Max dan Alison sampai di pemakaman. Suasana di sana tampak ramai. Alison turun dari mobil, menatap keadaan sekitar. Lalu tanpa diduga, sebuah topi lebar mendarat di kepalanya. Dia mendongak, menemukan Max yang menatapnya tanpa ekspresi."Ayo," ajak pria itu.Alison mengikutinya dari belakang. Tapi, ternyata Max berhenti dan meraih tangannya untuk digenggam. Kala mereka melangkah, Alison masih termenung memikirkan sikap suaminya yang mulai banyak berubah. Dia heran, ada apa dengan Max?Mereka sampai di tempat ayah Alison akan dimakamkan. Di sana juga ada Aliya yang berada di rangkulan Argan. Alison sagera memalingkan wajah karena tak sanggup melihat pemandangan itu lebih lama. Melihat Argan bersama perempuan lain, membuat dadanya mencelos. Hingga sekarang, Alison masih belum bisa benar-benar melupakan perasaannya pada pria itu."Jaga matamu."Alison memekik tertahan kala sebuah tangan merengkuh pinggangnya dan meremasnya cukup kuat.Sialan! Apa maksud suami brengseknya itu?!Alison men
Menyadari suaminya tidak memperhatikan prosesi pemakaman, Aliya menoleh padanya dan bertanya, "Ada apa, Argan? Apa ada masalah?"Argan menatap istrinya itu. Dia memberikan gelengan kepala sebagai jawaban."Hanya memperhatikan beberapa lalat yang membuat kericuhan," ucap Argan. Ekspresinya tampak sedikit kesal."Benarkah?" Aliya mengedarkan pandangan. Mencari tahu kericuhan apa yang dimaksud suaminya. Tapi, Aliya menemukan keadaan yang tenang. Semua orang memperhatikan proses pemakaman dengan baik. "Ku rasa tidak ada masalah apapun.""Itu karena sejak tadi kamu terlalu fokus memperhatikan jasad ayahmu yang dimakamkan," ucap Argan, seraya mengusap kepala istrinya itu. Aliya bahkan tidak terganggu dengan suara di sekitarnya. Pikirannya mungkin hanya terpaku pada ayahnya yang kini siap dikebumikan."Ku rasa, ayahmu juga akan bahagia di sana." Argan berusaha menghibur istrinya yang tampak sedih melihat ayahnya tiada. "Apalagi jika melihat kedua putrinya hidup dengan bahagia.""Rasanya akan
Kirana menoleh ketika seseorang membuka pintu ruangannya. Ada Aliya yang masuk dari sana, bersama Alison dan juga Argan. Ini pemandangan yang sedikit mengejutkan untuk Kirana. Karena selama ini ia tidak pernah melihat dua putrinya itu rukun seperti ini. Yang terjadi selalu pertengkaran tiap kali mereka bertemu. Atau lebih tepatnya, Alison yang memancing keributan dengan Aliya."Hai, Bu," sapa Alison. Dia duduk di kursi yang ada di samping brankar. Ekspresi wajahnya tampak cemberut.Sementara Aliya dan Argan memilih duduk di sofa. Mereka memberi kesempatan pada Alison untuk bicara dengan ibunya."Bu, aku benci dengan suamiku. Akhir-akhir ini dia berubah. Dia mulai perhatian. Tapi sikapnya justru membuat aku bergidik ngeri tiap di dekatnya. Bayangkan saja, Bu. Dia mulai tersenyum padaku. Memanggilku dengan mesra, dan bersikap posesif. Aku rasa dia sudah gila." Alison berceloteh. Dia mengeluarkan keluh kesahnya pada ibunya. Selama ini ia memang tidak bisa diam saja saat ada hal yang memb
Alison terpaksa mengikuti Max karena takut jika pria itu akan semakin marah jika ia tak menurut. Padahal rasanya Alison ingin melarikan diri. Tapi ia tidak berani. Saat ini Max terlihat sangat menakutkan."Sudahlah, Alison." Max menghela napas lelah. Dia sudah bersikap baik, meski tadi memang sempat membentak istrinya itu. Tapi kini emosinya mulai mereda. Sikapnya sudah kembali seperti semula. Namun Alison tetap saja bersikap seperti kelinci yang akan ditangkap. Dia terlihat ketakutan."Apa wajahku begitu menyeramkan di matamu? Kenapa kamu terus bersikap seperti itu?" Max cukup kesal melihatnya. Padahal tadi dia tidak memarahi Alison dengan serius. Ia hanya main-main. Itu ia lakukan hanya supaya Alison berhenti memberontak padanya. Bukankah terasa lebih mudah saat perempuan itu patuh padanya? Tapi kenapa dia harus menunjukkan ekspresi takut saat menatapnya?"Aku tidak mau ikut bersamamu," ucap Alison bergumam."Apa? Coba katakan sekali lagi." Max sebenarnya mendengar dengan jelas apa
"Apa kamu sudah mendengar kabar tentang Addyson?"Morgan melirik istrinya yang baru bertanya. Ekspresi wajahnya tampak antusias. Ya, dia selalu seperti itu setiap kali membicarakan kejatuhan hidup orang lain."Tentang dia yang mati bunuh diri?" balas Morgan. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli. Lagipula, itu bukan urusannya sama sekali.Morgan tidak seperti istrinya yang akan dengan semangat membicarakan orang lain. Entah itu tentang kebaikannya atau tentang keburukannya. Selama ini Morgan hanya peduli pada hidupnya sendiri. Ia tidak peduli pada kehidupan orang lain."Ku dengar dia terlilit hutang yang sangat besar. Dia jadi stress sampai tega menyakiti istrinya," ucap Carla berceloteh. Dia menceritakan padahal Morgan sama sekali tidak ingin tahu tentang itu. "Istrinya hampir mati. Dia sekarang berada dalam perlindungan keluarga Alfred. Mereka bodoh karena mau-mau saja membantu keluarga miskin itu," cibir Carla."Memang kenapa? Tidak semua orang seperti kita," ucap Morgan. Dia sendiri
Max dan Alison baru tiba di rumah. Sejak tadi Alison masih setia mencebikkan bibirnya. Sepertinya sikap Max sebelumnya masih membuatnya kesal. Tapi, Max tidak merasa keberatan dengan ekspresi yang dikeluarkan perempuan itu. Dia tampak menggemaskan.Kala mobil mereka berhenti, Alison langsung turun tanpa menunggunya. Max yang melihat itu hanya bisa terkekeh geli sambil menggelengkan kepalanya.Lalu ia bergegas menyusul istrinya itu. Max masih ingin melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda karena gangguan dari Argan."Ku dengar ayahmu mati."Langkah Max berhenti sesaat kala ia mendengar suara ibunya. Dia melihat wanita itu berdiri di depan Alison, tampak tertawa dengan sinis."Dia bunuh diri, bukan? Sungguh menyedihkan."Ini tidak benar. Jika dibiarkan, bisa-bisa Alison mengamuk seperti harimau yang kehilangan anaknya. Ibunya tidak akan bisa menanganinya. Jika Alison sudah mengamuk, dia tidak akan bisa dihentikan dengan mudah."Ibu, apa yang Ibu katakan?" tegur Max. Ia berdiri d
Max menemui istrinya di kamarnya. Bisa ia lihat Alison yang berdiri membelakanginya. Tangannya tampak bergerak di wajah, sepertinya dia menghapus air matanya. Apakah perkataan ibunya tadi menyakiti hatinya?Max menghela napas. Dia merasa bersalah. Karena bagaimana pun, wanita yang menyakiti istrinya itu adalah ibunya.Max menghampiri istrinya, dia membalikkan tubuhnya dan mendekapnya hangat."Maafkan aku," ucap Max dengan tulus."Bullshit! Kemana saja kamu selama ini, huh?!" Alison mendongak, menatap Max dengan tajam. "Tiap kali ibumu mencari masalah, kamu bahkan tidak membantuku.""Aku selalu membantumu. Bahkan ayah juga," sangkal Max. Ya, ia dan ayahnya memang sering mengambil tindakan jika ibunya sudah mencari masalah. Tapi, mereka melakukannya secara perlahan. Mereka tidak mungkin langsung menegurnya dengan keras. Hal itu malah akan membuat ibunya semakin murka. Dia tidak akan berpikir. Orang sepertinya hanya akan mau menang sendiri. Dia selalu membenarkan apapun yang ia lakukan.
Morgan menoleh saat saeseorang membuka pintu ruangannya dan menerobos masuk. Ternyata orang itu adalah putranya sendiri. Ekspresi wajahnya tidak terlihat baik. Sepertinya suasana hatinya sedang buruk saat ini."Apa yang harus aku lakukan, Ayah? Sikap ibu selalu saja seperti itu!" keluh Max, tampak frustasi."Sebenarnya ada apa?" Morgan menanggapi dengan santai. Dia bicara sambil tetap melakukan pekerjaannya."Istriku berkata ingin pergi karena sikap ibu!"Gerakan tangan Morgan seketika berhenti. Dia melirik putranya yang tampak kalut. Ya, Morgan bisa melihat jika hubungan antara anak dan menantunya itu sudah mulai membaik. Pasti berat bagi putranya itu jika istrinya sudah mengancam akan pergi."Dia tidak mungkin pergi. Dia mungkin hanya mengancam."Perempuan biasanya seperti itu. Mereka mengatakan omong kosong hanya untuk menarik perhatian."Tidak mungkin?" Max mendengus kasar. "Dia membawa koper dan mengambil semua pakaiannya. Apakah harus aku diam saja dan berpikir dia hanya berpura
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman