“Ayah?” ujar Ratri dengan wajah terkejut melihat pria paruh baya yang ada di depannya.“Ratri?” gumam pria muda yang ada di samping Kusuma Galuh, dia tak lain adalah kakak Ratri Galuh yaitu Patra Galuh.“Aku tidak menyangka akan bertemu dengan kalian bertiga di sini,” ucap Kusuma Galuh seraya menatap Jayadharma dan Irgi yang terlihat mulai tertidur lagi.“Teh Ratri Galuh dan Kang Jayadharma,” batin seorang pemuda yang ada di dekat Patra dan Kusuma Galuh. Dia adalah salah satu murid Perguruan Linggabuana, namanya Tata Sanjaya.“Kami datang untuk membawa Irgi berkunjung ke Linggabuana. Tapi tidak saya sangka akan bertemu ayah dan kakak di tempat seperti ini,” ucap Jayadharma.“Kami datang kemari setelah melihat ada ribuan petir yang turun dari langit ke sekitar sini. Kami yakin telah terjadi sesuatu di sini,” jawab Patra Galuh.“Itu benar, aku merasakan ada orang yang menggunakan ajian gelap ngampar di sini. Karena itu aku buru-buru datang kemari bersama Patra dan Tata,” timpal Kusuma G
“Kelihatannya dia memang sudah mati, sebab kami tidak melihat jejaknya melarikan diri. Terlebih dengan keadaannya yang seperti itu tidak akan mungkin dia bisa dengan mudah kabur dari jangkauan ajian terlarang yang sangat luas tersebut,” tutur Ratri.Mereka terus berlari dengan kecepatan tinggi menuju Gunung Linggabuana sambil membicarakan banyak hal, terutama tentang identitas Indra sebenarnya. Ratri dan Jayadharma juga tidak bisa menjelaskannya secara tepat sebab mereka hanya tahu namanya saja, itupun juga dari para bandit yang mereka kalahkan.Tanpa terasa jarak yang Indra perkirakan hanya bisa ditempuh dalam satu hari nyatanya bisa mereka semua tempuh dalam waktu yang singkat. Tengah malam mereka sudah sampai di Perguruan Linggabuana, saat itu juga Indra dan Ratih dirawat secara langsung oleh Mahaguru Kusuma Galuh serta istrinya yang bernama Neni Anggraini, mereka juga ditemani para murid kepercayaannya yang ahli dalam bidang pengobatan termasuk Tata Sanjaya.Ratri segera menidurka
Tiga hari berlalu sejak Indra mendapatkan perawatan dari keluarga Mahaguru Kusuma Galuh akhirnya dia mulai sadarkan diri. Perlahan Indra mulai membuka kedua matanya, samar-samar dia bisa melihat tempat yang begitu asing baginya. Ika Pratiwi yang waktu itu kebagian bertugas mengawasi keadaannya buru-buru memanggil Neni dan Ratri.Saat itu juga mereka segera bergegas memeriksa kondisi Indra. Kusuma Galuh, Jayadharma dan Patra Galuh juga tak lupa untuk segera ikut ke sana. Ratih yang sudah sembuh dan bisa berjalan lagi juga buru-buru menemui Indra. Dia saat itu juga memeluk tubuh Indra yang masih terbaring di tempat tidur, tangisnya tidak bisa dia tahan lagi setelah beberapa hari yang lalu dia melihat luka yang Indra alami.“Kang Indra, maafkan saya.. maafkan saya..” tutur Ratih dengan lirih.“Tidak apa-apa,” kata Indra pelan, tubuhnya serasa masih lemas dan sakit di beberapa titik.“Tidak Kang, jika saja saya waktu itu menuruti permintaan Akang mungkin saat ini Akang baik-baik saja,” uc
“Akhirnya beliau memanggilku juga,” gumam Indra. Tampaknya Kusuma Galuh ingin melanjutkan perbincangan beberapa hari yang lalu sebelum dia benar-benar pulih. Indra hanya bisa menghela nafas dalam agar detak jantungnya yang berdegup kencang menjadi lebih tenang.Setelah Indra sampai di kediaman Kusuma Galuh, dia segera diarahkan oleh Ratri menuju ruangan Kusuma Galuh. Di ruangan tersebut tampak sudah ada Patra dan juga Jayadharma yang sedang menunggu. Dari tatapannya saja sudah jelas hal yang akan dibicarakan adalah hal yang sangat serius.“Duduklah Indra, kau juga Ratri,” perintah Kusuma Galuh.“Maaf Mahaguru, tapi saya ingin mengawasi Irgi. Jika berkenan silahkan lanjutkan pembicaraannya tanpa saya,” tolak Ratri dengan sopan.“Baiklah,” tutur Kusuma Galuh. Ratri hanya mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan tempat mereka berada.“Apa ada yang ingin kau katakan, Indra?” tanya Kusuma Galuh sembari menatap tajam Indra.“Saya sangat berterima kasih atas kebaikan keluarga Ma-“ namun bel
“Aku mengerti sekarang. Jika saja kau menjelaskan semuanya dari awal, mungkin aku tidak perlu terus bertanya seperti ini,” tutur Kusuma Galuh sembari meneguk kopi di cangkir bambu miliknya.“Jadi Mahaguru tahu tentang Aki Guru?” tanya Indra.“Nama Braja Ekalawya sangat dikenal di kalangan Jawara, dia adalah satu-satunya orang asing di Paguron Margabuana yang mampu menjadi salah satu dari sepuluh murid terkuat Purbakala. Meski mungkin dia berada di urutan kesepuluh dari yang terbaik, tapi mengingat dia bukanlah orang Kerajaan Galuh tentunya itu adalah hal yang sangat mengesankan,” jelas Kusuma Galuh.“Eh? lalu sembilan sisanya adalah para pendekar dari kerajaan ini?” tanya Indra yang terlihat agak lega sebab respon Kusuma Galuh diluar dugaannya.“Bukan hanya sembilan. Tapi selain Braja Ekalawya, tidak ada lagi pendekar dari luar Kerajaan Galuh yang mampu diperhitungkan di dalam seratus murid terbaik Purbakala,” jawab Kusuma Galuh. Mendengar hal itu Indra semakin terkejut, sebab dia tid
“Rasa bimbang di hatimu itu adalah hal yang baik, tandanya kau tidak kehilangan rasa kemanusiaanmu. Aku juga mengerti kebimbanganmu itu, saat berhadapan dengan orang-orang jahat seperti itu kita memang dihadapkan diantara dua pilihan yang sulit, memberinya kesempatan atau langsung menghabisinya,” tutur Kusuma Galuh.“Jika kita menghabisinya, kita akan merasa bersalah karena dia mungkin bisa saja berubah bukan?” sambung Kusuma Galuh.“Iya Mahaguru, itulah yang mengganjal perasaan saya,” jawab Indra.“Di sisi lain, jika kita mengampuninya saat itu dan memberinya kesempatan, kita juga akan khawatir menyesali keputusan kita nantinya. Bisa saja dia memang berubah. Tapi coba pikirkan kemungkinan buruknya jika dia tidak berubah, maka setiap kejahatan yang dia lakukan lagi nantinya juga akan menjadi tanggung jawab kita. Terlebih belum tentu dia akan bertemu lagi dengan kita, coba bayangkan andaikan dia hidup puluhan tahun dan tidak berubah maka berapa banyak orang yang menjadi korbannya karen
“Saya masih bingung dengan kemampuan bandit yang saya hadapi beberapa hari yang lalu, entah mengapa serangan mereka sama sekali tidak bisa saya lihat. Terlebih yang mengejutkannya lagi, ilmu kanuragan yang digunakan olehnya untuk menyerang Ratih juga berdampak terhadap tubuh saya,” kata Indra. “Oh masalah itu. Bandit yang kau hadapi itu mampu menguasai ilmu kanuragan mengerikan yang bernama ajian malih rasa. Salah satu ilmu kanuragan tingkat tinggi yang sangat merepotkan, bahkan untuk orang sepertiku,” ucap Kusuma Galuh. Dia kemudian menjelaskan tentang ajian malih raga, semuanya sama seperti yang dijelaskan oleh Ratri waktu berhadapan dengan Buras dan Nyi Pontrang. Indra hanya mengangguk paham sembari mendengarkan Kusuma Galuh menjelaskan semuanya, dia akhirnya paham mengapa waktu itu tubuhnya mendadak sakit dari serangan yang tidak terlihat. Dia tidak menyangka kalau ada ilmu kanuragan seperti itu di dunia ini, andaikan saja Jayadharma dan Ratri tidak menolongnya mungkin dia sudah
“Kang Patra terlalu berlebihan, lagipula di luar sana masih banyak Jawara yang sanggup berduel satu lawan satu dengan Raka Adiyaksa. Saya tidak bisa dibandingkan dengannya, jika saja dia menggunakan ilmu pedangnya maka saya sudah dipastikan kalah,” sanggah Jayadharma.“Hehe.. kau ini, padahal aku sudah berusaha untuk membujuk Indra berguru di sini. Coba bayangkan seperti apa respon Mahaguru Adiyaksa kalau orang yang menguasai ajian gelap ngampar malah berguru di sini,” gerutu Patra.“Hahaha.. Mahaguru Adiyaksa pasti akan menggerutu, dia mungkin saja mau menerima tantangan untuk latih tanding denganku lagi jika hal itu terjadi,” timpal Kusuma Galuh sambil tertawa.“Eh? Memangnya ayah masih sering menantang Mahaguru Adiyaksa?” tanya Jayadharma sembari mengerutkan keningnya.“Tentu saja, enam bulan sekali aku mengiriminya surat untuk melakukan latih tanding. Tapi selalu saja dia tolak,” jawab Kusuma Galuh.“Kelihatannya ayah masih kesal karena lima tahun yang lalu dia kalah telak oleh Ma
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari