"Bagaimana?" tanya Isabelle yang berada di samping Tonny sejak tadi. Di seberangnya Paul juga menajamkan pendengaran. Setelah mereka membahas keberadaan Sophia, Isabelle meminta sang kekasih langsung menghubungi Bart sebelum semuanya terlambat.Tonny berdeham, "Dia tidak ingin mendengar apapun. Dia akan mempercepat proses pernikahannya bersama Samantha."Seketika kaki Isabelle terasa lemah tak mampu berpijak. Hampir saja dirinya terjatuh. Namun, dengan sigap Paul meraih tubuh wanita nyaris terlihat seperti sedang memeluk. Tonny mengernyit sebelum mengambil alih tubuh Isabelle, merengkuh wanita itu, kemudian memapahnya menuju kursi tunggu. Terbesit rasa cemburu di hati Tonny. Namun, dia tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk itu. Terlebih lagi, benar apa yang dikatakan Isabelle, mereka bersepupu dan tak mungkin saling mencintai lalu menikah. Isabelle menatap Tonny dengan mata berkaca-kaca. "Aku telah membawa Hanna pada tepi jurang yang dalam, dan pria itu sudah memperparah luk
Aroma wine menguar menembus indra penciuman kedua insan yang sedang menikmati makan malam romantis mereka. "Saya akan mengantarmu pulang, Samantha," ucap Bart sambil merapikan kerah bajunya."Tapi, aku tidak ingin malam ini cepat berakhir, Bart. Kau tidak lihat mereka masih berada di sana menyorot kita dengan kamera?" Samantha memberikan kode dengan lirikan mata ke arah para pencari berita yang berkumpul di luar restaurant yang dibatasi oleh kaca transparan. "Kita harus pulang, saya harus bekerja esok pagi-pagi sekali," ujar Bart dengan suaranya yang tenang. Pria itu meneguk sisa wine yang selalu mengingatkan dirinya pada Hanna saat pertama kali mereka bertemu. Bart menyelipkan sapu tangan di antara dua bibirnya menggunakan kedua tangan."Ya, tapi aku masih butuh kau, Bart," ucap Samantha dengan lirih. "Saya sudah menemanimu sejak tadi, Samantha. Lagi pula masih banyak hal yang harus kita lakukan untuk persiapan pernikahan kita. Bukankah kau menginginkan pesta pernikahan yang terb
Samantha menatap Bart yang sedang merelaksasi tubuh di kolam jacuzzi bernuansa cahaya biru. Dia duduk di bibir kolam dengan pakaian yang sangat minim, sementara Bart membiarkan dada bidangnya terekspos sempurna dengan pants hitam ketat yang membuat Samantha tak berhenti berkhayal tentang apa yang akan mereka lalui setelah ini."Kau bahagia?" ucap Bart dengan mata sayu seolah mengagumi keindahan tubuh wanita yang hampir-hampir polos tersebut. Samantha mengangguk dengan wajah yang berbinar. Pertanyaan yang sepatutnya tak butuh jawaban, Bart bahkan tahu sebahagia apa Samantha saat ini. "Kemarilah," pinta Bart pada Samantha yang duduk berseberangan dengannya. Samantha antusias dan segera bangkit dari bibir kolam, kemudian berjalan dengan kaki jenjang yang menggiurkan. Namun, bagi Bart, wanita itu semenjijikkan sampah. Samanta berjongkok tepat di sisi tubuh Bart yang masih berendam di dalam kolam. Pria itu merentangkan tangannya di atas bibir kolam dan membiarkan Samantha mengulurkan k
Samantha merasakan hidupnya hancur hanya dalam waktu yang singkat. Tangis wanita itu tak kunjung reda. Dia meraung di dalam kamar. Selama ini dia belum pernah gagal mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Bahkan, dengan mudah dia melenyapkan Sophia agar tak menjadi bumerang atas usahanya mendekati Bart. "Ini pasti perbuatan Hanna!" Wanita jalang di mata Samantha tersebut adalah dalang dari semua ini, demikian yang dia pikirkan. "Sh**t." Samantha kembali mengumpat dalam keterpurukan yang sedang menerjangnya tanpa ampun. Dia menyandarkan punggung di dinding shower dengan membiarkan air menjatuhi puncak kepalanya sambil meratap."Tidak! Bart harus menikahiku bagaimana pun caranya!" Samantha bertekad untuk melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh siapa pun. Dia tahu bahwa Bart masih menyimpan perasaan pada Hanna meski pria itu bersikap seolah telah melupakan wanita itu.Sementara di tempat lain, Bart menghentikan laju mobilnya tak jauh dari lokasi rumah sakit, tempat di mana
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di