Suasana ruangan seketika hening. Dengan napas yang masih tersengal-sengal dalam setiap tarikan udara yang melewati indra penciuman, Sophia masih bergeming dari tempatnya. Namun, sorot mata wanita itu masih menyiratkan kekesalan. Sophia yang nyaris frustasi karena Bart tak memedulikannya lagi membuat wanita itu berupaya untuk memilih opsi kedua dengan menjerat Matthew dan memperalat keberadaan Thomas yang sudah diambil alih oleh Matthew sejak beberapa hari yang lalu. Berulang kali dirinya menghubungi Matthew dan mengancam pria itu. Berulang kali juga Clarissa mendapati pesan singkat yang dikirimkan oleh Sophia hingga membuatnya benar-benar geram. Kehadiran Sophia di tengah-tengah hubungan Clarissa bersama Matthew merupakan ancaman besar bagi keharmonisan pasangan kekasih yang kini memiliki bayi kecil bernama Clara, padahal mereka berdua sudah sepakat untuk memperbaiki hubungan dengan sesegera mungkin mengikrarkan janji di altar pernikahan. Bart mendesahkan napas beratnya.
Sophia tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena lidahnya tak mampu menciptakan sandiwara untuk meyakinkan Bart, ketika secara tiba-tiba Matthew menunjukkan sebuah berkas yang dia yakini merupakan bukti hasil DNA meskipun pria itu terlihat meringis menahan sakit akibat perlakuan Sophia."Aku tidak sedang mengelabuimu, Bart. Ini bukti jika aku dan Thomas memiliki pertalian darah," ucap Matthew sambil menyerahkan berkas itu ke tangan Clarissa untuk diteruskan kepada Bart.Lembaran demi lembaran dibuka, Bart masih menunjukkan wajah datar sesaat sebelum embusan napas panjang keluar dari indra penciumannya bersamaan dengan berkas hasil DNA yang dia tutup kembali."Jadi, bagaimana menurutmu Sophia?" ucap Bart dengan suara pelan tapi cukup mengerikan di indra pendengaran wanita bertubuh kurus itu."A-aku ..." Sophia benar-benar terdesak kali ini. Membela diri pun dirasa tidak akan mungkin bisa dilakukan lagi. Tiba-tiba dia bersimpuh di kaki Bart, memeluk t
Sebulan setelah kejadian itu, Bart mengabulkan permintaan Sophia sehingga kini wanita itu sudah menempati mansion mewah di mana Bart juga tinggal di sana. Sejak saat itu pula Bart tidak pernah lagi bertemu dengan saudara tirinya--Matthew. Entah bagaimana kabar pria itu pasca insiden yang melukai kepalanya akibat serangan Sophia.Seiring waktu, kondisi kesehatan Sophia berangsur-angsur mulai membaik. Terlihat dari tubuhnya yang lebih berisi daripada sebelumnya, meskipun masih terlihat cukup kurus. Bahkan, Sophia sudah bisa melakukan aktifitas di luar rumah seperti bepergian ke pusat perbelanjaan di kota itu tanpa pengawasan Bart, karena pria itu memang tidak begitu peduli terhadapnya.Bart lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Usahanya untuk sedikit saja melupakan Hanna masih belum membuahkan hasil. Justru semakin hari rasa rindu itu semakin menyiksa. Seharusnya saat ini Bart menyusul Hanna ke pulau Borneo meski dia tidak sepenuhnya yakin jika wanita itu bera
"Sayang sekali harus meninggalkanmu dengan cara seperti ini, Bart. Tapi aku tidak ada pilihan lain sebelum aku tidak mendapatkan apa-apa." Sophia bermonolog dengan perasaan lega karena dia sudah bisa mengamankan posisinya, setidaknya sebelum Bart mengetahui kenyataan yang dia tutupi selama ini dia sudah bisa pergi bersama uang yang sudah diberikan Bart. Di depan kaca toilet, dia membenarkan penampilannya.Lagi ...Sophia merasakan tubuhnya ditarik keras oleh seseorang. Dia memejamkan mata untuk sesaat. Dia pikir Samantha kembali lagi untuk mengacaukan rencana yang secara dadakan dia buat. Namun, nyatanya seorang gadis berponi kini menghunuskan tatapan tajam dengan cengkeraman yang masih mengerat di pergelangan tangan kurus Sophia."Kau mau lari ke mana? Setelah membuat sepasang suami-istri berpisah, sekarang kau berencana kabur?"Sophia yang menyadari bahwa wanita berponi itu bukan Samantha yang sempat dia duga, kemudian dengan segera dia menepis cengkera
Langit Amsterdam mulai menggelap. Namun, masih ada cahaya tersisa di ufuk barat, padahal saat ini sudah pukul sembilan malam. Salah satu belahan dunia yang lain unik, ketika langit di belahan dunia yang akan menggelap sempurna di waktu seperti ini, tapi hal ini tidak berlaku di negara itu. Malam yang pekat hanya akan ditemui ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, terutama di musim semi seperti sekarang. Bart memasuki kamar pribadinya yang sudah hampir dua bulan tidak menampakkan sosok wanita yang begitu dia cintai. "Argh!" dengkus Bart sambil meninju dinding kamar hingga menciptakan rona merah di buku-buku jemarinya. Bahkan sudah sejauh ini dirinya masih belum mampu bertemu dengan Hanna. Namun Bart yakin bahwa wanita itu pergi ke tempat yang dia duga. Langkahnya menuju kapsul transparan yang berada di dalam kamar mandi. bermandikan air hangat mungkin dapat mengurangi kepenatan yang sedang dia rasakan. Sayangnya Bart salah menafsirkan rasa itu. Rasa yang tidak ada hubungannya
"Hey, apa yang sedang kamu pikirkan?" Wanita cantik itu kini mengambil alih bocah yang sempat bertengger di pundak Fabian. Dia terkekeh atas sikap Hanna yang menurutnya menggemaskan dengan wajah seperti itu."Mommy," pekik bocah laki-laki tersebut karena tidak terima dipindah tempatkan."Hey, jagoan, Daddy harus pergi sebentar," ucap Fabian menenangkan.'Mommy? Daddy? Mereka pasangan suami istri?' Hanna sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara wanita yang juga memiliki nama yang sama sepertinya terus memperhatikan pergerakan Hanna dengan tersenyum."Aku rasa kau sedang bingung. Ayo!" Wanita itu tanpa aba-aba menggandeng tangan Hanna yang masih terpaku. Mau tidak mau akhirnya mereka berjalan beriringan setelah wanita itu perlahan melepaskan genggaman tangannya."Bertanyalah jika rasa ingin tahumu sangat besar, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.""Ehm, iya?" Hanna menggigit bibirnya dengan wajah kikuk."Baiklah Hanna, senang meng
Hanna melebarkan kedua kelopak matanya. Tak dipungkiri, dia takjub dengan apa yang baru saja dia dengar."Tidak usah bingung, bukankah tadi sudah aku katakan bahwa Tonny berada di pihak kami."Hanna menggapit kedua bibirnya, segala apa yang diucapkan wanita itu terdengar masuk akal. Tapi dia tidak habis pikir bagaimana bisa wanita itu yakin bahwa Bart mencintainya. Bukankah hasrat dan rasa cinta merupakan dua hal yang berbeda meskipun terkadang saling melengkapi."Hanna, kurasa kamu sudah terlalu lama berada di sini. Bart membutuhkanmu. Dia sangat kehilanganmu. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, kau hanya cukup percaya. Aku sangat mengenalnya, dan aku tahu seperti apa perasaannya saat ini."Embusan napas berat lolos dari indra penciuman Hanna."Jika dia memang mencintaiku, maka dia akan mencariku."***Bart meninggalkan kamarnya dengan tergesa-gesa. Keinginannya begitu besar untuk bertemu Hanna saat ini juga. Dia yakin bawa sang is
"Jadi tujuanmu ke sini hanya untuk menghakimi saya?" Bart mengucapkan kalimat yang sudah tentu tidak menciptakan berbagai dugaan. Bisa saja Isabelle menyimpulkan bahwa Bart memang mengakui apa yang sudah dia tuduhkan. Namun, Bart seolah mengabaikan kemungkinan itu. Yang dia mau hanyalah Hanna, tak peduli seperti apa orang lain memandangnya. Cukup dirinya sendiri yang tahu keadaan apa yang sedang dia hadapi. "Tuan Bart yang terhormat, jika kamu ingin menikah, setidaknya lepaskan status Hanna. Dia berhak bahagia." "Dia bahagia bersama saya." Bart tak kalah sengitnya menghadapi Isabelle yang meninggikan suara. Isabelle menggelengkan kepala, "Masalah jika memang dia bahagia, mana mungkin dia menjatuhkan pilihannya untuk pergi sejauh itu. Bahkan aku harus menunggunya bangun pagi untuk sekedar berbincang di telepon." Bart justru tersenyum mendengarkan penuturan Isabelle. Secara tidak langsung, wanita berponi itu semakin menegaskan dugaan Bart bahwa Hanna memang berada di Indonesia. Wala
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it