Ini pagi pertama Alison bergabung bersama keluarga Morgan. Suasana di ruang makan saat ini tampak tegang. Alison yang tidak terbiasa dengan suara hening ini merasa tidak nyaman. Tidak ada yang bicara diantara mereka. Hanya dentingan sendok yang terdengar. Bahkan cara makan mereka terlihat begitu menjaga etika.Alison jadi merindukan bagaimana suasana rumahnya. Sarapan di rumahnya tidak akan seperti ini. Setidaknya di sana orang tua Alison senantiasa menanyakan tentang harinya, tentang kabarnya. Tidak seperti yang terjadi sekarang. Apakah seterusnya dia akan menemui suasana di meja makan bak di meja hijau?"Makan makananmu dan jangan melamun."Suara teguran dari Morgan membuat Alison tersentak. Suara pria itu juga membuat Max dan Carla ikut menoleh memperhatikan Alison. Morgan bahkan tidak sedikit pun menatap Alison. Bagaimana ia bisa mengetahui jika sejak tadi Alison sibuk termenung?"Makan." Max menggeser piring makan Alison semakin mendekat. Dia tidak ingin membuat Alison dalam masa
"Argan!" Aliya merengek. Sejak tadi pria itu bersikap dingin padanya. Padahal atas kesalahan yang ia perbuat pagi tadi, Aliya sudah meminta maaf. Kenapa pria itu masih saja mengacuhkannya?"Hm." Argan menyahut dengan gumaman. Pria itu tampak sibuk dengan iPad-nya, sambil sesekali menyesap kopi miliknya. Tak sekali pun dia mengalihkan perhatian dari benda di tangannya itu. Tampaknya Argan sengaja ingin membuat istrinya merasa bersalah."Jangan terus mengabaikanku seperti ini." Aliya memelas. Dia tidak senang saat Argan bersikap seperti ini. Biasanya jika Argan marah, dia hanya akan menegur dan memberi peringatan padanya. Tapi Aliya sudah menerima keduanya. Ia juga sudah mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Kenapa Argan malah bersikap seperti ini padanya?"Aku sibuk. Jangan ganggu aku," ketus Argan.Kedua mata Aliya berkaca-kaca. Sontak saja perempuan itu beranjak pergi ke kamarnya sembari mengusap air mata yang jatuh di wajahnya.Argan yang melihat itu menghela napas berat. Sesekali
Alison sangat senang saat ini. Ia memilih jejeran pakaian branded di sekitarnya. Semua terlihat bagus dan memukau. Alison ingin memiliki semuanya. Tapi di antara semuanya, ia harus memilih mana yang paling menarik matanya. Dia tentu tidak ingin membuat Max mendadak jadi bangkrut. Dia tetap harus menjaga pengeluaran supaya tidak membludak.Sementara Max menunggu di salah satu kursi yang disediakan di toko itu, sembari memainkan handphone-nya, atau memperhatikan keadaan sekitar yang semakin ramai. Lalu, pandangannya terpaku pada sosok yang ia temukan berjalan melewati pintu toko itu. Dengan cepat Max keluar untuk mengejar sosok itu."Gina!"Max berseru memanggil. Dia mengedarkan pandangan, mencari mantan kekasihnya di antara banyaknya manusia di sana. Dia tidak boleh kehilangannya. Perasaan rindu di dada Max terasa menggebu. Ingin rasanya dia berlari untuk memeluk perempuan itu. Dimana dia sekarang?Sementara di satu tempat tidak jauh darinya, Gina tengah kebingungan oleh Kyle yang tiba
Argan akan kembali ke rumah sakit untuk menemui istrinya, tapi di perjalanan ia menemukan sosok yang familiar di matanya. Awalnya Argan ingin bersikap abai, tapi sadar jika sosok itu tidak dalam keadaan baik-baik saja, ia akhirnya menghentikan mobilnya di tepi. Lalu turun untuk menemui sosok itu."Alison."Perempuan yang ia panggil itu berbalik. Wajahnya tampak kacau dengan banyaknya air mata di sana. Saat melihat Argan, tangisnya semakin pecah."Argan!" Dia memeluk Argan, menangis kencang.Argan ingin mendorong tubuh perempuan itu. Tapi melihat bagaimana punggung perempuan itu bergetar, ia menjadi tidak tega. Kondisi Alison sepertinya sedang tidak baik-baik saja."Ada apa? Kenapa sampai menangis seperti ini?" tanya Argan. Alison tidak mungkin menjadi seperti ini tanpa alasan. Dia juga hanya berjalan di trotoar, tidak seperti biasanya. "Dimana Max? Apa dia tidak bersamamu?""Mereka menghinaku, Argan. Mereka mencemoohku." Alison bercerita tanpa bisa menghentikan tangisnya. Bahkan suara
Aliya mendapati suaminya sudah kembali dengan menenteng sebuah plastik berisi pesanan yang ia minta.“Ini, sayang.” Argan memberikan plastik itu pada istrinya. Dengan ekspresi cerah, Aliya menerima dan membukanya.“Terima kasih.” Dia mengeluarkan satu buah jeruk segar dari sana, lalu mulai mengupasnya. “Kenapa lama? Apakah sulit menemukan buah ini?”Aliya kira hanya akan menghabiskan waktu lima belas menit untuk suaminya itu keluar mencari apa yang tengah ia inginkan. Tapi, ternyata Argan kembali setelah setengah jam.“Tadi aku bertemu Alison.”Gerakan Aliya seketika berhenti. Dia menatap Argan meminta penjelasan.“Jangan salah paham. Kami tidak melakukan apapun.” Dengan cepat Argan meluruskan. Dia tidak ingin membuat istrinya memikirkan masalah berat. Lagipula Argan hanya bersikap baik pada Alison. “Aku menemukannya tengah berjalan sendirian di trotoar sembari menangis. Karena simpati, akhirnya aku turun dan menanyakan keadaannya.”“Biar ku tebak. Dia pasti memelukmu, kan?” Aliya bah
Mia tengah sangat senang saat itu. Karena putranya baru saja mengabari jika ia akan datang bersama dengan menantunya. Mia memang sudah mengharapkan mereka kembali berkunjung. Suasana rumah menjadi terasa lebih sepi saat sepasang suami istri itu tidak lagi menginap di rumah ini."Sepertinya kita harus menyiapkan banyak hidangan," ucap Mia pada suaminya.Rendra belum mengatakan apapun untuk menanggapi. Tapi, sebelum ia membuka mulutnya, istrinya bahkan sudah beranjak lebih dulu dan meninggalkannya ke dapur untuk melakukan niatnya.Wanita itu mengangkat tangannya, memanggil para pelayannya tanpa terkecuali. Dia memerintahkan pada mereka untuk bergegas menyiapkan jamuan supaya nanti ketika menantunya tiba, ia bisa segera makan dengan khidmat. Tentu saja mereka mendengarkan dengan sangat baik ketika Nyonya itu bicara. Karena jika mereka salah sedikit saja menangkap maksud ucapannya, mereka bisa menerima hukuman yang membuat mereka menyesal."Berikan menantuku masakan terbaik. Ingat! Jangan
Mia menahan pekikan senangnya saat melihat Aliya tiba. Menantunya itu turun dari mobil dengan hati-hati. Segera saja Mia mendekat dan lantas memeluknya."Sayang, Ibu sangat senang mendengar kamu akan kembali berkunjung ke sini."Aliya membalas pelukan hangat ibu mertuanya. Tiap kali datang, Aliya selalu mendapat sambutan hangat semacam ini. Ia tidak pernah menyesal untuk datang. Karena keberadaannya benar-benar terasa diharapkan oleh mertuanya itu."Aku memang sedang ingin bertemu Ibu dan Ayah," balas Aliya. "Untungnya, Argan membawaku ke sini.""Ya, dia harus," balas Mia tegas. "Jika tidak, aku akan menghukum bocah nakal itu."Argan yang sejak tadi hanya diam menyimak kini berdecak malas.Tanpa memperdulikan putranya, Mia membawa Aliya masuk. Sementara Argan menyusul di belakang bersama ayahnya."Sepertinya kalian datang dengan maksud tertentu." Rendra sudah mencium bau mencurigakan dari kedua orang itu. Ketika melirik putranya itu, ia melihat sebuah seringai di wajahnya."Ayah akan
Setelah acara makan selesai, Mia dan Rendra mengajak anak serta menantu mereka itu untuk berbincang di ruang tamu. Mereka juga memiliki hal penting yang ingin dikatakan."Sebaiknya tinggal di sini mulai sekarang," ucap Rendra menyarankan. "Seperti yang Argan bilang sebelumnya, kondisi Aliya saat ini rentan. Kami hanya khawatir tidak ada yang bisa menjaga Aliya saat Argan bekerja."Aliya menatap suaminya meminta pendapat, namun Argan masih memperhatikan ayahnya bicara. Karena ia tahu pria itu belum selesai."Dan untuk Aliya, sebaiknya kamu tidak perlu masuk kuliah. Kamu bisa tetap mengikuti kelas secara online," papar Rendra."Apakah memang bisa?" Aliya merasa tidak yakin."Tentu. Akan ayah atur semua untukmu. Tenang saja."Ini adalah cucu pertama Alfred. Tentu saja mereka akan sebisa mungkin menjaga bayi itu hingga ia lahir ke dunia."Aku setuju saja. Lagipula, seharian ini aku memang kepikiran, bagaimana tentang istriku saat aku harus pergi bekerja ke kantor. Siapa yang akan menjagan
Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman