"Gilang hati-hati!" pesan Om Pras sedikit berteriak pada Gilang yang sudah menuju ruang tamu. Gilang hanya memberikan jempolnya tanda mengerti pada Om Pras dan Khansa dari ruang tamu.
Sepeninggal Gilang Om Pras elanjutkan sarapan d temani Khansa. Dalam hati Khansa ingin sekali menanyakan masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini, pabrik papanya hingga kecelakaan yang dialami Nadin, namun melihat Om Pras yang makan dengan lahap diurungkan niatnya. Suara dering telepon menghentikan kegiatan makan Om Pras. Diliriknya layar yang menyala di meja.
"Rama," gumam Om Pras yang masih terdengar samar oleh Khansa.
Khansa melirik sekilas pada Om Pras, wajahnya kini sedikit gusar. Ada kekhawatiran jika kabar yang akan disampaikan Rama bukan kabar yang diinginkannya. Diambilnya telepon dan menggeser layar untuk menjawab panggilan Rama.
"Ada apa Ram?" tanya Om Pras setelah mendengar suara Rama di seberang.
"Semalam mobil Brian dipastikan kemba
"Papa ..., aku pergi dahulu. Aku akan menemui orang yang bisa membantu memperlancar rencanaku," ucap Brian pamit pada Hary. "Brian ..., hati-hatilah. Jangan terlalu memaksa jika memang itu akan membuatmu celaka," pesan papa sebelum Brian meninggalkan Hary sendiri di rumah. Brian menatap sesaat pada papanya. Akhir-akhir ini papa sudah tak pernah mengungkit masa lalunya. Papa lebih banyak mengurung diri di kamar. Sepertinya papa kangen dengan Mama Pratiwi dan adiknya Diana. Batin Brian saat melangkah meninggalkan pintu dan menutupnya kembali. Brian masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di samping rumah sederhana yang ditinggalinya sebulan belakangan. Kali ini tujuannya adalah kantor Prasetya. Dia akan mendampingi pemegang saham baru yang akan menemui pemilik Narendra Corp. namun sebelumnya dia akan menemui Burhan, orang yang membantunya dan pesawat yang membawanya baru saja mendarat. Setibanya di Bandara Brian masih harus menunggu karena bagasi yang terlambat serta proses peng
"Brian?!!" tanya handy terkejut.Brian tersenyum sekilas. Sedangkan Pak Burhan langsung memahami keterkejutan orang yang di hadapannya. Sebelum berangkat tadi Brian sudah menjelaskan jika dia mengenal beberapa orang yang akan rapat nanti. "Perkenalkan. Ini rekan saya yang selalu membantu, bisa dikatakan Brian adalah asisten saya saat ini," jawab Pak Burhan tegas sehiingga membuat Handy memundrkan langkahnya perlahan dan mempersilaan mereka berdua masuk. Om Pras dan Rama yang mendengar sekilas ucapan Handy dan Pak Burhan saling memandang sesaat dan tersenyum kecil. Sepertinya dugaan mereka tepat. Brian mencari orang yang akan digunakan sebagai rekan kerja sama untuk mencapai tujuan yang kemarin gagal. Batin Om Pras yang kni menatap Brian yang berjalan di samping Pak Burhan. Om Pras berdiri untuk menyabut salah satu dewan direksi yang dibacanya dari daftar pada berkas di hadapannya. Setelah sampai di hadapan Pak Burhan diulurkan tangannya untuk saling berjabat tangan. Pak Burhan meny
"Ram, kini aku sudah tidak sama seperti dahulu. Terapi yang kujalani terasa lambat memberikan kesembuhan. Aku tak ingin menjadi bebanmu, Ram," ucap Nadin dalam hati dengan tatapan nanar.Hingga mobil Rama tak terlihat, barulah Nadin menghembuskan nafas perlahan. Digerakkan tangannya memutar roda agar bisa masuk ke dalam rumah. Mama Dewi yang memperhatikan kejadian di teras, menghampiri dan mendorong kursi roda menuju kamar Nadin. Dibantunya menjaga keseimbangan tubuh Nadin yang beranjak ke atas kasur.Tatapan mata Nadin seakan memohon untuk ditinggalkan sendiri. Namun Mama Dewi tetap berujar pelan, "Rama tak pernah berhenti mencintaimu Nadin. Yakinlah."Nadin tak membantah, namun juga tak menjawab ucapan Mama Dewi. Diperhatikannya Mama Dewi mengeser kursi ke samping tempat tidur agar nanti saat Nadin akan menggunakannya mudah dijangkau."Istirahatlah, Sayang. Mama tunggu nanti di meja makan ya!" perintah mama dengan suara lembut.
"Nadin, aku mohon jangan membuatku bertambah gila dengan rasa bersalah," ujar Rama menghentikan gerakan kursi roda Nadin yang beranjak meninggalkan Rama di taman.Rama tersenyum, ternyata Nadin masih memperhatikan perasaannya. Dilangkahkan kakinya hingga sampai di belakang kursi roda. Saat Rama datang tadi Nadin sedang berjalan melanjutkan terapinya. Perawat yang selalu menemaninya kini sudah berada di hadapan mereka."Mba Nadin sebaiknya melanjutkan terapi dahulu, tadi sudah berjalan lebih jauh dari biasanya!" ujar perawat sambil meletakkan air dalam baskom yagn sudah dberikan obat terapi untuk merendam kedua kaki Nadin. Rama memberi tanda agar perawat meinggalkan mereka."Nadin, biar aku yang melanjutkan terapinya," ucapnya sambil berjongkok dan mulai memijat kaki Nadin. Dahulu sebelum Nadin sadar setiap hari Rama yang melakukan terapi pijatan pada Nadin. Semenjak Nadin sadar, dia selalu menolaknya.Kini Nadin berusaha memahami semua y
"Hanny, mengapa ke sini?" tanya Om Pras yang langsung bangun menghampiri Khansa saat mengenali suara yang baru masuk. Om Pras menarik tangan Khansa agar tak ikut masuk ke dalam. Dia tak ingin Khansa ikut terlibat dalam perseteruannya dengan Brian. "Hanny, papa akan menyelesaikan semuanya dahulu. Hanny jaga Asha dan Shasha saja ya," ujar Om Pras setelah dia memaksa Khansa duduk di ruang tunggu tamu. "Tapi, Pa!" potong Khansa cepat. Om Pras menatap Khansa dengan tajam seakan meyakinkannya jika permasalahan di perusahaan akan segera berakhir. Khansa masih meragukan apa yang dilihatnya, namun tatapan mata Om Pras membuatnya tersadar. Jika bukan karena Khansa yang datang sendiri, mungkin dia tak akan seyakin saat ini. "Hanny diantar pulang Gilang. Sekalian menjemput Asha di sekolah. Setelah urusan papa selesai, papa langsung pulang. Bagaimana?" tanya Om Pras setelah memberikan sedikit penjelasan. Khansa mengangguk setuju. Om Pras harus menjelaskan banyak hal padanya. Mama De
"Jika nanti papa bukan lagi pimpinan Narendra, Hanny masih mencintai papa kan?" tanya Om Pras melanjutkan pertanyaannya tanpa menjawab pertanyaan Khansa.Khansa beranjak bangun dari pelukan Om Pras. Ditatapnya mata Om Pras dalam untuk mendapatkan kepastian dari ucapan-ucapannya. Awalnya Khansa menduga jika itu hanyalah candaan, namun saat dilihat kejujuran di mata Om Pras Khansa menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelahan. "Pa, jika memang itu yang terbaik mama akan mendukung papa. Mama hanya ingin papa sehat dan bisa bersama dengan Asha dan Shasha hingga mereka dewasa," ucapnya sambil merebahkan kembali kepalanya dalam pelukan Om Pras. Tak ada perbincangan selanjutnya hingga akhirnya terdengar hembusan nafas pelan Khansa yang tertidur. Om Pras merebahkan kepala Khansa disampingnya dan menarik selimut menutupi tubuh Khansa pelan."Hanny, papa akan menyelesaikan semua masalah Narendra terlebih dahulu. Papa tidak ingin ada orang yang mencari keuntungan dan menghancurkan Narendra
“Papa tidak mau tahu! Secepatnya putuskan siapa yang akan menjadi ayah dari anakmu.” Ruang keluarga yang biasanya menjadi tempat favorit Khansa, kali ini tidak lagi. Hampir satu pekan perdebatan antara Kak Yasmine dengan papa dan mama terjadi. Semua diawali kondisi Kak Yasmine yang saat ini diketahui positif hamil, namun dia sendiri bingung siapa ayahnya. Kak Yasmine menjalin hubungan dengan dua pria di saat yang bersamaan. Sampai sejauh mana tidak ada yang mengetahuinya, namun kini papa mengetahui kehamilannya. Khansa hanya mengenal Kak Brian, sedangkan Kak Prasetya, nama yang kadang disebut-sebut dalam perdebatan sepertinya jarang diajak kakak ke acara keluarga. Khansa hanya bisa mencuri dengar dari ruang makan. Dia takut jika kemarahan papa akan berimbas padanya. Saat ini dia harus berkonsentrasi pada ujian sekolah yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi. Mimpinya menjadi mahasiswi di Kampus Dwi Aksara menjadi salah satu motivasi untuk mengikuti ujian dengan nilai yang terbaik. D
“Maksud Om?” “Om? Sepertinya harus diubah panggilannya. Tidak mungkin kan suami sendiri dipanggil om?” sindirnya tajam. “Suami? Maksudnya om akan menikah dengan denganku?” tanya Khansa kaget dan binggung. “Ya, itupun jika kamu tidak ingin melihat Keluarga Yudhatama hancur bersama perusahaannya. Tapi jika kamu tidak ingin membalas budi, tidak apa. Kita bisa bekerja sama menghancurkannya,” jelasnya pelan. Khansa terdiam membeku masih tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi dia tak ingin berada di keluarga Yudhatama lagi, namun dia juga tak ingin menikah diusianya yang semuda ini. Khansa menggeleng pelan, berpikir keras apa yang harus diputuskannya. “Aku beri waktu hingga besok. Jika tidak ada kabar hingga pukul 12.00, maka satu lagi kontrak akan kuselesaikan. Kamu bisa menghubungi nomor Rama, asisten saya, dia yang akan mengatur semuanya.” Khansa hanya memandangi punggung Om Pras yang sudah beranjak dan melangkah menuju mobilnya. Dikejauhan dilihatnya pintu mobil y