"Are you okay?" Sebotol air mineral berada di tangan Paul yang terulur ke arah Hanna. Hanna hanya mengangguki pertanyaan Paul tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia mencoba untuk menahan diri agar tidak meluapkan semua perasaannya yang kacau. Bagaimana mungkin dirinya baik-baik saja ketika melewati malam yang menyakitkan seperti ini. Tentu saja dia belum lupa akan apa yang telah dia lihat sebelumnya. Hanna memergoki Bart dan Samantha sedang bercumbu di dalam mobil saat lampu merah lalu lintas menyala. Ingin rasanya Hanna mendamprat kedua manusia tak tahu malu itu, tapi dia tidak punya alasan untuk melakukan hal tersebut. Bart adalah calon mantan suaminya sebentar lagi, lalu atas dasar apa Hanna mengacaukan aktifitas mesra mereka.Hanna menggigil, bukan karena cuaca malam itu terlalu dingin. Wanita yang sedang berbadan dua itu mencoba menahan amarah dan kesedihan yang hadir secara bersamaan sehingga menampakkan tubuhnya yang bergetar menahan tangis. Dia tidak menyangka pria yang sel
"Bagaimana ini bisa terjadi, Paul!" bentak Isabelle dengan napas tersengal. Baru saja dia tiba di rumah sakit bersama Tonny. Sepasang kekasih itu tak menyadari kepergian Hanna malam itu. Mereka justru sibuk menonton Netf*** berdua di ruang tengah setelah sebelumnya Tonny mencoba menggoda sang kekasih, tapi Isabelle tidak mampu digoyahkan prinsipnya yang menentang 's** before married'."Semua terjadi begitu saja," desah Paul yang berlutut di ubin rumah sakit sambil mengusap wajahnya dengan perasaan yang bercampur aduk."Tentu kau tahu apa yang terjadi!" bentak Isabelle kemudian, sementara Tonny sibuk dengan ponselnya. "Tenangkan dirimu, Isabelle," pinta Tonny yang baru saja kembali dari teras rumah sakit. Nampaknya dia baru saja menghubungi seseorang. Isabelle tak mampu menangis meskipun kini perasaannya begitu kacau, yang saat ini dia khawatirkan bukan hanya keselamatan sang sahabat, melainkan juga janin yang tengah berada di dalam kandungan sahabatnya itu. "Aku bersumpah akan mem
"Ya Tuhan, Ton! Apa yang kau lakukan di sini?Aku mencarimu ke mana-mana!" Tiba-tiba Isabelle muncul menghentikan percakapan antara Bart dan Tonny. Isabelle melirik sekilas ke arah Bart dengan sinis. Bart tak memutus tatapannya ke arah Tonny hingga kekasih Isabelle tersebeut bersuara, "Maaf, aku tidak bisa menjelaskan apapun padamu saat ini, tapi kujamin setelah ini kau akan menye-" "Tonny! Ayo!" Isabelle menarik pergelangan tangan Tonny dengan paksa untuk menjauh. Bart hanya terdiam hingga bayangan Tonny menghilang dari pandangannya dengan perasaan yang bercampur aduk.Ucapan Tonny mengganggu pikiran Bart di sepanjang perjalanan. Dia tidak mampu mengenyahkan ancaman Tonny beberapa saat yang lalu. Tentu rasa sesal itu sudah ada. Namun, sepertinya Tonny tidak bermain-main atas pernyataannya tentang penyesalan yang akan benar-benar dihadapi oleh Bart di masa mendatang.____Pagi itu di rumah sakit. "Sebenarnya ada apa, Paul? Kau bahkan tidak mengizinkan pihak kepolisian untuk ikut an
"Bagaimana?" tanya Isabelle yang berada di samping Tonny sejak tadi. Di seberangnya Paul juga menajamkan pendengaran. Setelah mereka membahas keberadaan Sophia, Isabelle meminta sang kekasih langsung menghubungi Bart sebelum semuanya terlambat.Tonny berdeham, "Dia tidak ingin mendengar apapun. Dia akan mempercepat proses pernikahannya bersama Samantha."Seketika kaki Isabelle terasa lemah tak mampu berpijak. Hampir saja dirinya terjatuh. Namun, dengan sigap Paul meraih tubuh wanita nyaris terlihat seperti sedang memeluk. Tonny mengernyit sebelum mengambil alih tubuh Isabelle, merengkuh wanita itu, kemudian memapahnya menuju kursi tunggu. Terbesit rasa cemburu di hati Tonny. Namun, dia tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk itu. Terlebih lagi, benar apa yang dikatakan Isabelle, mereka bersepupu dan tak mungkin saling mencintai lalu menikah. Isabelle menatap Tonny dengan mata berkaca-kaca. "Aku telah membawa Hanna pada tepi jurang yang dalam, dan pria itu sudah memperparah luk
Aroma wine menguar menembus indra penciuman kedua insan yang sedang menikmati makan malam romantis mereka. "Saya akan mengantarmu pulang, Samantha," ucap Bart sambil merapikan kerah bajunya."Tapi, aku tidak ingin malam ini cepat berakhir, Bart. Kau tidak lihat mereka masih berada di sana menyorot kita dengan kamera?" Samantha memberikan kode dengan lirikan mata ke arah para pencari berita yang berkumpul di luar restaurant yang dibatasi oleh kaca transparan. "Kita harus pulang, saya harus bekerja esok pagi-pagi sekali," ujar Bart dengan suaranya yang tenang. Pria itu meneguk sisa wine yang selalu mengingatkan dirinya pada Hanna saat pertama kali mereka bertemu. Bart menyelipkan sapu tangan di antara dua bibirnya menggunakan kedua tangan."Ya, tapi aku masih butuh kau, Bart," ucap Samantha dengan lirih. "Saya sudah menemanimu sejak tadi, Samantha. Lagi pula masih banyak hal yang harus kita lakukan untuk persiapan pernikahan kita. Bukankah kau menginginkan pesta pernikahan yang terb
Samantha menatap Bart yang sedang merelaksasi tubuh di kolam jacuzzi bernuansa cahaya biru. Dia duduk di bibir kolam dengan pakaian yang sangat minim, sementara Bart membiarkan dada bidangnya terekspos sempurna dengan pants hitam ketat yang membuat Samantha tak berhenti berkhayal tentang apa yang akan mereka lalui setelah ini."Kau bahagia?" ucap Bart dengan mata sayu seolah mengagumi keindahan tubuh wanita yang hampir-hampir polos tersebut. Samantha mengangguk dengan wajah yang berbinar. Pertanyaan yang sepatutnya tak butuh jawaban, Bart bahkan tahu sebahagia apa Samantha saat ini. "Kemarilah," pinta Bart pada Samantha yang duduk berseberangan dengannya. Samantha antusias dan segera bangkit dari bibir kolam, kemudian berjalan dengan kaki jenjang yang menggiurkan. Namun, bagi Bart, wanita itu semenjijikkan sampah. Samanta berjongkok tepat di sisi tubuh Bart yang masih berendam di dalam kolam. Pria itu merentangkan tangannya di atas bibir kolam dan membiarkan Samantha mengulurkan k
Samantha merasakan hidupnya hancur hanya dalam waktu yang singkat. Tangis wanita itu tak kunjung reda. Dia meraung di dalam kamar. Selama ini dia belum pernah gagal mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Bahkan, dengan mudah dia melenyapkan Sophia agar tak menjadi bumerang atas usahanya mendekati Bart. "Ini pasti perbuatan Hanna!" Wanita jalang di mata Samantha tersebut adalah dalang dari semua ini, demikian yang dia pikirkan. "Sh**t." Samantha kembali mengumpat dalam keterpurukan yang sedang menerjangnya tanpa ampun. Dia menyandarkan punggung di dinding shower dengan membiarkan air menjatuhi puncak kepalanya sambil meratap."Tidak! Bart harus menikahiku bagaimana pun caranya!" Samantha bertekad untuk melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh siapa pun. Dia tahu bahwa Bart masih menyimpan perasaan pada Hanna meski pria itu bersikap seolah telah melupakan wanita itu.Sementara di tempat lain, Bart menghentikan laju mobilnya tak jauh dari lokasi rumah sakit, tempat di mana
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it