“Tidak salah lagi, dia adalah putra Surya Sasmita. Itu artinya, wanita di dekatnya adalah istrinya. Ratri Galuh, putri Mahaguru Kusuma Galuh dari Paguron Linggabuana,” batin Mbah Kupat dengan wajah pucat pasi.“Hahaha.. Jangan bercanda kau! Kau pikir dengan mencatut nama orang lain, kau bisa bebas begitu saja hah!” bentak Buras.“Itu terserah kepadamu,” ucap Jayadharma sambil mengalihkan pandangannya ke arah Indra yang masih berlutut di tanah dengan nafas terengah-engah. Luka lama di punggungnya juga tampak kembali mengeluarkan darah, luka tebasan yang dia dapatkan saat melindungi Mira di Kerajaan Girilaya.“Sulit dipercaya, dengan luka separah itu dia masih mampu mempertahankan kesadarannya,” gumam Jayadharma.“Ini akan sangat merepotkan,” pikir Mbah Kupat seraya mengepalkan tinju tangan kanannya yang terluka.Mendadak saja tanah di sekitar tempat mereka berada mulai bergetar kuat bersamaan dengan riuh angin yang bergemuruh dari arah Mbah Kupat. Udara malam yang agak dingin tiba-tiba
“Ajian malih rasa?” gumam Jayadharma.‘Srets’“Aduw!” jerit Mbah Kupat saat tangan kanannya terputus dari bahunya.‘Dhaamrrr’Suara dentuman keras terdengar saat ajian tribaya di tangan kanan Mbah Kupat menghantam permukaan tanah, Buras yang ada di dekatnya langsung terpental jauh karena dampak dari ilmu kanuragan yang digunakan gurunya. sementara itu pedang yang dilemparkan oleh Ratri Galuh melesat dan menembus tubuh lima orang bandit hingga mereka ambruk meregang nyawa. Kobaran api yang menjilat-jilat terlihat jelas di cekungan tanah bekas dentuman ajian tribaya.“Keparat kau!” teriak Mbah Kupat sambil menebas ikatan Ratih dengan tangan kirinya sambil meringis menahan rasa sakit dari lukanya. Kemudian dia mencengkram leher Ratih dengan lengan kirinya. Tangan kanannya yang terpotong masih terus mengeluarkan darah.“Akh..” Ratih berusaha berontak, tapi dia tidak berdaya karena tubuhnya belum pulih ditambah lagi tenaga seorang pendekar terlatih seperti Kupat jelas tidak bisa diremehkan
“Aku lihat kau juga bisa menggunakan ilmu kanuragan dari Paguron Margabuana, tapi kenapa kau mencoba menghalangi kami?” tanya Buras seraya menatap tajam Jayadharma.“Tidak setiap Jawara yang menguasai ilmu kanuragan Paguron Margabuana adalah orang jahat. Jadi jangan samakan aku dengan kalian semua,” jawab Jayadharma sembari perlahan berjalan mendekati Buras.“Pontrang, kau hadapi wanita itu. Aku akan mengurus pria sok suci ini,” perintah Buras. Nyi Pontrang hanya mengangguk saja seraya mulai berjalan mendekati Ratri, sementara itu puluhan bandit lainnya yang ada di sana kini terbagi menjadi dua kelompok. Ada yang berada di dekat Buras, ada juga yang di dekat Nyi Pontrang.“Baik Kang,” jawab Nyi Pontrang.“Berhati-hatilah Kang, ada kemungkinan murid-muridnya juga menguasai ajian malih rasa,” batin Ratri menggunakan ajian sambat basa dengan memejamkan matanya. Melihat Ratri memejamkan matanya, para bandit yang tadi hendak mengejar Indra segera melesat menyerangnya dengan tebasan golok d
“Posisi kuda-kuda itu, gerakan sahasrabala?” gumam Buras seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Keadaan ini, dia jelas-jelas hendak menggunakan gerakan silat tingkat tinggi,” ujar Nyi Pontrang yang secara refleks melompat mundur untuk menjaga jarak dari Ratri.“Siapa kau sebenarnya hah? Mengapa kau bisa menguasai gerakan silat tingkat tinggi Paguron Margabuana?” tanya Buras.“Aku putra Surya Sasmita, alias Lodaya Tipakidulan,” jawab Jayadharma sambil menyeringai.“Mustahil.. dia putra dari murid terkuat Paguron Margabuana?” gumam Buras terbelalak kaget.‘Beukh’‘Krek’“Heukh!” pekik Buras. Belum sempat dia mengedipkan matanya, tiba-tiba saja Jayadharma sudah menghujamkan pukulan di perutnya hingga dia memuntahkan darah, bukan hanya itu sebab suara tulang yang remuk juga sampai terdengar dari tubuh Buras sesaat sebelum tubuhnya terpental jauh menghantam dua bandit lainnya hingga terkapar di sana.‘Bregh’Suara tanah yang bergetar terdengar jelas saat Jayadharma kembali mengh
‘Beugh’“Eukh!” pekik Ratih sambil memuntahkan darah dari mulutnya saat ajian tribaya yang digunakan oleh Mbah Kupat berhasil menghantam perutnya dengan telak.‘Bregh’“Heukh..” pekik Indra saat dia merasakan rasa sakit di perutnya, saat itu juga dia memuntahkan darah segar dari mulutnya bersamaan dengan tubuhnya yang oleng hendak ambruk. Makin lama rasa sakit itu juga diiringi oleh rasa panas yang luar biasa layaknya terbakar.Mendadak saja tubuh Indra seketika diselimuti oleh api, tubuh Indra terbakar seiring dengan tubuhnya yang jatuh ke tanah. Indra terbaring tak berdaya di tanah dengan punggung terus dibakar oleh api yang berkobar. Sementara itu tubuh Ratih yang terpental karena terkena pukulan Mbah Kupat jatuh tak jauh dari tempat Indra berada, matanya seketika terpejam bersamaan dengan kesadarannya yang hilang.“Dasar orang-orang lemah, tekad kuat kalian tidak akan berguna jika tidak diimbangi oleh kekuatan yang setara,” gerutu Mbah Kupat sambil menyeringai puas melihat tubuh I
“Ajian gelap ngampar!” ucap Indra sambil menghantamkan kedua telapak tangannya ke tanah.‘Dddhhhooommmrrrrrr’‘Ggggrrrrrr’Seketika itu juga ribuan petir yang amat terang di langit secara bersamaan menyambar hutan tempat mereka berada saat ini. Suara dentuman keras layaknya letusan gunung berapi terdengar begitu kencang bersamaan dengan deru angin yang bergemuruh dahsyat. Tanah dan pepohonan yang ada di sekitar tempat tersebut langsung hancur berkeping-keping karena sambaran ribuan petir yang turun, jeritan Mbah Kupat terdengar jelas saat tubuhnya yang sudah tua renta itu tersambar petir secara bersamaan hingga hancur berkeping-keping. Tanah di sekitar hutan saat itu juga berguncang kuat layaknya gempa bumi.***Di tempat lain, Jayadharma dan Ratri Galuh yang sudah berhasil menghabisi Nyi Pontrang, Buras dan para bandit lainnya dibuat kaget saat mereka merasakan tanah tiba-tiba berguncang hebat. Mereka berdua secara bersamaan segera menengadahkan kepalanya ke langit, kegelapan yang ta
“Ayah?” ujar Ratri dengan wajah terkejut melihat pria paruh baya yang ada di depannya.“Ratri?” gumam pria muda yang ada di samping Kusuma Galuh, dia tak lain adalah kakak Ratri Galuh yaitu Patra Galuh.“Aku tidak menyangka akan bertemu dengan kalian bertiga di sini,” ucap Kusuma Galuh seraya menatap Jayadharma dan Irgi yang terlihat mulai tertidur lagi.“Teh Ratri Galuh dan Kang Jayadharma,” batin seorang pemuda yang ada di dekat Patra dan Kusuma Galuh. Dia adalah salah satu murid Perguruan Linggabuana, namanya Tata Sanjaya.“Kami datang untuk membawa Irgi berkunjung ke Linggabuana. Tapi tidak saya sangka akan bertemu ayah dan kakak di tempat seperti ini,” ucap Jayadharma.“Kami datang kemari setelah melihat ada ribuan petir yang turun dari langit ke sekitar sini. Kami yakin telah terjadi sesuatu di sini,” jawab Patra Galuh.“Itu benar, aku merasakan ada orang yang menggunakan ajian gelap ngampar di sini. Karena itu aku buru-buru datang kemari bersama Patra dan Tata,” timpal Kusuma G
“Kelihatannya dia memang sudah mati, sebab kami tidak melihat jejaknya melarikan diri. Terlebih dengan keadaannya yang seperti itu tidak akan mungkin dia bisa dengan mudah kabur dari jangkauan ajian terlarang yang sangat luas tersebut,” tutur Ratri.Mereka terus berlari dengan kecepatan tinggi menuju Gunung Linggabuana sambil membicarakan banyak hal, terutama tentang identitas Indra sebenarnya. Ratri dan Jayadharma juga tidak bisa menjelaskannya secara tepat sebab mereka hanya tahu namanya saja, itupun juga dari para bandit yang mereka kalahkan.Tanpa terasa jarak yang Indra perkirakan hanya bisa ditempuh dalam satu hari nyatanya bisa mereka semua tempuh dalam waktu yang singkat. Tengah malam mereka sudah sampai di Perguruan Linggabuana, saat itu juga Indra dan Ratih dirawat secara langsung oleh Mahaguru Kusuma Galuh serta istrinya yang bernama Neni Anggraini, mereka juga ditemani para murid kepercayaannya yang ahli dalam bidang pengobatan termasuk Tata Sanjaya.Ratri segera menidurka
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari