Ruangan studio yang semula penuh dengan suara kamera yang berbunyi kini berubah menjadi sunyi saat Zanitha tiba-tiba menghentikan posenya.Dia menunduk sembari memegangi perut yang terasa bergejolakRasa mual yang menggeliat di perutnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba bertahan, menelan ludah berkali-kali, tetapi gelombang rasa tidak enak di tubuhnya semakin kuat.“Aku butuh istirahat sebentar…,” gumamnya pelan, sambil berusaha melangkah keluar dari studio.Wajahnya pucat disertai banyak buliran peluh di pelipisnya.Namun, saat kakinya baru dua kali melangkah, pandangannya mulai berputar. Dunia di sekelilingnya bergoyang. Keringat dingin membasahi hingga ke lehernya.Dengan langkah tertatih, Zanitha berhasil sampai ke kamar mandi di dalam studio.Begitu pintu tertutup, ia langsung berlutut di depan kloset, memuntahkan isi perutnya dengan hebat.Air mata Zanitha mengalir di pipinya saat muntahan tidak kunjung berhenti. Perutnya terasa diremas d
Di salah satu mansion megah keluarga Von Rotchschild, Simon duduk santai di sofa besar dengan cangkir teh hitam di tangannya.Sore itu, langit Zurich berwarna keemasan, dan angin musim semi berhembus lembut dari jendela terbuka, membawa aroma teh herbal yang khas.Di sebelahnya, Amelie-sang istri, duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan menyesap tehnya perlahan.Matanya terpaku pada layar televisi yang sedang menyiarkan berita terbaru tentang keluarga mereka.“BREAKING NEWS: Istri Ananta Von Rotchschild Dicurigai Mengandung Anak Elias Von Rotchschild?”Di layar, beberapa foto ditampilkan—Elias yang membawa Zanitha keluar dari rumah sakit, Elias yang duduk di samping ranjang rumah sakit dengan senyum khasnya, dan berbagai spekulasi yang mulai berkembang di media.Amelie meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi yang cukup nyaring, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.Tangannya bahkan bertepuk beberapa kali, seolah menikmati tontonan yang sangat menghibur.“Suamiku sayang, li
Mansion Sebastian Von Rotchschild berdiri megah di bawah cahaya sore, dikelilingi taman luas yang dipenuhi bunga-bunga eksotis. Namun, keindahan itu tidak bisa menghapus ketegangan yang menyelimuti ruangan utama di dalamnya.Di meja makan panjang yang biasa digunakan untuk pertemuan keluarga, Sebastian duduk di kursi utama dengan ekspresi penuh wibawa. Di sekelilingnya, para anggota keluarga Von Rotchschild telah berkumpul. Ada Rafael, Seraina, Simon, Amelie, dan tentu saja, Elias yang duduk dengan ekspresi campuran antara kepedulian dan sesuatu yang lebih sulit ditebak.Dan di ujung meja, Ananta duduk dengan santai, sementara di sebelahnya, Zanitha tampak tenang meskipun dalam hatinya ada ketakutan besar. Ia tahu, pertemuan ini bukan sekadar makan malam keluarga biasa. Ini adalah panggilan penghakiman.Sebastian menyesap tehnya sebelum akhirnya berbicara."Ananta," suara tuanya terdengar dalam dan penuh tekanan, "Aku yakin kamu sudah membaca berita yang beredar di luar sana. Tent
Suara nyaring memekakan telinga datang dari powder room dekat ruang makan.Ananta yang sedang sarapan jadi tidak selera mendengar suara itu bukan karena jijik melainkan memikirkan istrinya tidak bisa masuk makanan sedikitpun.“Klaus, aku minta ice cream …,” kata Ananta memerintah.“Tapi Tuan, ini masih pagi dan di dalam ice cream tidak terkandung makanan bergizi yang baik untuk ibu hamil … kebanyakan adalah gula.” “Kalau begitu suruh koki buatkan ice cream yang baik dikonsumsi ibu hamil, aku tidak peduli rasanya karena istriku hanya bisa makan ice cream.” Ananta memaksa.“Baik Tuan.” Dan Klaus tidak memiliki pilihan kata selain itu.Saat terdengar suara kunci pintu powder room terbuka, Ananta langsung bangkit dari kursi memburu istrinya.Tadi Zanitha mengunci diri di sana karena tidak ingin Ananta melihat muntahannya.“Kamu makan buah-buahan aja ya,” kata Ananta sembari membantu Zanitha duduk.Zanitha mengangguk pasrah.Dan entah ap
Zanitha berdiri bersama seluruh tim termasuk designer yang mengerjakan proyek ini mengelilingi Elias yang berdiri di tengah lingkaran mereka, yang lain tampak antusias dan senang tapi tidak dengan Zanitha yang menatap kosong pria itu.Elias sedang memberi kabar bahagia tentang sebuah pesta dan mereka semua diundang.Sontak sorak bahagia disertai tepuk tangan mengudara kemudian satu persatu dari mereka bubar untuk mempersiapkan diri.“Kamu pasti datang, kan? Kamu adalah bintangnya.” Madame Cécile Laurent (Chanel) bertanya langsung kepada Zanitha.“Saya akan minta ijin suami dulu.” Zanitha tidak memberi kepastian.“Oh ayolah, gosip antara kamu dan Elias pun sudah tak terdengar lagi dan tampaknya suamimu juga mengerti dengan kondisi yang terjadi,” timpal Giovanni De Luca (Elie Saab).“Ingat Zanitha, kamu bintangnya … pesta tidak akan sempurna tanpa kamu.” Marcel Fournier (Dior) berujar demikian membuat Zanitha bimbang.“Kami sudah menyediakan privat jet khusus untuk kamu, jadi kam
Ketika itu hujan semakin deras saat hari menuju sore. Ananta duduk di ruang meeting utama gedung Helvion Group. Presentasi dari salah satu eksekutifnya terus berjalan, tetapi pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Ia mengangkat tangannya, memijat pelipis yang terasa berat. Ada firasat buruk yang menghantui sejak pagi, meski ia tak tahu pasti apa penyebabnya. Setelah meeting selesai, Ananta mengantar para tamunya ke lobby. Sambil melangkah menuju ruangannya, Ananta merogoh ponsel lalu mengaktifkannya. Begitu dinyalakan, puluhan pesan masuk membanjiri layar—dan di antaranya, pesan dari Zanitha. Zanitha : Ta, aku akan pergi ke pesta perayaan proyek ini. Kami akan terbang menggunakan jet pribadi ke pulau eksklusif. Aku sebenarnya enggak terlalu ingin pergi, tapi karena aku adalah bintangnya, rasanya enggak enak jika tidak hadir. Aku akan segera pulang setelah acara selesai. Aku tahu kamu sibuk, jadi aku hanya ingin memberitahumu. Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir.
Pagutan Ananta tidak berhenti hanya melahap bibir Zanitha namun kemudian beralih ke bagian rahang dan lehernya pun menjadi sasaran keganasan hasrat pria itu.Sementara tangannya mengusap paha Zanitha membawa gaun dengan belahan hingga ke paha naik terus hingga ke pinggang.“Ta …,” desah Zanita saat jemari Ananta mengusap bagian intinya dari luar celana dalam.“Dokter enggak pernah melarang kita bercinta, kan?” Ananta berbisik di depan wajah Zanitha.“Enggak?” Zanitha menjawab parau, menelan saliva kelat. Tidak bisa Zanitha pungkiri, dia juga menginginkan itu.Lalu dengan satu tarikan lembut, Ananta berhasil melepaskan kain berenda Zanitha di bawah sana.Bibirnya mulai turun dari leher ke bagian dada usai berhasil menarik sleting di belakang punggung Zanitha membuat dua bongkahan besar yang tidak memakai bra itu tampak nyata di depan mata Ananta.Ananta merematnya dengan lembut sementara bagian yang satu lagi dia raup menggunakan mulutnya, memainkan lidahnya di sana.“Kenapa in
Begitu mereka tiba di ruang makan, suasana langsung menjadi hidup. Madame Cécile Laurent, Giovanni De Luca, dan Marcel Fournier sudah duduk di kursi mereka, menikmati sarapan mewah di meja panjang yang menghadap ke laut.Begitu melihat Zanitha dan Ananta datang dengan tubuh dan wajah segar mengenakan pakaian casual tapi elegan ala old money, bibir mereka bertiga pun tersenyum.“Ah, akhirnya pasangan ini bergabung dengan kami,” ujar Giovanni sambil mengangkat gelasnya. “Kami sempat khawatir kalian akan memaksa terbang saat badai tadi malam.”Madame Cécile menatap Zanitha dengan penuh kebanggaan. “Cherie, kamu benar-benar luar biasa. Kamu tidak hanya menjadi wajah dari proyek ini, tapi juga membuktikan profesionalismemu.”Cherie adalah panggilan kesayangan Madame Cécile kepada Zanitha karena bibir Zanitha yang plumpy seperti buah Ceri.“Dan yang lebih mengesankan,” tambah Marcel Fournier, “adalah bagaimana kamu tetap setia pada suamimu, bahkan ketika banyak mata yang mencoba menggi
Kantor cabang Helvion Group Indonesia di bilangan Kuningan masih sunyi saat Mathias masuk lebih awal seperti biasa.Ia duduk di ruangannya yang luas, dinding kaca memperlihatkan lanskap kota yang masih terbungkus kabut pagi. Di hadapannya bertumpuk berkas laporan logistik dari pelabuhan-pelabuhan besar—Tanjung Priok, Belawan, dan Surabaya.Matanya menatap tajam lembar-lembar berisi angka. Sesekali ia menandai beberapa data dengan stabilo kuning. Tangannya gemetar ringan tapi ia abaikan.Tubuhnya memang terasa lebih lemas sejak dua hari terakhir, tapi otaknya masih bekerja secepat biasa.“Kapasitas kontainer meningkat 12% dibanding kuartal lalu, tapi rute Sumatera masih defisit margin…,” gumamnya sambil menelusuri grafik. Pelipisnya mulai berdenyut.Ryan, sekretaris muda yang setia menemaninya masuk ke ruangan dengan iPad di tangan.“Tuan, ini laporan ekspor-impor tambahan dari gudang Batam—”“Aku sudah baca laporan yang lama. Kirim revisi ke Zurich, minta approval final dari An
Zurich, Helvion Group PusatRuang pertemuan VIP di lantai tertinggi yang bertempat di kantor pusat Helvion Group Zurich hari itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.Sebastian Von Rotchschild duduk tegak di kursi kulit hitam, menatap pria paruh baya berjas kelabu yang baru saja duduk di depannya.Andrew Schwerin-ayah dari Adelina Schwerin.“Jadi, perjodohan ini gagal?” suara Sebastian pelan, tapi tajam.Pria di depannya menghela napas panjang sebelum menjawab, “Adelina sangat menyukai Ananta, itu pengakuannya sendiri. Tapi dia lebih memilih mundur karena tidak mau menjalani hidup dengan pria yang hatinya sudah diberikan kepada wanita lain.”Sebastian menautkan jemari. Matanya menyipit. “Dan kamu percaya itu alasan yang masuk akal untuk membatalkan pernikahan dua keluarga besar?”Ayah Adelina menatap Sebastian tajam. “Saya percaya anak saya lebih berhak memilih hidup yang jujur. Apakah Anda ingin melihat cucu Anda hidup dalam pernikahan yang penuh kepura-puraan hanya demi alia
Langit Zurich senja itu digelayuti awan tipis. Lampu-lampu di sepanjang jalan mulai menyala, menciptakan nuansa keemasan yang sendu.Di kamar bayi Mansion Ananta Von Rotchschild, suasana lebih tenang. Ares terlelap dalam pelukan ayahnya, sementara tangan kecilnya masih menggenggam ujung kemeja Ananta.Ananta duduk di kursi goyang, menatap wajah mungil itu dengan mata yang sembab oleh kelelahan batin. Di sudut ruangan dekat meja kecil di sampingnya, sebuah dasi dan jas hitam telah tergantung rapi—pakaian yang akan ia kenakan untuk malam ini.Makan malam perjodohan.“Maaf, Ares… Daddy akan pulang larut malam,” bisiknya sambil mencium kening sang putra. “Tapi sebelum Daddy pergi… Daddy harus pastikan kamu tidur nyenyak dulu.”Ares bergumam kecil dalam tidurnya, lalu memeluk lebih erat.Ananta menutup matanya, menghela napas panjang. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Lalu dengan perlahan, ia bangkit, membaringkan Ares ke tempat tidur, dan menyelimuti tubuh kecil itu dengan hati-hat
Malam telah larut di mansion Von Rotchschild, Zurich. Cahaya lampu temaram dari kamar kerja Ananta menyinari meja besar yang dipenuhi dokumen ekspansi pelabuhan, laporan kinerja divisi Shipping dan satu map cokelat tua yang sejak enam bulan lalu tidak pernah berpindah tempat dari lacinya.Map itu berisi dokumen gugatan cerai.Dokumen yang tidak pernah disentuh lagi sejak pertama kali Taylor menyerahkannya.Ananta duduk di kursi kulit hitam, menarik laci lalu mengeluarkan map tersebut sebelum akhirnya membukanya.Di dalam map ada sebuah berkas yang tertulis nama Zanitha Azkayra Wiranata dan namanya sendiri, lengkap dengan stempel pengacara keluarga Von Rotchschild.Tangannya mengusap halaman pertama dokumen itu, lalu mendesah panjang.Sudah berbulan-bulan Sebastian menanyakan hal ini. Bahkan Heinz dan Taylor pun bergantian menyampaikan permintaan agar dokumen itu segera ditandatangani. Tapi Ananta selalu punya alasan: rapat terlalu padat, jadwal penuh, atau dokumen belum diperiks
Sementara itu di mansion Zurich, Sebastian duduk di ruang musik bersama Ares yang tengah duduk di atas pangkuannya. “Lihat ini, Ares…” katanya sambil menekan tuts piano, memainkan melodi sederhana. Ares menatap jemari tua itu lalu ikut menekan satu dua tuts sembarangan setelahnya tertawa kecil. “Ha!” Sebastian terkekeh. “Kamu punya bakat musik rupanya?” Nanny yang berdiri di dekat pintu tersenyum. “Sepertinya dia nyaman sekali dengan Tuan Sebastian.” Sebastian menoleh, menatap cicitnya yang tersenyum sambil menepuk-nepuk piano. “Ananta sudah punya segalanya… tapi wanita itu… wanita itu telah membawa warna ke hidup bocah ini,” gumam Sebastian sambil memeluk Ares erat. Kenyataan bahwa Ananta kini adalah pewaris sah Helvion Group, memiliki kekuasaan, reputasi, bahkan seorang anak sebagai penerus garis darah keluarga Von Rotchschild. Ananta secara material dan status te
Pagi yang sunyi di Zurich,Langkah Ananta menggema di lorong utama mansion Sebastian Von Rotchschild saat ia berjalan menuju ke sebuah ruang kerja.Di tangannya ada map hitam berisi laporan perkembangan proyek pelabuhan baru Helvion Shipping di kawasan Asia Tenggara—sebuah proyek ekspansi strategis yang sedang ia pimpin langsung.Sesampainya di depan pintu, Ananta mengetuk pelan.“Masuk,” suara Sebastian terdengar dari dalam.Ananta membuka pintu dan masuk dengan sikap tenang, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme.“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Sebastian langsung menatapnya tanpa basa-basi.Ananta mengangguk. “Aku akan ke Jakarta untuk inspeksi awal lokasi pelabuhan baru yang sedang kita rencanakan. Ada celah efisiensi distribusi di kawasan timur Indonesia. Aku perlu validasi lapangan sebelum eksekusi.”Sebastian menautkan jari-jari di atas meja. “Sendiri?” Keningnya berkerut disertai sorot mata penuh kecur
Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hati Zanitha justru terasa mendung. Ponselnya bergetar lembut dan di layar menampilkan nama: Ryan.Zanitha menjawab dengan suara pelan, “Halo, Mas Ryan?”Suara Ryan terdengar tenang, seperti biasa, tapi dengan nada berat yang tak bisa disembunyikan.“Selamat pagi, Nyonya. Saya minta maaf harus menyampaikan ini .…”Zanitha menegakkan punggung, firasat buruk langsung menyusup.“Ada apa?”“Saya… tidak bisa mendampingi Anda lagi dalam pembangunan toko bunga.”Ryan terdiam sejenak.“Ini perintah langsung dari Tuan Mathias. Saya diultimatum… dan saya tidak ingin Anda terseret masalah.”Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa. Tapi ia tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Saya mengerti, Mas. Kamu ‘kan memang sekretaris utama Helvion Group. Aku semestinya enggak boleh mengganggu kamu ….”Ryan menarik napas lega mendengar reaksi itu, meski tetap terdengar sedih.“Saya sudah menugaskan sepupu jauh saya. Namanya Bella—dia s
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…