Saptabira secara resmi mengakhiri latih tanding. Para murid Sastrabuana yang lain segera membubarkan diri, sementara itu Banara membawa Indra ke pendopo untuk beristirahat. Sinta dan putranya segera kembali ke kediamannya setelah latih tanding selesai, sementara itu Mira yang tadi pergi membawa Ajinata kini kembali datang ke sana.
“Banara, tolong berikan Indra ramuan untuk menyembuhkan tangannya. Aku akan menemui Mahaguru sebentar,” tutur Saptabira seraya beranjak pergi.“Tunggu sebentar di sini,” kata Banara kepada Indra sebelum dia pergi untuk membawakan ramuan yang Saptabira maksud.“Sudah selesai Kang?” tanya Mira setelah sampai di pendopo, dia terlihat agak kecewa karena tidak keburu melihat pertarungan Indra.“Sudah Nyi, nih tangan saya sampai seperti ini,” jawab Indra sembari menoleh ke tangan kanannya yang masih belum bisa dia gerakan sepenuhnya.“Sayang sek“Maafkan saya Kang, bukannya tidak ingin menginap di Sastrabuana. Tapi saya sudah berniat untuk segera melanjutkan perjalanan, mungkin lain kali saja saya menginap di sini,” jawab Indra.“Sayang sekali, padahal aku sudah mau meminta Saptabira dan Banara untuk menyiapkan jamuan untukmu malam ini Indra,” ucap Dasanata.“Mohon maaf Mahaguru, tidak usah repot-repot. Mungkin lain kali saja,” kata Indra dengan penuh hormat.“Baiklah. Jika memang itu keputusanmu, apa boleh buat. Aku hanya menitip pesan agar kau berhati-hati saja di perjalanan nanti,” tutur Dasanata.“Terlebih setelah di Linggabuana, sebab Mahaguru Kusuma Galuh adalah tipe orang yang selalu berhati-hati,” sambung Dasanata, tentunya Indra paham maksud Dasanata tersebut yang pasti berkaitan dengan ajian gelap ngampar yang dikuasai olehnya.“Terima kasih banyak Mahaguru. Saya sangat senang bisa sin
Indra berlari menuju asal suara rintihan minta tolong yang dia dengar, setelah semakin dekat kali ini dia mendengar suara jeritan wanita yang tengah kesakitan. Tampak jelas di hadapannya kini dua orang pria tengah tertawa puas sementara tak jauh darinya ada seorang wanita yang terluka tergeletak di tanah. Tubuhnya terlihat bergetar sementara di sekujur tubuhnya penuh luka-luka yang mengeluarkan darah.“Hahaha.. kau pikir bisa kabur begitu saja hah,” bentak seorang pria dewasa diiringi gelak tawa.“Gara-gara kau, kami harus repot-repot masuk ke hutan seperti ini!” timpal seorang pria lainnya seraya menendang pinggang wanita yang sudah tidak berdaya itu.“To-long,” kini rintihan wanita itu terdengar semakin lemah, tangannya mulai bergerak seakan hendak merangkak menjauhi dua pria sangar di dekatnya. Deraian airmata yang sejak tadi mengalir di pipinya kini mulai bercampur dengan darah yang menetes dari luka di k
“Apa urusannya denganmu hah? Mau baik atau buruk terserah kami dong!” tegas seorang pria.“Hamh.. itulah alasan mengapa semakin banyak orang jahat di dunia ini,” tukas Indra seraya menghela nafas dalam.“Jika baik dan buruknya kalian hanya untuk kalian sendiri ya tidak masalah kalian ngomong begitu juga, tapi akan jadi masalah jika sampai melibatkan orang lain! Lihatlah apa yang kalian lakukan kepada seorang wanita tak berdaya sepertinya, kalian tidak pantas untuk dibiarkan begitu saja, kalian adalah contoh buruk di dunia ini. Dalam pandanganku, kalian tidak pantas untuk hidup,” jelas Indra.“Hahaha.. dia mendadak sok baik,” kata seorang pria di hadapan Indra sambil tertawa terbahak-bahak.“Dasar sok baik, kayak nggak pernah berbuat kejahatan saja kau,” timpal pria lainnya.“Hihihi.. kata-kata yang kalian ucapkan barusan hanya dikatakan oleh orang yang j
“Baik, saya bersedia untuk membantu. Tapi tolong Nyai jelaskan kepada saya apa yang perlu dibantu,” tutur Indra.“Terima kasih banyak tuan, ayo ikut saya ke sana,” ucap si wanita yang berusaha berdiri sembari menunjuk arah dengan jari telunjuknya.“Aduduh..” baru saja wanita itu berdiri, dia langsung meringis kesakitan. Kaki kanannya terlihat lebam hingga dia kesulitan untuk menapakannya.“Biar saya gendong saja Nyi,” tawar Indra seraya berjongkok di hadapan si wanita.“Eh?” ujar si wanita terlihat agak ragu untuk menerima tawaran Indra.“Hihihi.. jangan takut, saya tidak akan macam-macam kok. Katanya tadi sudah tidak punya banyak waktu,” ucap Indra. Wanita itu hanya bisa mengangguk dan menerima tawaran Indra.“Jadi siapa nama nyai sebenarnya?” tanya Indra sambil berjalan menuju arah yang ditunjuk si wanita tadi.
“Aku juga baru mendengarnya tuan, tapi ayahku sepertinya sudah pernah mendengar nama Mbah Jambrong. Sebab dia tampak terkejut saat mendengarnya, dia juga segera memerintahkan aku untuk melarikan diri jika bisa bersama yang lainnya,” timpal Ratih.“Begitu ya, aku paham. Lalu ibumu juga berpencar daripada harus bersamamu?” tanya Indra.“Ibuku sudah tiada, aku hanya tinggal bersama dengan ayah saja saat ini tuan,” jawab Ratih dengan lirih.“Aduh, maaf. Aku pikir tadinya kamu melarikan diri bersama ibumu,” ucap Indra buru-buru karena merasa tidak enak.“Tidak apa-apa tuan,” ucap Ratih.“Ngomong-ngomong jangan panggil tuan ya, soalnya aku juga belum setua itu. Hihihi,” tukas Indra seraya cengar cengir.“Baik kalau begitu tu- Akang,” tutur Ratih sembari tersenyum.Mereka terus berjalan menyusuri hutan menuju ke arah
Bandit yang membawa golok segera menerjang dengan ayunan goloknya mengarah ke leher Indra, sementara dua bandit yang lain menyerang dari dua sisi yang berlawanan. Bandit yang kakinya dicengkram erat oleh Indra juga segera menghentakan kakinya yang bertumpu ke tanah hingga tubuhnya terlontar ke atas.“Aku tidak punya waktu banyak untuk meladeni kalian,” ujar Indra dengan santainya.Tangan kanan Indra sama sekali tidak dilepaskan dari kaki lawannya. Saat ayunan bandit yang menebaskan goloknya datang, dia segera menarik tubuh bandit yang terlontar ke atas hingga menghalangi serangan golok bandit dari depan, sementara itu Indra juga membungkukan tubuhnya ke bawah guna menghindari dua serangan bandit yang melesat dari samping kiri dan kanan tubuhnya.‘Srets’“Aduuhh!” jerit bandit yang dijadikan perisai oleh Indra, punggungnya dengan telak tertebas oleh golok temannya sendiri hingga berlumuran darah,
“Am-puni saya tuan,” tutur bandit dengan lirih. “Berisik! Orang lagi berpikir juga,” bentak Indra. “Saya sudah mengatakan semuanya, tolong lepaskan saya tuan,” rengek bandit dengan berderai airmata. “Eh malah nangis. Sudah berisik, cengeng lagi! Giliran mau mati saja nangis, pas hidup mah bebas berbuat kejahatan tanpa memikirkan orang lain yang menjadi korban. Dasar pengecut!” gerutu Indra karena dia tidak bisa berpikir jernih mendengar rintihan si bandit yang menangis tersebut. “Am-pun tuan, saya tidak akan berbuat jahat lagi,” tutur bandit. “Hihihi.. apa jaminannya? Orang sepertimu itu mustahil berubah pikiran. Lihat saja di sekitar tempatmu berada sekarang ini. Berapa banyak nyawa yang sudah kau lenyapkan? Berapa banyak orang yang kau habisi? Orang serakah yang tidak peduli dengan nasib orang lain, tidak akan pernah berubah menjadi orang baik. Keserakahanmu itu akan menutup hatimu dari kebaikan!” ucap Indra.
Setelah cukup dekat dengan rumah Ratih, Indra mulai memelankan langkahnya dengan penuh kewaspadaan. Dia mengendap-endap di balik pepohonan kecil sembari memperhatikan keadaan di sekitarnya, setelah di perhatikan secara baik-baik tampaknya tidak ada satupun bandit di sekitar rumah Ratih.“Kelihatannya aman,” kata Indra seraya mulai berjalan mendekati pintu belakang rumah Ratih.Perlahan Indra membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik. Setelah pintu terbuka, dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat keadaan di dalam rumah sangat berantakan, perabotan, pakaian dan barang-barang lainnya berserakan. Semua pintu kamar juga tampak sudah rusak dengan bekas dobrakan.“Apakah saat kau pergi keadaannya sudah seperti ini?” tanya Indra sembari menurunkan Ratih dari punggungnya.“Tidak Kang,” jawab Ratih yang tampak terlihat sedih mendapati keadaan rumahnya seperti itu.“Mengerikan,
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari