‘Beukh’
‘Brakh’Terdengar suara benturan keras saat tendangan Indra dengan telak menghantam punggung si bandit. Tubuhnya terpental menghantam pintu masuk balai desa hingga terdobrak lepas dari engselnya oleh tubuh si bandit. Sontak saja para bandit lainnya yang sejak tadi hanya diam di sekitar rumah penduduk segera mengalihkan pandangan mereka menuju ke arah balai desa.“Ada penyusup!” teriak si bandit sambil meringis kesakitan.“Beritah- heuk!” pekik si bandit sebelum perkataannya selesai. Lehernya di injak oleh kaki kanan Indra sekuat tenaga hingga terkapar meregang nyawa.“Penyusup!”“Kepung-kepung!” terdengar kawanan bandit lainnya mulai berteriak. Satu persatu mereka mulai keluar dari rumah-rumah penduduk yang mereka tempati. Mereka segera bergerak mengepung Indra dari arah depan sembari menghunuskan senjatanya masing-masing.Ketiga bandit lainnya yang tersisa di sana tidak berani berkata apa-apa lagi, mereka sadar kalau meminta belas kasihan pun tidak ada gunanya saat ini. Bandit lainnya yang sebelumnya terpental dan terbaring di tanah malah pura-pura pingsan karena takut terkena imbas kemarahan Indra. Perlahan Indra mulai berjalan mendekati tiga bandit yang masih bersimpuh di tanah dengan kepala tertunduk.“Apa yang kalian lakukan kepada penduduk desa ini? Apa alasan kalian menghabisi mereka semua hah?” tanya Indra. Namun ketiga bandit itu tidak berani menjawab, mereka hanya bisa gemetar ketakutan.“Jawab keparat!” bentak Indra sambil menjambak rambut seorang bandit dan mendongakan kepalanya hingga menatapnya.“Am-pun tu-an,” rengek bandit seraya berderai airmata.“Jeh, disuruh menjawab malah minta ampun,” gerutu Indra dengan raut wajah kesal.“Apa perlu aku tendang dulu telingamu biar
“Am-pun tu-an,” rintih si bandit.“Katakan siapa yang menghabisi mereka semua!” bentak Indra yang kembali mulai berjalan mendekati si bandit. Tapi baru saja Indra melangkahkan kakinya, mendadak saja dari arah belakangnya dia merasakan ada semilir angin yang bertiup mendekat bersama derap langkah beberapa orang yang datang.“Aku yang menghabisinya!” tiba-tiba saja dari belakang Indra terdengar suara pria paruh baya dengan lantang.‘Beukh’“Khkh..”Tapi Indra pura-pura tidak peduli dan memilih untuk menginjak leher si bandit hingga dia menjerit sekarat. Baru setelah si bandit menggelepar di tanah, Indra membalikan tubuhnya ke belakang. Terlihat ada dua orang pria paruh baya bertubuh kekar tengah menatapnya dengan tajam, di samping mereka berdua juga ada satu orang wanita dewasa yang membawa pedang di pinggangnya. Mereka bertiga tak lain adalah tiga murid keperca
Indra benar-benar bingung, entah kenapa tiba-tiba saja perutnya serasa sakit seakan ditinju dengan tenaga yang sangat kuat. Nafasnya mulai terengah-engah seiring dengan rasa sakit yang masih dia rasakan di area perutnya. Meski begitu, Indra kembali bangkit dan menatap ketiga murid Mbah Kupat yang masih menatapnya dengan tajam di kejauhan. Suasana di Desa Karipuh mulai terasa gelap setelah sang mentari mulai tenggelam di ufuk barat.“Kenapa? Apakah kau lupa bagaimana caranya menggunakan ajian tinju gelap andalanmu itu hah?” ejek Buras sambil menyeringai puas.“Apa yang terjadi? Aku sama sekali tidak merasakan atau melihat pergerakan orang yang menyerangku. Tapi mustahil perutku sakit begitu saja tanpa alasan yang pasti,” batin Indra dengan nafas terengah-engah, dia sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya sudah terjadi.“Biar aku saja yang menghadapinya, kelihatannya dia hanyalah orang yang lemah,” tuka
Indra dengan cepat berjungkir balik di udara lalu menghantamkan kedua tangannya ke bawah dalam gerakan ketiga pancalima. Para bandit yang ada di bawahnya mencoba menebas tubuh Indra yang melesat ke bawah.‘Trang’‘Brreugh’Suara dentingan senjata beradu terdengar jelas seiring dengan suara benturan keras saat tinju Indra menghantam beberapa bandit hingga mereka menjerit kesakitan. Tidak hanya sampai di sana, Indra yang sudah berhasil melumpuhkan beberapa bandit di bawahnya segera menggunakan kedua kakinya untuk menyapu beberapa kaki bandit yang masih mengelilinginya.‘Deukh’‘Brukh’Beberapa bandit yang kakinya terkena sapuan kaki Indra seketika ambruk ke permukaan tanah. Leupeut tidak tinggal diam, secepat kilat dia melompat dan menghujamkan tumit kaki kirinya dari atas mengincar kepala Indra. Di sisi lain Buras yang melihat beberapa anak buahnya sudah tumba
“Lagi-lagi seperti ini,” batin Indra sambil mencoba mengatur nafasnya yang memburu.Indra kembali mengalihkan perhatian terhadap sekelilingnya seolah hendak mencari penyebab dia merasakan rasa sakit yang tiba-tiba itu. Namun dia sama sekali tidak menemukan ada yang perlu dikhawatirkan di sekitarnya, dia mulai bangkit lagi perlahan menatap Leupeut yang masih tertawa terbahak-bahak.“Ini buruk, di tengah kegelapan malam seperti ini aku semakin susah memastikan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku,” gumam Indra seraya menyeka darah yang mengalir dari tepi mulutnya.“Hahaha.. menyerah saja! Dengan begitu setidaknya kau bisa menyimpan tenagamu untuk siksaan nanti,” ejek Leupeut disertai tawa anak buahnya.“Aku tidak tahu apa yang kalian lakukan, tapi aku pastikan kalian akan menyesalinya!” tegas Indra tanpa gentar sedikitpun. Dia mulai memasang kuda-kuda gerakan silatnya lagi dengan tatapan penuh waspada memperhatikan sekitarnya.“Hahaha.. jika itu maumu apa boleh buat. Kau akan disiksa du
Melihat Indra yang cengar cengir seperti itu membuat Leupeut semakin geram, secara beruntun dia melakukan serangan menggunakan pukulan berturut-turut. Indra dengan gesit menghalau semua serangan Leupeut tanpa kesulitan sama sekali. Di sisi lain Buras lagi-lagi terkejut dengan daya tahan tubuh Indra dia tidak menyangka meski tadi dia sudah tumbang beberapa kali serta terluka, tapi Indra masih bisa meladeni serangan Leupeut.Saat para bandit yang mengepungnya semakin rapat, Indra kembali menghentakan kedua kakinya untuk melompat agak jauh mendekati tubuh bandit yang sudah tumbang di tanah bersama senjatanya yang berserakan. Leupeut dengan cepat ikut melompat menuju Indra, begitu juga para bandit lainnya yang kembali berbalik mengarah kepada Indra.“Terimalah ajian tingkat tinggi yang aku kuasai ini!” teriak Indra sambil membuat pola gerakan seakan hendak menggunakan ilmu kanuragan.“Ajian tingkat tinggi?” tutur Leupeut yang mengurungkan niatnya untuk mendekati Indra, begitu juga para ba
“Hajar dia sampai mati! Hehehe.. Adiyaksa akan membayar semuanya dengan kehilangan muridnya satu demi satu!” samar-samar terdengar suara pria tua berteriak penuh semangat disertai tawa.“Apa yang terjadi?” batin Indra sembari mulai membuka kedua matanya secara perlahan.Namun hanya mata kanannya saja yang bisa dia gerakan, mata kirinya seakan membesar dan terasa sangat sakit. Bukan hanya itu, sekujur tubuhnya kini serasa sakit dan perih tiada tara. Kedua tangan dan kakinya serasa terikat dengan erat. Samar-samar Indra mendengar kembali suara tawa Buras dan para bandit lainnya yang tertawa puas.“Tubuhku serasa remuk,” gumam Indra seraya meringis kesakitan. Pandangan mata kanannya yang kabur perlahan mulai jelas.Indra kini berada tepat di halaman depan sebuah rumah besar. Di hadapannya terdapat sebuah api unggun yang tampak menjilat-jilat menerangi gelapnya malam. Tubuh Indra terikat di sebuah batang pohon dengan tangan diikat ke belakang, kedua kakinya juga diikat rapat ke batang poh
“Hahaha.. ada apa dengan tatapanmu itu hah? Kau juga ingin melihat tubuhnya bukan?” ejek Buras.“Hemh!” pekik Ratih yang berusaha melepaskan diri, tapi dia juga tidak berdaya karena tubuhnya sudah terikat ke kursi rotan. Tampak airmatanya semakin mengalir deras saat seluruh bajunya sudah dilucuti oleh Buras.“Kau! Keparat!” teriak Indra dengan suara lantang, nafasnya terlihat memburu seiring dengan matanya yang melotot geram terhadap Buras.‘Beukh’Nyi Pontrang kembali menghajar perut Indra bersamaan dengan bandit lainnya mencambuk tubuh Indra, tapi kali ini Indra tidak memekik sedikitpun. Dia malah mengalihkan pandangan mata kanannya kepada Nyi Pontrang. Entah mengapa saat itu juga Nyi Pontrang langsung melompat mundur ke belakang saat melihat tatapan Indra yang mengerikan.“Perasaan apa ini?” gumam Nyi Pontrang yang tiba-tiba bulu kuduknya serasa merinding.“Cih. Kalau kau ingin melihatnya, buka matamu dengan jelas!” bentak Buras yang seketika menghantamkan pukulannya ke dada Indra.
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari