Sejak malam itu, Bart seolah menghilang. Mungkin ada peran Tuan Megens dalam hal ini. Segigih apapun sebuah fakta disembunyikan, tetap saja akan dapat tersendus oleh kalangan luar terutama ada keterlibatan Nyonya Sylvia untuk menghancurkan kehidupan keluarga mantan suaminya bagaimanapun juga. Hal ini dapat didengar dari desas-desus yang beredar bahwa malam itu sang pengantin wanita ditemukan dalam keadaan tak bernyawa akibat bunuh diri di dalam kamar mandi hotel. Banyak spekulasi yang beredar tanpa bisa dikendalikan. Mulai dari tuduhan bahwa sang pengantin pria menghilang setelah wanitanya tewas sehingga tak sedikit orang-orang berpikiran bahwa Bart adalah seorang pembunuh. Ada pula yang menyebarkan berita bahwa telah terjadi skandal perselingkuhan yang dilakukan oleh pengantin wanita bersama kakak iparnya sendiri hingga berakhir dengan kematian pengantin wanita yang frustasi. *** Demi mengulur waktu, Matthew sengaja meladeni ucapan-ucapan sang ibu yang saat ini terl
Seminggu setelah kejadian itu berlalu, Nyonya Sylvia masih diamankan di kantor polisi. Namun, sepertinya proses penahanan terhadapnya butuh waktu yang tidak sebentar. Hal ini disebabkan oleh sikapnya yang menunjukkan gangguan kejiwaan. Meski sudah mendapatkan berbagai perlakuan yang tidak menyenangkan, sebagai seorang anak, Bart tetap memiliki rasa hormat dan kasih sayang terhadap wanita yang telah berjasa melahirkannya ke dunia ini dengan cara memberikan perawatan terbaik kepada ibunya yang sudah dia ketahui mengalami depresi berat. Sebelumnya, tak ada yang mengetahui pemicu sikap buruk Nyonya Sylvia selama ini, sebelum Tuan Megens sendiri yang membocorkan sebuah fakta kepada Bart. "Kau datang dan pergi tanpa memedulikanku, Yah!" ucap Bart yang sempat terkejut saat telapak tangan sang ayah menepuk pundaknya. Saat itu Bart berdiri di sisi balkon yang menghadap ke laut lepas. Senyum tipis terbit di wajah pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu. Keduanya sama-sa
Suasana ruangan seketika hening. Dengan napas yang masih tersengal-sengal dalam setiap tarikan udara yang melewati indra penciuman, Sophia masih bergeming dari tempatnya. Namun, sorot mata wanita itu masih menyiratkan kekesalan. Sophia yang nyaris frustasi karena Bart tak memedulikannya lagi membuat wanita itu berupaya untuk memilih opsi kedua dengan menjerat Matthew dan memperalat keberadaan Thomas yang sudah diambil alih oleh Matthew sejak beberapa hari yang lalu. Berulang kali dirinya menghubungi Matthew dan mengancam pria itu. Berulang kali juga Clarissa mendapati pesan singkat yang dikirimkan oleh Sophia hingga membuatnya benar-benar geram. Kehadiran Sophia di tengah-tengah hubungan Clarissa bersama Matthew merupakan ancaman besar bagi keharmonisan pasangan kekasih yang kini memiliki bayi kecil bernama Clara, padahal mereka berdua sudah sepakat untuk memperbaiki hubungan dengan sesegera mungkin mengikrarkan janji di altar pernikahan. Bart mendesahkan napas beratnya.
Sophia tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena lidahnya tak mampu menciptakan sandiwara untuk meyakinkan Bart, ketika secara tiba-tiba Matthew menunjukkan sebuah berkas yang dia yakini merupakan bukti hasil DNA meskipun pria itu terlihat meringis menahan sakit akibat perlakuan Sophia."Aku tidak sedang mengelabuimu, Bart. Ini bukti jika aku dan Thomas memiliki pertalian darah," ucap Matthew sambil menyerahkan berkas itu ke tangan Clarissa untuk diteruskan kepada Bart.Lembaran demi lembaran dibuka, Bart masih menunjukkan wajah datar sesaat sebelum embusan napas panjang keluar dari indra penciumannya bersamaan dengan berkas hasil DNA yang dia tutup kembali."Jadi, bagaimana menurutmu Sophia?" ucap Bart dengan suara pelan tapi cukup mengerikan di indra pendengaran wanita bertubuh kurus itu."A-aku ..." Sophia benar-benar terdesak kali ini. Membela diri pun dirasa tidak akan mungkin bisa dilakukan lagi. Tiba-tiba dia bersimpuh di kaki Bart, memeluk t
Sebulan setelah kejadian itu, Bart mengabulkan permintaan Sophia sehingga kini wanita itu sudah menempati mansion mewah di mana Bart juga tinggal di sana. Sejak saat itu pula Bart tidak pernah lagi bertemu dengan saudara tirinya--Matthew. Entah bagaimana kabar pria itu pasca insiden yang melukai kepalanya akibat serangan Sophia.Seiring waktu, kondisi kesehatan Sophia berangsur-angsur mulai membaik. Terlihat dari tubuhnya yang lebih berisi daripada sebelumnya, meskipun masih terlihat cukup kurus. Bahkan, Sophia sudah bisa melakukan aktifitas di luar rumah seperti bepergian ke pusat perbelanjaan di kota itu tanpa pengawasan Bart, karena pria itu memang tidak begitu peduli terhadapnya.Bart lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Usahanya untuk sedikit saja melupakan Hanna masih belum membuahkan hasil. Justru semakin hari rasa rindu itu semakin menyiksa. Seharusnya saat ini Bart menyusul Hanna ke pulau Borneo meski dia tidak sepenuhnya yakin jika wanita itu bera
"Sayang sekali harus meninggalkanmu dengan cara seperti ini, Bart. Tapi aku tidak ada pilihan lain sebelum aku tidak mendapatkan apa-apa." Sophia bermonolog dengan perasaan lega karena dia sudah bisa mengamankan posisinya, setidaknya sebelum Bart mengetahui kenyataan yang dia tutupi selama ini dia sudah bisa pergi bersama uang yang sudah diberikan Bart. Di depan kaca toilet, dia membenarkan penampilannya.Lagi ...Sophia merasakan tubuhnya ditarik keras oleh seseorang. Dia memejamkan mata untuk sesaat. Dia pikir Samantha kembali lagi untuk mengacaukan rencana yang secara dadakan dia buat. Namun, nyatanya seorang gadis berponi kini menghunuskan tatapan tajam dengan cengkeraman yang masih mengerat di pergelangan tangan kurus Sophia."Kau mau lari ke mana? Setelah membuat sepasang suami-istri berpisah, sekarang kau berencana kabur?"Sophia yang menyadari bahwa wanita berponi itu bukan Samantha yang sempat dia duga, kemudian dengan segera dia menepis cengkera
Langit Amsterdam mulai menggelap. Namun, masih ada cahaya tersisa di ufuk barat, padahal saat ini sudah pukul sembilan malam. Salah satu belahan dunia yang lain unik, ketika langit di belahan dunia yang akan menggelap sempurna di waktu seperti ini, tapi hal ini tidak berlaku di negara itu. Malam yang pekat hanya akan ditemui ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, terutama di musim semi seperti sekarang. Bart memasuki kamar pribadinya yang sudah hampir dua bulan tidak menampakkan sosok wanita yang begitu dia cintai. "Argh!" dengkus Bart sambil meninju dinding kamar hingga menciptakan rona merah di buku-buku jemarinya. Bahkan sudah sejauh ini dirinya masih belum mampu bertemu dengan Hanna. Namun Bart yakin bahwa wanita itu pergi ke tempat yang dia duga. Langkahnya menuju kapsul transparan yang berada di dalam kamar mandi. bermandikan air hangat mungkin dapat mengurangi kepenatan yang sedang dia rasakan. Sayangnya Bart salah menafsirkan rasa itu. Rasa yang tidak ada hubungannya
"Hey, apa yang sedang kamu pikirkan?" Wanita cantik itu kini mengambil alih bocah yang sempat bertengger di pundak Fabian. Dia terkekeh atas sikap Hanna yang menurutnya menggemaskan dengan wajah seperti itu."Mommy," pekik bocah laki-laki tersebut karena tidak terima dipindah tempatkan."Hey, jagoan, Daddy harus pergi sebentar," ucap Fabian menenangkan.'Mommy? Daddy? Mereka pasangan suami istri?' Hanna sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara wanita yang juga memiliki nama yang sama sepertinya terus memperhatikan pergerakan Hanna dengan tersenyum."Aku rasa kau sedang bingung. Ayo!" Wanita itu tanpa aba-aba menggandeng tangan Hanna yang masih terpaku. Mau tidak mau akhirnya mereka berjalan beriringan setelah wanita itu perlahan melepaskan genggaman tangannya."Bertanyalah jika rasa ingin tahumu sangat besar, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.""Ehm, iya?" Hanna menggigit bibirnya dengan wajah kikuk."Baiklah Hanna, senang meng