"Aksen"
..Amora menghentikan gerakan pria yang sedari tadi mengajaknya berdansa itu. Pria bertopeng itu tampak kebingungan dengan gerakan Amora yang tiba-tiba menghentikan dansa mereka."Kenapa?" tanya pria itu.Amora langsung menoleh kepada pria itu spontan. "A-ah, sepertinya cukup untuk malam ini," ujarnya seraya melepaskan genggaman pria itu.Amora berjalan meninggalkan pria itu yang masih mematung di antara kerumunan orang-orang yang tengah asik berdansa. Amora tak tahu jika pria itu terus memperhatikan dirinya dengan seringaian yang mampu membuat siapapun takut melihatnya.Amora memilih duduk kemudian segera membuka ponselnya dengan tatapan yang tajam, memilih satu kontak yang akan segera ia hubungi kali ini."Aksen ada disini."" …""Cepat kirimkan padaku apapun yang kau temukan selama mencari keberadaan Aksen!"" …"Amora kembali menutup teleponnya. Matanya kini t"Hati-hati, Am!" ujar Frans dari dalam mobil seraya menunduk untuk melihat jelas posisi temannya. Tangannya melambai akrab.Amora mengernyitkan dahinya, "Harusnya, aku yang mengatakan hati-hati padamu," ucapnya.Frans kembali tertawa tanpa suara. Ekspresi seperti itu semakin membuat ketampanannya bertambah. "Rumahmu jauh lebih bahaya dari jalanan kota," ujarnya seraya terkekeh pelan."Sembarangan kau ini, haha …" Amora ikut tertawa pelan. "Tapi … by the way, thank you Frans." Amora tersenyum lembut. Lesung Pipit itu sangat manis ketika muncul karena Amora tersenyum bahagia, bukan tersenyum sinis seperti biasanya. Senyum manis itu yang menjadi daya tarik Amora di mata Frans. Frans sangat menyukainya. Oleh karena itu, ia selalu berusaha untuk membuat Amora sering tersenyum manis ketika bersamanya.Frans mengangguk dengan tatapan bak memuja kepada Amora. Kelopak matanya tak pernah menutup, hanya untuk memperhatikan senyu
“PERGI!!!” bentak seseorang dengan tatapan melotot tajam berhasil membuat Amora memejamkan matanya sejenak. Amora menghela nafas pelan. Seorang pasien tengah memberontak di atas ranjang saat ini. Lima orang perawat berusaha memegangi tangan dan kaki pria itu untuk diikatkan ke tiang ranjang. “Berikan obat penenang untuknya!” titah Amora kepada kelima perawat itu seraya berjalan ke luar ruangan. Dadanya bergemuruh, tangannya sedikit bergetar. Amora harus meninggalkan situasi itu secepatnya.“Astaga!”Amora mengusap dadanya pelan, menetralkan rasa kaget yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat seperti tengah lari marathon. Sang pelaku hanya nyengir menampilkan gigi putih nan rapinya kepada korban. “Aku bukan hantu, Am!” Frans terkekeh pelan melihat Amora yang nampak melotot kearahnya. Dengan wajah tanpa dosanya itu, Frans berdiri tepat di depan pintu.“Ini masih pagi, Frans! Tolong jangan banyak ulah,” kesal Amora seraya mel
“Kita tuntaskan sekarang juga!” Amora melirik sang suami yang sudah berdiri berkacak pinggang menghadapnya. Padahal sedari tadi suasana hatinya sangat baik. Tapi setelah Aksen datang dan berbicara dengan nada sedikit tegas, senyum Amora kembali memudar.“Apa yang hendak kaubicarakan? Aku sedang sibuk,” ungkap Amora kembali menyibukkan dirinya dengan Ipad di tangannya. Tanpa diduga, Aksen merebut paksa Ipad itu dari tangan Amora. Sontak Amora menatap Aksen dengan tajam. “Aku tak mengganggumu hari ini, kenapa kau mengusikku?” tanya Amora kemudian.“Aku ingin mengakhiri semuanya!” Amora mendelikkan matanya. Ia melipat kedua tangannya dibawah dada seraya menaikkan kaki kanan untuk diletakkan di atas kaki kirinya. “Apa yang ingin kau akhiri?”Aksen nampak tak habis pikir dengan pertanyaan Amora. “Pernikahan konyol settinganmu ini!” Amora menghela napas. “Apa kau tidak memikirkan dampaknya? Kau akan keh
Suara ponsel yang tiba-tiba berdering mengalihkan pandangan Amora dari beberapa berkas yang ada di hadapannya. Sembari terus berkutat di atas beberapa kertas, tangan sebelah Amora mencoba meraih ponsel itu untuk menjawab panggilan.“Ya,” singkat Amora memberi isyarat jika ia sudah menerima panggilan dari seberang sana.“Maaf mengganggu, Bu. Hari ini Pak Arta akan berkunjung ke rumah sakit untuk menemui anda,” ucap Riri sopan.Amora mengernyitkan dahinya. “Kenapa kakek hendak menemuiku?”“Maaf Bu, saya kurang mengetahui informasi mengenai hal itu. Hanya saja sebelum pergi, beliau sempat bertanya tentang keberadaan anda saat ini. Dan saya diperintahkan untuk memberitahu anda untuk segera ke lobi rumah sakit,” jelas Riri panjang lebar.Amora terdiam sejenak.“Oke, Ri. Terima kasih,” ucap Amora seraya langsung memutuskan panggilan kemudian membereskan beberapa berkas di depannya itu.Segera setelah mejanya lumayan rapi, Amor
“Kukira kau tak akan datang,” ucap seorang gadis dengan segelas anggur di tangannya.Amora tersenyum menanggapi. “Aku hanya kasihan kepada sahabat tercintaku ini. Masa dia harus minum sendirian malam ini.”Amora memanggil seorang pelayan dan memesan satu botol minuman soda kesukaannya. Meskipun pergaulannya diantara orang-orang yang selalu main ke club, Amora tidak begitu sering minum seperti teman-temannya.Anna memanyunkan bibirnya mendengar pernyataan dari Amora yang mengecewakan.“Kenapa kau tiba-tiba mengajakku minum?” tanya Amora setelah meneguk setengah kaleng minuman sodanya.“Aish! Aku mumet sekali minggu ini. Klien-klienku sangat menyebalkan,” sahut Anna kembali meminum sedikit minuman di tangannya.Amora tertawa kecil. “Jika suatu nanti aku punya kasus, apakah kau sukarela menjadi pengacaraku, Na?” Amora sedikit terkekeh.“NO! Aku akan menolaknya! Klien sepertimu hanya akan membuatku stres!” ungkap perempuan i
Sepulang dari rumah Arta, tak ada terdengar di antara keduanya mencoba membuka pembicaraan. Sepanjang perjalanan pulang pun, baik Amora maupun Aksen tak ada yang mau bicara. Aksen sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengintai otaknya. Ucapan dan pernyataan Arta tadi sangat mengusik pikirannya. Ia banyak penasaran dan ingin tahu banyak hal tentang Amora di masa lalu semenjak mereka berpisah.Sementara Amora pun sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang akan ia lakukan setelah ini, Amora sangat bingung. Ia bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajah Arta ketika mengetahui dan mempercayai jika cucunya hidup penuh cinta bersama Aksen.Padahal ia tak tahu bagaimana yang terjadi di dalam. Di dalam kenyataan, bahwa Aksen hanya akting. Bukan benar-benar menyayangi Amora. Memikirkan itu membuat Amora seketika menghela napas pelan.Setelah sampai di pekarangan rumah Aksen, Amora segera keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Ia harus m
Sepulang Rina dari rumahnya, Aksen kembali turun ke bawah dan mengekori Amora menuju dapur. Ia bersandar di daun pintu seraya melipat kedua tangannya di bawah dada. Dari tempatnya berdiri, Aksen bisa melihat apa saja yang sedang dikerjakan istrinya. Wanita itu sangat sibuk memainkan alat dapur dan memotong beberapa bahan masakan dengan cekatan. Aksen tidak bisa berbohong jika saat ini Amora terlihat menarik dengan kemeja kebesaran membalut tubuh mungilnya sampai ke pha. Rambut yang diikat asal memperlihatkan leher jenjangnya yang sangat putih.“Cari alasan supaya kita tidak jadi pergi,” ucap Aksen tiba-tiba. Amora diam saja. Wanita itu sama sekali tak menghiraukan ucapan Aksen yang pasti akan membuatnya terus berdebat dengan lelaki itu.Menyadari Amora tak merespon ucapannya, Aksen berdecak sebal. “Kenapa aku harus melewatkan tawaran sebagus itu?” sahut Amora tanpa menoleh ke wajah suaminya.“Oke, jika kau mau pergi maka Aurel
“Kau”“Kau!”Aksen mengerutkan dahinya. Terlihat dari wajah bingungnya, lelaki itu seakan bertanya kepada masing-masing individu yang tengah bersamanya, apakah mereka orang yang saling mengenal.“Kita bertemu lagi. Ah, aku sangat yakin kalau kita adalah jodoh!” pria yang tadi bertemu Amora di lobi kini tengah berada di ruangan Aksen. Dilihat dari caranya menyapa ataupun berinteraksi, Amora bisa tahu jika pria itu sangat humoris dan asik untuk diajak ngobrol. Setelan yang tidak formal juga pasti membuat siapapun yang mengobrol dengannya bisa bersikap santai.Pria itu mendekat ke arah Amora yang masih mematung di tempat. Selain Amora yang hanya diam saja, Aksen pun terlihat bingung dengan pergerakan pria itu yang mendekati Amora.“Perkenalkan namaku Diego, kita belum sempat berkenalan tadi!” ujar pria itu seraya tersenyum ramah. Tangannya terulur mengajak wanita di depannya untuk berjabat tangan.Pandangan Amora tertuju p
Amora termenung di depan gerbang setelah ia keluar dari bangunan itu dan meninggalkan dua orang yang paling Amora benci di dunia. Baron dan Frans sudah divonis hukuman mati oleh pengadilan sesuai tuntutan keluarga korban dan hukum yang berlaku.Setelah ini Amora akan belajar ikhlas atas semuanya. Ayah, ibu, kakek, semua keluarganya sudah tiada. Dan yang sekarang bisa menemaninya hanya keluarga dari sang suami. Mereka begitu terlihat peduli kepada Amora bahkan di kala perempuan itu dalam kesulitan.“Ayo, pulang!” Aksen merangkul pundak Amora dengan lembut.Amora kemudian menoleh. Perempuan itu tersenyum tipis membuat Aksen semakin erat memeluknya. Tak akan pernah Aksen lepaskan lagi seorang istri yang begitu berharga ini dalam hidupnya. Tak akan pernah.Amora kini merasa aman. Bersama orang-orang yang begitu menyayanginya. Seorang suami yang rela berbuat apapun demi menyenangkan hatinya, saudara-saudara yang selalu membuatnya tertawa dan seorang ibu mertua yang mementingkan kebutuhanny
“Aku sudah tahu tempat persembunyian para bajingan itu!” Aksen mengepalkan tangan kirinya dengan erat setelah mengetahui beberapa hal yang membuatnya sangat jengkel. Sudah beberapa hari Aksen mencoba melayangkan senjata kepada dua bajingan itu tapi entah kesaktian apa yang mereka punya sampai selalu lolos dari segala rencananya.Tapi tidak untuk hari ini. Aksen, Diego, Anna, Riri dan Amora akan menyatukan rencana untuk menjebak Baron dan Frans itu. Amora sudah berangkat dengan beberapa pengawalnya menuju gedung tak terpakai yang beberapa tahun lalu terbakar.Benar sekali, di tengah jalan, Amora diculik oleh dua orang dengan topengnya. Amora berpura-pura pingsan untuk mengelabui musuhnya itu. Terdengar jelas di telinga Amora tawa renyah Frans Baron memenuhi ruangan kedap suara. Ingin sekali Amora menyumpal mulut sialan itu. Tapi ia harus menahan itu semua dan berpura-pura pingsan dulu untuk sementara waktu.“Am, kau merindukan panggilan itu, bukan?” tanya Frans dengan wajah berseri.
Beberapa orang suruhan Diego dan Amora berhasil disebarkan untuk mencari keberadaan Aksen. Meskipun Amora nampak berdiam diri saja di rumah, tapi otak dan bawahan-bawahannya tidak pernah diam untuk terus menggali informasi perihal Aksen.Sehari berlalu, Amora belum mendapatkan kabar apapun dari Aksen. Hatinya semakin tak tenang dan otaknya sudah buntu tak bisa berpikir lagi. Apalagi ketika mendengar kabar terbaru dari televisi yang mengabarkan jika Baron dan Frans tidak terlacak kembali keberadaannya.Diego yang beberapa kali mencoba menghubungkan koneksi pelacak pun tetap tidak berhasil. Baron dan Frans sepertinya telah menyusun segala cara sebagus mungkin untuk hari ini dan hari-hari berikutnya demi menangkap Amora. Beberapa kali Diego berpesan untuk Amora tetap berjaga-jaga meskipun ia berdiam diri di rumah.Malam ini seperti biasa Amora tak berhasil memejamkan matanya. Pikiran yang terus berkecamuk dan kepala yang terasa pusing semakin membuatnya tak bisa tidur. Sesekali Amora men
Amora mondar mandir tidak jelas sejak tadi karena pikirannya yang mulai kacau semenjak acara televisi menyajikan berita tentang berkeliarannya dua orang buronan yang kabur dari keamanan. Tentu saja mereka itu adalah Baron dan Frans.Sesuatu yang begitu mengoyakkan hati Amora kala ia mengetahui jika kedua orang itu merupakan ayah dan anak. Frans merupakan anak Baron sebelum ia menikahi ibunya Aurelia. Sungguh sangat lembut permainan Frans waktu itu, hingga membuat Amora tidak bisa melihat mana rekayasa mana nyata.Tentulah sekarang Amora paham mengapa Frans begitu jahat padanya. Ya, semua itu karena Baron dan dirinya menginginkan harta kakeknya Amora yang begitu banyak dan melimpah. Namun tidak semudah itu, setelah membunuh Artha mereka juga mesti menyingkirkan Amora terlebih dahulu untuk mendapatkan harta itu.Amora menggigit jari telunjuknya mencoba menenangkan diri. Meski dirinya sekarang berada di tempat yang aman yaitu di rumah ibu mertuanya. Tapi yang lebih membuat Amora panik ad
“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Amora kau harus mati!”“Huaa ...” Dada yang kembang kempis tak beraturan begitu terlihat disertai wajah ketakutan Amora. Perempuan itu menoleh ke samping dimana ada suaminya tengah memandang khawatir padanya. Bahkan tangan Aksen masih menjadi bantalan kepala istrinya.Untung saja semua itu hanya mimpi. Seseorang mendatanginya bahkan terbawa ke alam bawah sadarnya. Dia datang ingin merenggut nyawa dengan tanpa alasan. Amora sungguh ketakutan hingga tak sadar tangannya menggenggam lengan Aksen. “Ada apa, Mora?” Aksen mencoba menyadarkan istrinya yang terlihat kebingungan selepas sadar dari pingsannya.Menyadari dirinya begitu menempel ke tubuh Aksen, Amora segera berusaha duduk dan membenarkan posisinya. Meskipun dalam keadaan tak baik-baik saja, ia tak akan memperlihatkannya kepada Aksen. Saking gengsinya ia tak akan pernah merendahkan harga dirinya lagi di depan Aksen. “Mora, kau baik-baik saja?”Amora menghela napas panjang beberapa
“Katakan, apa maumu? Aku tidak mempunyai waktu luang cukup lama untukmu,” ujar Amora langsung pada intinya ketika mereka sudah dihidangkan beberapa makanan di atas meja.“Mora, aku bukan klienmu. Sekarang ini aku berperan sebagai suamimu, apa pantas bicara begitu?”Amora menatap tanpa ekpresi ke arah suaminya. Aksen kini selalu menyebalkan di depan matanya. “Aku tak suka bertele-tel-““Makan dulu,” potong Aksen seraya menyodorkan sepotong beefsteak ke mulut Amora hingga perempuan itu terdiam.Melihat istrinya yang sama sekali tidak membuka mulut untuk melancarkan suapannya, Aksen menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya dengan isyarat. Beberapa detik kemudian Amora mengambil garpu yang dipegang Aksen kemudian menyuapkan potongan daging itu oleh tangannya sendiri.Aksen hanya tersenyum menanggapinya.“Tidak ada hal penting, aku hanya ingin makan siang bersamamu.” Aksen mulai menyuapkan potongan daging kepada mulutnya.Amora terdengar menghela napas panjang. Wanita itu tiba-tiba berdi
Paginya, Aksen harus terganggu dengan kedatangan Diego ke rumah ibunya. Apalagi ketika melihat lelaki itu begitu akrab mengobrol dengan Amora membuat hatinya memanas. “Senang melihatmu baik-baik saja, Amora,” ujar Diego seraya menampilkan senyum tipisnya.“Aku selalu baik-baik saja,” balas Amora. Sementara Aksen berlalu begitu saja melewati mereka yang sedang mengobrol di ruang tamu. Dengan wajah masam itu, Diego menyadari jika Aksen memang tidak suka dirinya ada di rumah Rina. Apalagi ngobrol akrab dengan istrinya.Namun justru karena itu, Diego semakin gencar mengajak Amora mengobrol ria agar Aksen kesal. Pria itu paling suka melihat sepupunya marah. Aksen pergi ke dapur dan mengambil jus jeruk dingin dari kulkas. Aksen menuangkan jus itu ke gelas panjang kemudian meneguknya hingga tandas. Sisanya ia bawa ke ruang tamu seraya mendudukan dirinya begitu dekat dengan istrinya. Seakan memperlihatkan kepada Diego kalau Amora adalah miliknya.Diego yang paham dengan sikap Diego hanya m
TikPria beralis hitam tebal itu membuka seat belt yang selama hampir dua jam melilit dadanya. Napas lega begitu terdengar jelas dari mulut Aksen dengan diakhiri senyum tipis khas-nya.Setelahnya ia menoleh kepada perempuan yang masih terbaring nyaman di atas alat tidur portable di kursi samping yang direndahkan posisinya. Aksen merangkak mendekati Amora kemudian mengelus pelan pelipis wanita itu.Wanita itu terlihat nyaman bahkan tidak merasa terganggu sedikitpun ketika Aksen menyentuh pelipis dan hidungnya. Aksen terlalu gemas hingga beberapa kali mencubit hidung Amora seraya terkekeh pelan. Ditambah lagi, pipi Amora nampak sedikit berisi setelah ia mengandung.Aksen kembali melihat ke arah depan, mengedarkan pandangan kemudian tersenyum tipis. Terhalang kaca mobil, sebuah danau luas terhampar di depannya. Ya, Aksen ternyata mengajak Amora ke tempat yang tidak asing. Sebuah pulau yang dahulu kala adalah tempat mereka mengukir cerita yang hampir saja ingin Aksen lupakan. Jika mengi
“Gak mungkin anakku mati! Gak mungkin!!!”Teriakan ibunya Aurelia terdengar dari ruang IGD sampai ke tempat registrasi dimana Amora dan Aksen baru saja sampai untuk menjenguk mayat Aurelia yang baru saja ditemukan.Amora melirik sebentar ke wajah Aksen yang tengah tersenyum tipis ke arahnya. Aksen sengaja bersikap begitu dan memperlihatkan wajah tidak panik supaya Amora tidak merasa takut dan tidak sama-sama panik.Padahal dalam hatinya, Aksen kelimpungan sendiri. Takutnya ibunya Aurelia akan nekat melakukan hal buruk kepada Amora apalagi istrinya itu sekarang tengah hamil. Tapi bagaimanapun situasinya, Aksen sudah berjanji akan melindungi Amora dari serangan apapun.Menyadari Amora tidak maju juga dari tadi ke IGD, Aksen merengkuh bahu istrinya dengan tangan kanan kemudian merapatkan kepada tubuhnya. Amora kembali menoleh dan Aksen mengangguk meyakinkan.“Apa aku akan baik-baik saja?”Ini pertama kalinya Aksen mendengar kalau Amora sangat khawatir dan bertanya lebih dulu kepadanya. B