"Kalau Michael saja tidak menginginkan bayi itu dan tidak mau bertanggung jawab. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab?!" Suara Anwar menggelegar mengisi seisi ruangan.
"Saya, saya yang akan bertanggung jawab atas bayi yang dikandung oleh Aira." Steven berkata dengan penuh keyakinan.Steven mengucapkan kata-kata itu dengan penuh keyakinan dan keberanian. Aira dan keluarganya memandangnya dengan ekspresi wajah yang begitu terkejut.Pasalnya, selama ini Aira begitu membenci Steven karena terlahir dari anak yang tak punya apa-apa.Kenyataan bahwa Steven, yang selama ini dianggap oleh Aira sebagai anak yang kurang beruntung, akan menjadi sosok yang bertanggung jawab atas bayi yang dikandungnya, adalah sebuah ironi yang tak terduga. Aira tiba-tiba merasa sangat kompleks dan bingung dalam pikirannya."Bagaimana mungkin? Kenapa kamu yang harus bertanggung jawab pada putriku? Bagaimana aku bisa percaya sama kamu? Bahkan hidupmu saja masih menumpang di rumahku!" Anwar berucap begitu lantang.Bagaimana mungkin, ia akan memberikan putrinya kepada lelaki yang masih bekerja di rumahnya? Bahkan memiliki pekerjaan tetap saja tidak.Anwar tidak mungkin memberikan putrinya kepada Steven yang bekerja sebagai tukang kebun rumahnya dan bekerja di toko percetakan.Seorang lelaki datang dari desa untuk tinggal bersama ibunya, yang bekerja sebagai pembantu di rumah Adiwijaya. Dan kini menyodorkan diri untuk menjadi menantu dari keluarga Adiwijaya.Apakah lelaki itu sengaja ingin menikmati hartanya saja?Namun, tidak dengan Dian, dengan mata berkaca-kaca wanita yang sudah memiliki suami dua tahun lalu itu bertanya, "Benarkah, Steven? Apa kamu serius?"Steven mengangguk mantap. "Ya, saya serius. Saya akan bertanggung jawab atas bayi yang sedang dikandung oleh Aira.""Diam kamu! Mau makan apa anakku bila menikah dengan lelaki seperti kamu!" Kali ini Sari yang bersuara.Sari tidak ingin putrinya menikah dengan lelaki miskin seperti Steven. Ia menganggap bahwa kehidupan dengan segala keterbatasannya dapat menjadi beban bagi masa depan Aira.Sari merasa khawatir tentang bagaimana mereka akan mengatasi kesulitan ekonomi jika Aira menikah dengan Steven."Steven, ibu ingin tahu mengapa kamu bersedia untuk bertanggung jawab kepada janin yang bukan anakmu sendiri, Nak?"Widya tak habis pikir mengapa putranya itu malah yang harus bertanggung jawab atas apa yang tidak ia lakukan.Steven, seorang lelaki muda berumur 25 tahun yang selalu dikenal sebagai seseorang yang baik hati dan selalu memiliki rasa empati yang mendalam. Namun, di tengah perbincangan mereka, Widya merasa bahwa apa yang Steven tawarkan untuk bertanggung jawab atas janin yang bukan anaknya adalah langkah yang seharusnya tidak perlu diambil."Steven mengerti perasaanmu, Ibu. Setiap orang punya pandangan yang berbeda tentang hal ini. Bagiku, ini adalah cara untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi." Steven mencoba menjelaskan kepada ibunya yang sudah merawatnya sejak kecil.Widya masih merasa khawatir tentang konsekuensi masa depan yang mungkin akan dialami oleh Steven. "Tapi, Steven, ini bisa mempengaruhi masa depanmu juga. Kamu harus memikirkan dirimu sendiri juga, Nak."Dengan tulus Steven menjawab, "Steven telah memikirkannya, dan Steven tahu ini adalah pilihan yang tidak mudah. Tapi Steven ingin melakukan apa yang benar, bahkan jika itu sulit. Steven berharap bisa melewati semua ini."Widya merasa lega mendengar sikap tulus Steven, meskipun ia masih merasa bahwa langkah ini mungkin tidak seharusnya ditempuh. Yang terpenting, keduanya harus tetap jujur dengan perasaan masing-masing dan mendukung satu sama lain dalam menghadapi konsekuensi dari keputusan yang mereka ambil.Steven menatap Aira dengan serius. "Saya tahu bahwa janin ini bukan anak biologis saya, tetapi bagi saya, tanggung jawab itu lebih dari hanya hubungan darah. Saya merasa bahwa kita sebagai manusia harus bertanggung jawab atas tindakan kita.""Tapi ini akan menjadi tanggung jawab besar, Steven. Apakah kamu yakin kamu siap?" Dian mencoba meyakinkan Steven kembali. Walau bagaimanapun Dian juga pasti ingin yang terbaik untuk adiknya.Steven mengangguk mantap. "Saya menyadari bahwa ini akan menjadi perjalanan yang sulit dan penuh tantangan. Tapi saya percaya bahwa setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan perhatian. Saya ingin memberikan janin ini kesempatan yang layak, meskipun bukan anak biologis saya."Widya menghela napas lega, Widya begitu bahagia memiliki seorang anak yang memiliki hati yang begitu lapang, seringkali merasa tercengang oleh kebaikan hati anaknya itu. Ia tidak tahu pasti dari mana anaknya memperoleh sifat seperti itu.Setiap kali ia melihat putranya bertindak dengan empati dan kebaikan, hati Widya menjadi hangat. Ia tahu bahwa dia telah membesarkan anak yang istimewa, dan itu membuatnya merasa sangat bangga dan bersyukur.Meskipun ia tidak tahu pasti darimana asalnya, Widya berkomitmen untuk terus mendukung putranya dalam menjalani hidup dengan hati yang begitu lapang."Pa, Ma, Dian mohon. Izinkan Steven menikahi Aira, sebelum orang-orang mengetahui tentang kehamilannya."Dian memohon dengan sangat kepada kedua orang tuanya yang memiliki watak keras kepala. Semua ini ia lakukan hanya demi Aira, adiknya yang ia sayangi."Baiklah, sekarang juga aku akan menikahkan mereka," kata-kata itu keluar dari mulut Anwar dengan tegas.Sari terkejut mendengarnya, tetapi juga merasa lega bahwa suaminya telah memutuskan untuk mendukung keputusan ini. Meskipun masih ada kekhawatiran dan keraguan di hatinya, dia tahu bahwa Aira harus segera menikah, sebelum orang-orang mengetahui tentang kehamilan putrinya.Aira yang sedang dirias dengan make-up seadanya, menangis bombay.Bagaimana mungkin ia tak menangis, bila akan menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ia cintai?Matanya yang digarisi eyeliner merajuk saat mencerminkan wajahnya di depan cermin.Dian duduk di sebelahnya, mencoba untuk memberikan dukungan kepada adiknya. "Aira, Kakak tahu ini sulit bagimu. Tapi ingatlah bahwa kita selalu memiliki pilihan. Kamu harus yakin dengan pernikahan ini."Aira menyeka air matanya dengan lengan gaunnya dan menatap Dian. "Aira tidak tahu, Kak. Aira merasa seperti terjebak dalam situasi ini, dan Aira tidak ingin mengecewakan kalian semua." Aira menatap abstrak ke dinding, mencoba untuk merenungi semua yang telah terjadi. "Aira ingin menikah karena cinta, bukan karena keterpaksaan."Dian meletakkan tangannya di pundak Aira dengan perlahan. "Pernikahan adalah langkah besar, dan kamu harus merasa bahagia dalam keputusan ini. Jangan pernah merasa terpaksa. Pikirkan dengan baik apa yang kamu inginkan."Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosinya yang bergejolak. "Aira akan mencoba menerima semua ini, walaupun semua ini begitu sulit bagi Aira."Dian tersenyum dan mengangguk. "Itu baru adik Kakak."Dian memeluk Aira erat, mencoba dengan hangat menenangkan adiknya yang masih terisak-isak. Mereka duduk berdampingan di sudut kamar Aira, tempat mereka sering berbicara tentang segala hal.Dian tersenyum dengan penuh pengertian. "Cinta sejati datang hanya sekali dalam hidup, Aira. Kakak yakin Steven adalah lelaki yang baik untuk kamu."Setelah pernikahan selesai, suasana di kediaman Adiwijaya menjadi tegang. Anwar memanggil Steven dengan suara serius, dan Steven segera mendekat dengan penuh rasa hormat."Steven," kata Anwar dengan tegas, "saya telah memberikan izin untuk pernikahan ini, tetapi sekarang saatnya bagi kamu dan Aira untuk memulai hidup baru bersama. Saya ingin kamu membawa putriku pergi dari sini."Deg!Perkataan ayahnya itu membuat tubuh Aira melemas."Steven," kata Anwar dengan tegas, "saya telah memberikan izin untuk pernikahan ini, tetapi sekarang saatnya bagi kamu dan Aira untuk memulai hidup baru bersama. Saya ingin kamu membawa putriku pergi dari sini."Deg!Perkataan ayahnya itu membuat tubuh Aira melemas. Jantungnya seperti sedang diremas.Sesak.Semua ini terasa begitu sesak baginya. Apakan ayahnya itu mengusirnya? Apakah dia sudah tidak ingin melihat wajahnya lagi?Seketika bulir hangat kembali lolos dari pelupuk mata Aira, wanita yang masih mengenakan kebaya itu begitu tak percaya, dan tubuhnya begitu melemah. Steven merasa cemas, tetapi dia mengangguk dan dengan hormat menjawab, "Baik, Pak Anwar. Kami akan segera pergi."Dian mendekat dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Steven, tolong jagalah Aira dengan baik. Kami selalu mencintainya, dan kami ingin yang terbaik untuknya."Steven tersenyum begitu manis. "Saya akan merawatnya sebaik mungkin, Bu Dian. Terima kasih atas kepercayaannya.""Pa, apa Papa mengusir Aira?" Ai
Taksi meluncur di tengah lalu lintas kota, Aira dan Steven duduk di belakang sambil mencatat barang-barang apa saja yang akan dibelinya nanti.Sambil melihat ponselnya untuk mencatat keperluan apa saja yang akan ia beli nanti di minimarket, Steven berkata, "Nanti kita beli beberapa barang untuk keperluan di kontrakan, ya.""Terserah!" jawab Aira dengan nada ketus.Namun, tiba-tiba, sopir taksi dengan cekatan menginjak rem, membuat mereka berdua terguncang sampai kepala Aira terbentur kaca mobil."Awhh …!" rengek Aira kesakitan, "hati-hati dong, Pak, kalau nyetir! Sebenarnya bisa nyetir gak sih?" omel Aira kesal seraya menyentuh kepalanya yang sakit."Maaf, Mbak, ada halangan di depan. Sepertinya ada pohon tumbang." Sopir berkata dengan penuh penyesalan karena tiba-tiba mengerem dadakan mobilnya, sampai membuat penumpangnya terbentur pintu mobil.Steven memandang keluar jendela. Dan benar saja, sebuah pohon besar sudah menghalangi jalan mereka, dan beberapa kendaraan lain pun sedang be
"Kamu mengajakku tinggal di kontrakan kumuh dan berantakan seperti ini?"Aira tak habis pikir dengan apa yang sudah Steven berikan kepadanya. Aira berpikir bila Steven akan memberikannya tempat tinggal yang layak. Namun kali ini otaknya sulit mencerna, Steven malah mengajaknya ke tempat yang begitu menjijikan.Bagaimana Aira akan suka dengan tempat yang kotor dan banyak sekali debu-debu yang hinggap di kursi, lemari, lantai dan tempat lainnya. Apalagi banyak sarang laba-laba yang sudah hinggap di beberapa ruangan."Kontrakan ini memang sudah kotor, karena aku sudah beberapa bulan ini tidak tinggal di sini. Tapi kamu tenang saja, aku pasti akan membersihkannya."Steven masuk ke dalam ruangan untuk mengambilkan kursi. Sambil memasuki ruangan, Steven melihat sekeliling mencari kursi yang masih bisa digunakan. Dia melihat sebuah kursi yang cukup nyaman dan mengambilnya, lalu membawanya keluar ruang tamu.Steven meletakkan kursi yang sudah dibersihkan menggunakan lap di sebelah pintu. "Dud
"Kenapa kamu terus saja membela dia?" kata Aira yang heran kepada satu sahabatnya itu, yang sedari tadi terus-terusan membela Steven."Karena aku cinta sama Steven, aku gak mau kalian terus saja menghinanya!"Suasana semakin tegang di antara mereka. Santi berdiri tegak, matanya berkilat menahan amarah. Dia tidak bisa membiarkan Steven terus dihina tanpa melawan."Kamu serius?" Fika bertanya dengan perasaan yang begitu tak percaya kepada Santi. Ia hanya berharap bahwa sahabatnya itu sedang bercanda.Santi mengangguk cepat, wanita tersebut begitu sangat percayaan diri. "Iya, aku memang sudah lama mencintai Steven."Aira memandang Santi dengan wajah terkejut yang sulit disembunyikan. "Hhh, apa? Kamu cinta sama Steven? Apa aku tidak salah dengar?" Aira bertanya dengan rasa heran yang begitu mencolok. Bagaimana mungkin seorang Santi, yang dikenal sebagai gadis cerdas dan elegan, bisa jatuh cinta kepada Steven, lelaki miskin yang tak memiliki apa pun?Santi tersenyum, membiarkan matanya mem
---"Apa?!" Aira membulatkan matanya sempurna ketika mendengar perkataan Santi. Dia merasakan hatinya berdegup kencang, mencoba memproses informasi yang baru saja didengarnya.Santi tersenyum manis melihat reaksi temannya. "Iya, Aira. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan," ucapnya dengan penuh keyakinan.Nita dan Fika tak bisa menyembunyikan rasa kecewa mereka terhadap Santi. Mereka pikir bila Santi hanya bercanda saja tentang perasaannya terhadap Steven. Namun ternyata, sahabatnya itu benar-benar tidak bisa diberi nasehat."Aku tak percaya!" seru Nita dengan rasa sesalnya.Fika menganggukkan kepala sambil melihat Santi begitu heran. "Kalian berdua sudah jadian? Aku tidak tahu harus senang atau harus kecewa sama kamu, San."Aira masih terdiam, matanya memancarkan kebingungan yang jelas. Hatinya berdebar tak karuan, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Steven, lelaki yang sudah menjadi suaminya, dengan begitu teganya membalas perasaan Santi, sahabatnya sendiri. Aira
Anwar menatap Aira dengan tatapan tajam yang membuat gadis cantik itu gugup. Ada ketegangan di antara mereka ketika Anwar akhirnya bertanya dengan suara tegas, memecah keheningan yang ada di antara mereka berdua."Untuk apa kamu kembali ke rumah, Aira?" tanya Anwar dengan nada serius.Aira memandang ayahnya dengan mata yang penuh harapan. Suaranya gemetar ketika ia mulai berbicara, mencoba memohon dengan nada yang penuh emosi. "Papa, Aira tidak ingin tinggal bersama Steven. Aira tidak ingin hidup di kontrakan yang sempit dan tidak layak. Aira ingin tinggal bersama Papa saja," ucapnya sambil terisak.Anwar menggelengkan kepala dan menatap Aira dengan tajam. "Tidak bisa," jawabnya tegas, sambil mempertahankan sikap angkuhnya."Tapi, Pa!"Anwar tetap pada pendiriannya. "Tidak ada alasan Aira. Kamu sudah menikah dengan Steven, kamu harus tinggal bersamanya!" jelasnya dengan suara yang tak terbantahkan.Aira merasa bingung dengan hidupnya yang tak menentu setelah pernikahannya dengan Steven
Aira berdiri di tepi danau, matanya memandang keindahan air yang tenang di malam hari. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahaya gemilang di permukaan air. Suara lembut angin malam menyusuri rambutnya, membawa sedikit kesejukan dalam suasana yang terasa terlalu panas. Namun, meskipun alam di sekelilingnya begitu tenang dan indah, hati Aira terasa begitu berat dan penuh dengan rasa sakit. Beberapa waktu lalu, kehidupannya berubah secara mendadak. Dia terpaksa menghadapi kenyataan pahit ketika orang tuanya memutuskan untuk menyuruhnya tinggal bersama Steven.Keputusan itu menghantamnya begitu dalam. Aira tidak pernah membayangkan bahwa dia akan mengalami hal seperti ini, terutama dari orang-orang yang seharusnya melindunginya. Meskipun begitu, dia juga tahu bahwa dia tidak bisa mengubah keputusan orang tuanya.Aira menghela napas dalam, mencoba untuk menguatkan hatinya sendiri. Dia mencari tempat untuk berteduh, mencari pemahaman, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang b
"Berani-beraninya kalian mencoba melukai seorang wanita!" teriak lelaki itu dengan suara yang menggelegar.Para preman terkejut dan menghentikan cengkramannya pada Aira. Mereka memandang pria muda itu dengan tajam."Siapa kau, berani menghentikan kami?" ejek salah satu preman dengan nada merendahkan.Steven tidak bergeming, matanya tetap fokus pada para preman. "Aku suaminya, aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti istriku. Lepaskan dia sekarang juga!" titah Steven dengan nada yang lebih tegas lagi.Namun, satu di antara preman itu memutuskan untuk mencoba lagi. Dengan sikap yang menantang, dia melangkah mendekati Steven. "Kau pikir kami akan takut?" ancamnya sambil mencoba untuk menendang ke arah Steven.Tetapi Steven dengan cepat menghindar, dan dengan gerakan yang lincah, dia membalas dengan pukulan yang mengenai perut preman itu.Bugh!Sang preman terguncang, nyaris kehilangan keseimbangannya.Para preman lainnya segera bereaksi, mereka melontarkan pukulan dan tendangan ke arah
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka