"Kamu mengajakku tinggal di kontrakan kumuh dan berantakan seperti ini?"
Aira tak habis pikir dengan apa yang sudah Steven berikan kepadanya. Aira berpikir bila Steven akan memberikannya tempat tinggal yang layak. Namun kali ini otaknya sulit mencerna, Steven malah mengajaknya ke tempat yang begitu menjijikan.Bagaimana Aira akan suka dengan tempat yang kotor dan banyak sekali debu-debu yang hinggap di kursi, lemari, lantai dan tempat lainnya. Apalagi banyak sarang laba-laba yang sudah hinggap di beberapa ruangan."Kontrakan ini memang sudah kotor, karena aku sudah beberapa bulan ini tidak tinggal di sini. Tapi kamu tenang saja, aku pasti akan membersihkannya."Steven masuk ke dalam ruangan untuk mengambilkan kursi. Sambil memasuki ruangan, Steven melihat sekeliling mencari kursi yang masih bisa digunakan. Dia melihat sebuah kursi yang cukup nyaman dan mengambilnya, lalu membawanya keluar ruang tamu.Steven meletakkan kursi yang sudah dibersihkan menggunakan lap di sebelah pintu. "Duduklah, aku akan membersihkan ruangannya terlebih dulu.""Jangan lama-lama, aku sudah lelah.""Baiklah."Steven mulai membersihkan kontrakan mereka. Steven membersihkan debu, mengatur barang-barang, dan menyapu lantai. Meskipun awalnya ia sedikit terkejut dengan kondisi kontrakan yang sudah kotor, Steven tetap harus merapikan tempat tinggalnya, karena ia tahu pasti Aira tidak akan nyaman dengan tempat kotor dan kumuh.Setelah beberapa waktu, kontrakan terlihat jauh lebih bersih dan sudah tertata rapi. Steven melihat ke arah Aira yang sedang memainkan ponselnya. Ia pun menyuruh Aira untuk segera masuk."Masuklah, ruangannya sudah sedikit rapi."Aira menghela napas panjang, wanita itu mulai melihat ke arah ruangan, meskipun ruangan itu tampak sedikit membaik dari sebelumnya. Tapi tetap saja, semua ruangan yang ada begitu terasa sempit baginya."Aku tidak bisa tinggal di tempat seperti ini." Aira berkata dengan perasaan yang sedih."Sabarlah sedikit, hari juga sudah gelap. Kita tidak memiliki tempat tinggal lagi selain di sini. Kamarnya ada di sana!" tunjuk Steven ke arah satu ruangan yang berada di dekat dapur, "kalau kamu sudah lelah bisa beristirahat."Kontrakan yang mereka tempati memiliki empat sekat ruangan, ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Terdapat sofa dan kursi, Steven juga meletakkan meja kecil untuk makan bersama di ruang ini. Sedangkan ketiga ruangan lainnya kamar mandi, dapur, dan satu kamar tidur.Aira berjalan masuk ke dalam kamar, sedangkan Steven memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dulu, karena badannya yang sudah berkeringat dan kotor membuatnya tak nyaman.Steven yang telah selesai mandi dan berganti pakaian bersih. Lelaki yang sudah mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan kolor berwarna ijo sage itu bergumam, "Sepertinya aku harus masak terlebih dulu.""Aira, makanlah! Aku sudah membuatkan mie instan!" Setelah memasak mie instan, Steven berteriak memanggil Aira yang masih berada di dalam kamar.Namun, sepertinya gadis yang masih betah menyendiri di dalam kamar itu tak menyahut, karena penasaran dan takut terjadi apa-apa, Steven langsung masuk ke dalam kamar."Ternyata sudah tidur." Steven mengembangkan senyumnya ketika melihat Aira yang sudah tertidur pulas.Lelaki tampan itu langsung menarik selimut, menutupi tubuh Aira yang terpapar udara.Waktu terus berjalan, hari pun sudah berganti. Steven kini sedang berkutat dengan alat dapur, pagi ini ia hanya bisa masak seadanya, yaitu dengan mie instan lagi, karena ia belum sempat untuk membeli bahan-bahan makanan lainnya."Aira, mie-nya sudah matang, hari ini sarapan sama mie dulu, karena aku belum beli bahan masakan. Nanti sehabis pulang kerja aku baru membelinya."Steven berucap ketika melihat Aira yang sudah keluar dari dalam kamar mandi. Namun, perkataan wanita itu membuat Steven tercengang."Aku gak level makan mie murahan seperti itu, bisa-bisa perutku sakit!" kata Aira tanpa merasa bersalah atas ucapannya.Namun, wanita yang masih mengenakan bathrobe itu langsung masuk ke dalam kamar. Steven hanya menghela napas dan mencoba untuk tegar menghadapi sifat Aira.Beberapa saat kemudian, Steven melihat Aira yang sudah keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang sepertinya ingin pergi ke suatu tempat, karena penasaran Steven pun mulai bertanya, "Aira, kamu mau ke mana?""Aku mau bertemu sama teman-teman," kata Aira seraya mengenakan sepatu high heels nya."Aira, lebih baik jangan mengenakan high heels, pakai sepatu yang biasa saja."Aira mengernyitkan dahinya ketika mendengar perkataan Steven. "Kenapa memangnya? Apa yang salah bila aku mengenakan high heels?" ucap Aira heran."Memakai high heels tidak dianjurkan bagi wanita hamil.""Diamlah Steven! Kamu selalu saja membuat hariku semakin buruk! Jangan mengatur-ngatur hidupku lagi!"Aira segera keluar dari dalam rumah tanpa menghiraukan keberadaan Steven.Steven hanya menghela napas panjangnya lagi ketika melihat tingkah Aira, lelaki itu pun hanya bisa pasrah dan bersiap-siap untuk pergi bekerja.Ketika hendak berangkat kerja, Steven mengambil motornya terlebih dahulu yang sebelumnya disewakannya kepada sahabatnya.Steven tersenyum ke arah sahabatnya, "Hai, apa kabar? Aku datang untuk mengambil motorku.""Hai, Steven! Tentu, tidak masalah. Motornya di sini, kamu bisa mengambilnya. Ngomong-ngomong ... apa kamu sudah tinggal di kontrakan lagi?" Aryo bertanya kepada sahabat seperjuangannya itu, yang sama-sama berasal dari kampung yang sama.Dulu, pertama kalinya Steven ke kota, Aryo lah yang membawanya dan mempertemukannya dengan ibunya, Widya, yang sudah tak lama jumpa karena rindu."Iya, baru semalam.""Asyik nih, kita bisa ngopi-ngopi bareng lagi.""Tentu saja. Aku duluan, ya. Harus ke tempat kerja soalnya.""Ok, sebentar lagi juga aku akan berangkat kerja."Setelah proses administrasi selesai dan semua detail teratasi, Steven memutuskan untuk kembali ke rumah dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.Ketika dalam perjalanan menuju tempat kerjanya, Steven melihat Aira yang masih menunggu taksi di pinggir jalan.Steven segera menuju ke tempat Aira berada."Aira! Kamu masih menunggu taksi?"Aira memutar bola matanya malas ketika Steven selalu saja hadir tak terduga di depannya. "Iya," jawabnya ketus."Di sini memang susah mencari taksi, aku antar saja kamu ke tempat tujuan?"Aira mengerutkan keningnya ketika mendengar Steven berkata seperti itu. "Mau ditaruh di mana mukaku bila teman-temanku tahu, aku diantar sama kamu?!" Aira memalingkan wajahnya, lalu melipat tangannya di atas dada."Lantas, apa kamu mau menunggu taksi sampai malam di sini?"Aira masih mementingkan egonya."Ayolah, cuacanya semakin panas, nanti kulitmu bisa gosong." Steven mencoba membujuk Aira lagi, agar wanita yang sudah menjadi istrinya itu mau diantar.Dengan terpaksa akhirnya Aira pun mau naik ke atas motor Steven, karena ia pun sebenarnya sudah lelah berdiri dengan sepatu high heels nya. Apalagi cuaca pagi ini yang sudah hampir memanas.Setelah tiba di tempat tujuan, Aira pun langsung turun dari motor Steven. Namun sayangnya, ada teman-teman Aira yang memergoki bila Aira diantar menggunakan motor oleh Steven."Aira!" teriak teman-teman Aira dari belakang tempat Aira berdiri.Aira terkesiap saat melihat para sahabatnya yang sudah berdiri di dekatnya."K-kalian sudah sampai?" Aira bertanya dengan wajah yang begitu panik."Tentu saja! Kami tidak mau ketinggalan, acaranya juga sebentar lagi dimulai. Tapi Aira … kenapa kamu berangkat bareng dia?" tunjuk Nita ke arah Steven."Oh, i-itu … karena tadi mobilku mogok. Makanya aku suruh Steven buat membawa motor saja biar cepat," elak Aira.Santi tersenyum lebar ke arah Steven. "Hai, Steven, bagaimana kabarnya?"Lelaki tampan yang masih mengenakan helm itu membalas senyuman dari Santi. "Aku baik, bagaimana dengan kamu?""Aku juga baik, apa kamu mau ikut bareng kita untuk makan-makan?" ajak Santi.Belum juga Steven menjawab, Fika sudah menyela. "Buat apa kamu mengajak lelaki miskin seperti dia? Buat bayar secangkir teh yang ada di cafe saja tidak mampu. Apalagi bayar makanannya."Semua orang tertawa terkecuali Santi. Santi melihat ke arah Steven yang hanya tersenyum. Santi tahu walaupun bibir Steven tersenyum tapi hatinya teramat sakit."Oh iya, Ra. Memangnya kamu tidak malu naik motor butut kayak gitu? Kenapa tadi kamu tidak menghubungi aku saja? Pasti aku akan jemput kamu menggunakan mobil baruku, daripada kamu naik motor butut seperti itu!" Nita tersenyum seraya mengejek motor Steven yang sudah butut."Sudahlah, aku juga terpaksa kali," jawab Aira santai.Santi merasa sakit hati ketika teman-temannya terus saja mengejek Steven. "Kalian bisa diam tidak! Kenapa kalian selalu saja mengejek Steven?!" Santi berkata dengan wajah yang sudah memancarkan amarahnya."Kenapa kamu malah membela lelaki itu? Memang itu kenyataannya bukan? Steven itu anak miskin yang tidak punya apa-apa? Ganteng sih, tapi sayang, KERE!" Fika berucap tanpa memperdulikan perasaan Steven.Semua orang pun hanya tertawa saja. Namun, Santi, gadis itu mengepalkan kedua tangannya. "Diam kalian! Steven memang terlahir dari orang tua yang tak punya, tapi apa salahnya? Kenapa kalian terus saja menghinanya?!" Urat nadi Santi serasa ingin putus."Kenapa kamu terus saja membela dia?" kata Aira yang heran kepada satu sahabatnya itu, yang sedari tadi terus-terusan membela Steven."Karena aku cinta sama Steven, aku gak mau kalian terus saja menghinanya!""Kenapa kamu terus saja membela dia?" kata Aira yang heran kepada satu sahabatnya itu, yang sedari tadi terus-terusan membela Steven."Karena aku cinta sama Steven, aku gak mau kalian terus saja menghinanya!"Suasana semakin tegang di antara mereka. Santi berdiri tegak, matanya berkilat menahan amarah. Dia tidak bisa membiarkan Steven terus dihina tanpa melawan."Kamu serius?" Fika bertanya dengan perasaan yang begitu tak percaya kepada Santi. Ia hanya berharap bahwa sahabatnya itu sedang bercanda.Santi mengangguk cepat, wanita tersebut begitu sangat percayaan diri. "Iya, aku memang sudah lama mencintai Steven."Aira memandang Santi dengan wajah terkejut yang sulit disembunyikan. "Hhh, apa? Kamu cinta sama Steven? Apa aku tidak salah dengar?" Aira bertanya dengan rasa heran yang begitu mencolok. Bagaimana mungkin seorang Santi, yang dikenal sebagai gadis cerdas dan elegan, bisa jatuh cinta kepada Steven, lelaki miskin yang tak memiliki apa pun?Santi tersenyum, membiarkan matanya mem
---"Apa?!" Aira membulatkan matanya sempurna ketika mendengar perkataan Santi. Dia merasakan hatinya berdegup kencang, mencoba memproses informasi yang baru saja didengarnya.Santi tersenyum manis melihat reaksi temannya. "Iya, Aira. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan," ucapnya dengan penuh keyakinan.Nita dan Fika tak bisa menyembunyikan rasa kecewa mereka terhadap Santi. Mereka pikir bila Santi hanya bercanda saja tentang perasaannya terhadap Steven. Namun ternyata, sahabatnya itu benar-benar tidak bisa diberi nasehat."Aku tak percaya!" seru Nita dengan rasa sesalnya.Fika menganggukkan kepala sambil melihat Santi begitu heran. "Kalian berdua sudah jadian? Aku tidak tahu harus senang atau harus kecewa sama kamu, San."Aira masih terdiam, matanya memancarkan kebingungan yang jelas. Hatinya berdebar tak karuan, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Steven, lelaki yang sudah menjadi suaminya, dengan begitu teganya membalas perasaan Santi, sahabatnya sendiri. Aira
Anwar menatap Aira dengan tatapan tajam yang membuat gadis cantik itu gugup. Ada ketegangan di antara mereka ketika Anwar akhirnya bertanya dengan suara tegas, memecah keheningan yang ada di antara mereka berdua."Untuk apa kamu kembali ke rumah, Aira?" tanya Anwar dengan nada serius.Aira memandang ayahnya dengan mata yang penuh harapan. Suaranya gemetar ketika ia mulai berbicara, mencoba memohon dengan nada yang penuh emosi. "Papa, Aira tidak ingin tinggal bersama Steven. Aira tidak ingin hidup di kontrakan yang sempit dan tidak layak. Aira ingin tinggal bersama Papa saja," ucapnya sambil terisak.Anwar menggelengkan kepala dan menatap Aira dengan tajam. "Tidak bisa," jawabnya tegas, sambil mempertahankan sikap angkuhnya."Tapi, Pa!"Anwar tetap pada pendiriannya. "Tidak ada alasan Aira. Kamu sudah menikah dengan Steven, kamu harus tinggal bersamanya!" jelasnya dengan suara yang tak terbantahkan.Aira merasa bingung dengan hidupnya yang tak menentu setelah pernikahannya dengan Steven
Aira berdiri di tepi danau, matanya memandang keindahan air yang tenang di malam hari. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahaya gemilang di permukaan air. Suara lembut angin malam menyusuri rambutnya, membawa sedikit kesejukan dalam suasana yang terasa terlalu panas. Namun, meskipun alam di sekelilingnya begitu tenang dan indah, hati Aira terasa begitu berat dan penuh dengan rasa sakit. Beberapa waktu lalu, kehidupannya berubah secara mendadak. Dia terpaksa menghadapi kenyataan pahit ketika orang tuanya memutuskan untuk menyuruhnya tinggal bersama Steven.Keputusan itu menghantamnya begitu dalam. Aira tidak pernah membayangkan bahwa dia akan mengalami hal seperti ini, terutama dari orang-orang yang seharusnya melindunginya. Meskipun begitu, dia juga tahu bahwa dia tidak bisa mengubah keputusan orang tuanya.Aira menghela napas dalam, mencoba untuk menguatkan hatinya sendiri. Dia mencari tempat untuk berteduh, mencari pemahaman, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang b
"Berani-beraninya kalian mencoba melukai seorang wanita!" teriak lelaki itu dengan suara yang menggelegar.Para preman terkejut dan menghentikan cengkramannya pada Aira. Mereka memandang pria muda itu dengan tajam."Siapa kau, berani menghentikan kami?" ejek salah satu preman dengan nada merendahkan.Steven tidak bergeming, matanya tetap fokus pada para preman. "Aku suaminya, aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti istriku. Lepaskan dia sekarang juga!" titah Steven dengan nada yang lebih tegas lagi.Namun, satu di antara preman itu memutuskan untuk mencoba lagi. Dengan sikap yang menantang, dia melangkah mendekati Steven. "Kau pikir kami akan takut?" ancamnya sambil mencoba untuk menendang ke arah Steven.Tetapi Steven dengan cepat menghindar, dan dengan gerakan yang lincah, dia membalas dengan pukulan yang mengenai perut preman itu.Bugh!Sang preman terguncang, nyaris kehilangan keseimbangannya.Para preman lainnya segera bereaksi, mereka melontarkan pukulan dan tendangan ke arah
'Kenapa tanda lahir mereka sama? Apakah di dunia ini ada beberapa orang yang memiliki tanda lahir yang sama persis?' gumam Aira lirih di dalam hati.Memori itu masih teringat jelas dalam ingatan Aira. Saat itu, dia dan Michael berada di sebuah hotel. Aira terbangun dari tidurnya dan melihat Michael duduk di tepi ranjang. Dengan pandangan tanpa sehelai benang pun, Aira menyadari bahwa Michael juga memiliki tanda lahir yang sangat mirip dengan milik Steven."Aira, ada apa?" tanya Steven sambil melambaikan tangannya di depan wajah Aira, saat wanita itu hanya terdiam dan memandangnya.Aira terdiam sejenak dari lamunannya. "Oh, tidak apa-apa," jawabnya, mencoba menyembunyikan kebingungannya.Namun, pertanyaan itu terus menggelitik pikirannya. Apakah ada kemungkinan bahwa ada orang lain di dunia ini yang memiliki tanda lahir yang sama persis seperti mereka? Apakah ada sesuatu yang belum ia ketahui?Pikiran-pikiran ini menghantui Aira. Ia merasa bingung dan penasaran, namun dia tidak yakin ba
Steven membuka mata, menyambut cahaya pagi yang masuk lewat jendela kamar. Dengan gerakan perlahan, dia meraih telepon pintarnya yang ada di meja samping tempat tidur, memeriksa pesan dan notifikasi yang datang semalaman. Setelah memastikan tidak ada yang mendesak, Steven bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.Air segar menyapa wajahnya saat Steven mencuci muka, meresapi kebangkitan pagi dengan kesegaran. Lalu setelah itu kemudian ia menggosok giginya. Steven memandang cermin dengan senyuman ringan, ia meraih handuk kecil untuk membersihkan air yang masih ada di wajahnya.Setelah mandi, langkahnya melaju ke dapur. Steven membuka lemari dapur, mencari bahan-bahan untuk sarapan. Pilihan jatuh pada telur dan sayuran segar. Dengan keterampilan yang sudah dimilikinya, dia mulai mempersiapkan sarapan pagi. Bau harum bumbu-bumbu dapur mulai menyelinap ke seluruh ruangan.Saat masakan hampir selesai, Steven menyadari bahwa harapannya adalah bisa berbagi hidangan ini dengan orang yan
"Pakai punya saya saja, Mbak," ujar seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dari belakang Aira. Dengan senyuman, lelaki tersebut menyerahkan kartu kredit miliknya kepada kasir.Aira menoleh, terkejut oleh tindakan baik lelaki itu. "Terima kasih, tapi tidak usah repot," katanya dengan nada malu.Lelaki tersebut hanya tersenyum. "Tidak masalah, biar aku membantu."Aira meski merasa terharu, awalnya ragu untuk menerima tawaran baik tersebut. Namun, karena situasinya yang mendesak, dia akhirnya menerima bantuan lelaki tersebut. Proses pembayaran berjalan lancar, dan Aira merasa teramat berterima kasih pada lelaki yang dengan tulus membantunya keluar dari situasi yang memalukan itu.Aira bersyukur kepada Andre, lelaki baik hati yang dengan sukarela membantu membayar belanjaannya. Namun, hatinya masih terasa canggung dengan kejadian tadi."Terima kasih, Andre. Nanti aku akan membayarnya," ucap Aira dengan senyuman, mencoba menunjukkan rasa terima kasihnya."Tidak perlu, lagian kita sudah bertem
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka