian menoleh. Perempuan itu tersenyum tipis membuat Aksen semakin erat memeluknya. Tak akan pernah Aksen lepaskan lagi seorang istri yang begitu berharga ini dalam hidupnya. Tak akan pernah.Amora kini merasa aman. Bersama orang-orang yang begitu menyayanginya. Seorang suami yang rela berbuat apapun demi menyenangkan hatinya, saudara-saudara yang selalu membuatnya tertawa dan seorang ibu mertua yang mementingkan kebutuhanny
“Aku sudah tahu tempat persembunyian para bajingan itu!” Aksen mengepalkan tangan kirinya dengan erat setelah mengetahui beberapa hal yang membuatnya sangat jengkel. Sudah beberapa hari Aksen mencoba melayangkan senjata kepada dua bajingan itu tapi entah kesaktian apa yang mereka punya sampai selalu lolos dari segala rencananya.Tapi tidak untuk hari ini. Aksen, Diego, Anna, Riri dan Amora akan menyatukan rencana untuk menjebak Baron dan Frans itu. Amora sudah berangkat dengan beberapa pengawalnya menuju gedung tak terpakai yang beberapa tahun lalu terbakar.Benar sekali, di tengah jalan, Amora diculik oleh dua orang dengan topengnya. Amora berpura-pura pingsan untuk mengelabui musuhnya itu. Terdengar jelas di telinga Amora tawa renyah Frans Baron memenuhi ruangan kedap suara. Ingin sekali Amora menyumpal mulut sialan itu. Tapi ia harus menahan itu semua dan berpura-pura pingsan dulu untuk sementara waktu.“Am, kau merindukan panggilan itu, bukan?” tanya Frans dengan wajah berseri.
Beberapa orang suruhan Diego dan Amora berhasil disebarkan untuk mencari keberadaan Aksen. Meskipun Amora nampak berdiam diri saja di rumah, tapi otak dan bawahan-bawahannya tidak pernah diam untuk terus menggali informasi perihal Aksen.Sehari berlalu, Amora belum mendapatkan kabar apapun dari Aksen. Hatinya semakin tak tenang dan otaknya sudah buntu tak bisa berpikir lagi. Apalagi ketika mendengar kabar terbaru dari televisi yang mengabarkan jika Baron dan Frans tidak terlacak kembali keberadaannya.Diego yang beberapa kali mencoba menghubungkan koneksi pelacak pun tetap tidak berhasil. Baron dan Frans sepertinya telah menyusun segala cara sebagus mungkin untuk hari ini dan hari-hari berikutnya demi menangkap Amora. Beberapa kali Diego berpesan untuk Amora tetap berjaga-jaga meskipun ia berdiam diri di rumah.Malam ini seperti biasa Amora tak berhasil memejamkan matanya. Pikiran yang terus berkecamuk dan kepala yang terasa pusing semakin membuatnya tak bisa tidur. Sesekali Amora men
Amora mondar mandir tidak jelas sejak tadi karena pikirannya yang mulai kacau semenjak acara televisi menyajikan berita tentang berkeliarannya dua orang buronan yang kabur dari keamanan. Tentu saja mereka itu adalah Baron dan Frans.Sesuatu yang begitu mengoyakkan hati Amora kala ia mengetahui jika kedua orang itu merupakan ayah dan anak. Frans merupakan anak Baron sebelum ia menikahi ibunya Aurelia. Sungguh sangat lembut permainan Frans waktu itu, hingga membuat Amora tidak bisa melihat mana rekayasa mana nyata.Tentulah sekarang Amora paham mengapa Frans begitu jahat padanya. Ya, semua itu karena Baron dan dirinya menginginkan harta kakeknya Amora yang begitu banyak dan melimpah. Namun tidak semudah itu, setelah membunuh Artha mereka juga mesti menyingkirkan Amora terlebih dahulu untuk mendapatkan harta itu.Amora menggigit jari telunjuknya mencoba menenangkan diri. Meski dirinya sekarang berada di tempat yang aman yaitu di rumah ibu mertuanya. Tapi yang lebih membuat Amora panik ad
“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Huaa ...” Dada yang kembang kempis tak beraturan begitu terlihat disertai wajah ketakutan Amora. Perempuan itu menoleh ke samping dimana ada suaminya tengah memandang khawatir padanya. Bahkan tangan Aksen masih menjadi bantalan kepala istrinya.Untung saja semua itu hanya mimpi. Seseorang mendatanginya bahkan terbawa ke alam bawah sadarnya. Dia datang ingin merenggut nyawa dengan tanpa alasan. Amora sungguh ketakutan hingga tak sadar tangannya menggenggam lengan Aksen. “Ada apa, Mora?” Aksen mencoba menyadarkan istrinya yang terlihat kebingungan selepas sadar dari pingsannya.Menyadari dirinya begitu menempel ke tubuh Aksen, Amora segera berusaha duduk dan membenarkan posisinya. Meskipun dalam keadaan tak baik-baik saja, ia tak akan memperlihatkannya kepada Aksen. Saking gengsinya ia tak akan pernah merendahkan harga dirinya lagi di depan Aksen. “Mora, kau baik-baik saja?”Amora menghela napas panjang beberapa
“Katakan, apa maumu? Aku tidak mempunyai waktu luang cukup lama untukmu,” ujar Amora langsung pada intinya ketika mereka sudah dihidangkan beberapa makanan di atas meja.“Mora, aku bukan klienmu. Sekarang ini aku berperan sebagai suamimu, apa pantas bicara begitu?”Amora menatap tanpa ekpresi ke arah suaminya. Aksen kini selalu menyebalkan di depan matanya. “Aku tak suka bertele-tel-““Makan dulu,” potong Aksen seraya menyodorkan sepotong beefsteak ke mulut Amora hingga perempuan itu terdiam.Melihat istrinya yang sama sekali tidak membuka mulut untuk melancarkan suapannya, Aksen menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya dengan isyarat. Beberapa detik kemudian Amora mengambil garpu yang dipegang Aksen kemudian menyuapkan potongan daging itu oleh tangannya sendiri.Aksen hanya tersenyum menanggapinya.“Tidak ada hal penting, aku hanya ingin makan siang bersamamu.” Aksen mulai menyuapkan potongan daging kepada mulutnya.Amora terdengar menghela napas panjang. Wanita itu tiba-tiba berdi
Paginya, Aksen harus terganggu dengan kedatangan Diego ke rumah ibunya. Apalagi ketika melihat lelaki itu begitu akrab mengobrol dengan Amora membuat hatinya memanas. “Senang melihatmu baik-baik saja, Amora,” ujar Diego seraya menampilkan senyum tipisnya.“Aku selalu baik-baik saja,” balas Amora. Sementara Aksen berlalu begitu saja melewati mereka yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dengan wajah masam itu, Diego menyadari jika Aksen memang tidak suka dirinya ada di rumah Rina. Apalagi ngobrol akrab dengan istrinya.Namun justru karena itu, Diego semakin gencar mengajak Amora mengobrol ria agar Aksen kesal. Pria itu paling suka melihat sepupunya marah. Aksen pergi ke dapur dan mengambil jus jeruk dingin dari kulkas. Aksen menuangkan jus itu ke gelas panjang kemudian meneguknya hingga tandas. Sisanya ia bawa ke ruang tamu seraya mendudukan dirinya begitu dekat dengan istrinya. Seakan memperlihatkan kepada Diego kalau Amora adalah miliknya.Diego yang paham dengan sikap Diego hanya m
TikPria beralis hitam tebal itu membuka seat belt yang selama hampir dua jam melilit dadanya. Napas lega begitu terdengar jelas dari mulut Aksen dengan diakhiri senyum tipis khas-nya.Setelahnya ia menoleh kepada perempuan yang masih terbaring nyaman di atas alat tidur portable di kursi samping yang direndahkan posisinya. Aksen merangkak mendekati Amora kemudian mengelus pelan pelipis wanita itu.Wanita itu terlihat nyaman bahkan tidak merasa terganggu sedikitpun ketika Aksen menyentuh pelipis dan hidungnya. Aksen terlalu gemas hingga beberapa kali mencubit hidung Amora seraya terkekeh pelan. Ditambah lagi, pipi Amora nampak sedikit berisi setelah ia mengandung.Aksen kembali melihat ke arah depan, mengedarkan pandangan kemudian tersenyum tipis. Terhalang kaca mobil, sebuah danau luas terhampar di depannya. Ya, Aksen ternyata mengajak Amora ke tempat yang tidak asing. Sebuah pulau yang dahulu kala adalah tempat mereka mengukir cerita yang hampir saja ingin Aksen lupakan. Jika mengi
“Gak mungkin anakku mati! Gak mungkin!!!”Teriakan ibunya Aurelia terdengar dari ruang IGD sampai ke tempat registrasi dimana Amora dan Aksen baru saja sampai untuk menjenguk mayat Aurelia yang baru saja ditemukan.Amora melirik sebentar ke wajah Aksen yang tengah tersenyum tipis ke arahnya. Aksen sengaja bersikap begitu dan memperlihatkan wajah tidak panik supaya Amora tidak merasa takut dan tidak sama-sama panik.Padahal dalam hatinya, Aksen kelimpungan sendiri. Takutnya ibunya Aurelia akan nekat melakukan hal buruk kepada Amora apalagi istrinya itu sekarang tengah hamil. Tapi bagaimanapun situasinya, Aksen sudah berjanji akan melindungi Amora dari serangan apapun.Menyadari Amora tidak maju juga dari tadi ke IGD, Aksen merengkuh bahu istrinya dengan tangan kanan kemudian merapatkan kepada tubuhnya. Amora kembali menoleh dan Aksen mengangguk meyakinkan.“Apa aku akan baik-baik saja?”Ini pertama kalinya Aksen mendengar kalau Amora sangat khawatir dan bertanya lebih dulu kepadanya. B