Yulia berjalan dengan berjinjit-jinjit. Berkali-kali ia celingukan ke sekeliling, waspada kalau-kalau ada seseorang yang melihatnya. Ia tiba di tembok samping sebuah bangunan kecil yang terpencil. Ya! Dia datang ke kontrakan Candra. Entah kenapa, sejak Alan mengatakan kalau ternyata penculik itu sudah mengintai dari sebelum masuk ke dalam mall, dugaan Yulia langsung terarah pada Candra. Yulia mengendap-endap. Ia mengintip sedikit dari kaca jendela. Tidak ada siapa-siapa. Lalu Yulia beralih ke belakang dan kebetulan pintunya terbuka. Yulia ragu, apakah ia harus masuk atau tidak. Ia takut kalau ternyata pemilik kontrakan itu kini bukanlah Candra.Setelah berpikir beberapa saat Yulia beralih ke bagian depan. Dia harus memastikan lebih dulu kalau kontrakan ini masih digunakan Candra, belum berpindah tangan. Seketika suara tangisan bayi membuat tubuh Yulia langsung menegang. "Itu suara tangisan Cilla. Ya, aku yakin sekali. Berarti Cilla memang ada di sini. Ya tuhan, terima kasih," uca
"Maaas!" Aira langsung berlari mendekati Alan yang sudah tak sadarkan diri. "Mas bangun, Mas!" ucap Aira sambil terus mengguncang tubuh suaminya itu. Suara kekehan terdengar dari Candra. Pria itu tertawa-tawa walaupun masih terbaring lemas. "Bidikanku hebat, kan?" tanya Candra pada Yulia. Yulia berjalan dengan tertatih-tatih mendekati Candra dan kemudian meraih sapu. "Dasar pria gila! Pria jahat!" ucap Yulia sambil terus memukul Candra dengan sapu. Candra hanya bisa pasrah menerima pukulan yang tak seberapa itu. Hingga kemudian suara sirine mobil polisi terdengar, membuat Candra panik dan berusaha bangkit untuk melarikan diri. Namun Aira membantu Yulia untuk menahan pria tersebut. ---"Yul, kita makan siang dulu, yuk?" ajak Aira untuk kesekian kalinya. Tetapi yang diajak bicara sama sekali tak menggubris. Yulia terus saja melamun semenjak masuk ke rumah sakit. Aira masih terus menggendong Cilla dan dengan sabar membujuk Yulia. "Ayolah, jangan seperti ini, Yul. Lihat Cilla, di
"Yulia?" Yulia tersentak dari lamunan. Ia langsung tersenyum bahagia menyadari kalau semua ini ternyata bukanlah hayalannya saja."Iya, Mas?" jawabnya dengan nyaris menangis.Mendengar suara parau sang suami, membuat rasa rindu dalam hatinya semakin meronta-ronta. "Bagaimana kabarmu?" tanya Alan dengan lirih. Entah lemas atau sedih, Yulia pun tak bisa mengerti."Aku baik, Mas. Mas sendiri bagaimana? Sudah sembuh?" "Alhamdulillaah. Kenapa kamu tidak pernah datang ke sini?""Aku ... aku mau sekali datang ke sana, Mas. Tapi ...."Yulia menunduk. Bingung untuk melanjutkan ucapannya. "Ah, Mas mengerti. Jangan cemas, tidak lama lagi Mas juga pulang."Yulia langsung tersenyum lebar. "Benarkah?" Di rumah sakit, Alan tersenyum setelah mendengar nada suara Yulia yang terdengar lebih bersemangat. "Iya. Nanti di rumah, giliran kamu yang urus Mas, ya? Kasihan Aira sudah kecapekan di sini." Yulia berkali-mali menganggukkan kepalanya walaupun Alan tak dapat melihat itu. "Tentu, Mas. Aku akan m
Cesss ...Cabai rawit itu langsung mendarat di luka Yulia yang menganga. Membuat wanita itu kelojotan sambil memegang tangan kirinya. Ia menangis, merengek, dan air mata pun berjatuhan membasahi wajahnya. "Sakiiitt Masss!!" ucapnya sambil terisak. "Tidak apa-apa, cuma sebentar, kok. Justru bakalan cepat sembuhnya kalau pakai cabe.""Hiks! Kamu kejam, Mas. Sama sekali tidak romantis. Kalau di televisi biasanya laki-laki mencium bagian yang luka. Tapi kamu dengan sadis malah menempelkan cabe di lukaku," rengek Yulia dengan masih menangis.Alan langsung tertawa. Ternyata Yulia juga bisa manja dan menggemaskan seperti ini. Di saat dia kesakitan dan menangis, ternyata dia juga kecewa hanya karena Alan tak romantis seperti adegan sinetron."Mas pikir kamu tidak terlalu menghiraukan apapun yang Mas lakukan. Kamu selalu terlihat menerima semuanya.""Ya enggak lah Mas. Sesekali aku juga ingin Mas romantis," cerocosnya sambil menyeka air mata. Ala tersenyum. Kini Yulia sudah lebih tenang, ha
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A
"Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran
"Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I