“Kakek tahu kami akan datang kemari?” tanya Juhama dengan mata terbelalak. Kakek tua itu hanya tersenyum saja sambil menatap Indra dan Juhama.
“Luar biasa, apakah semua warga biasa di Kerajaan Galuh memang sakti mandraguna seperti ini?” ujar Indra yang benar-benar tidak percaya.“Sekarang persiapkan diri kalian untuk mewarisi ilmuku,” kata kakek tua itu sambil berusaha berdiri dengan agak kesusahan. Indra dan Juhama sontak semakin terkejut saja mendengar perkataan kakek tua barusan.“Haaa.. wush.. wush.. werr.. haaa..” kata kakek tua itu sambil merentangkan kedua tangannya kepada Indra dan Juhama. Dia tampak seolah-olah mendorong sesuatu dengan tangannya yang bergetar.“Wah nggak beres ini mah,” tutur Indra sembari tersenyum. Tak lama kemudian pintu rumah terbuka, seorang pria dan wanita paruh baya tampak keluar dari dalam rumah. Mereka terlihat terkejut saat melihat ada ITak memerlukan waktu lama bagi Indra dan Juhama untuk sampai ke desa tujuannya. Sebuah desa kecil seperti Desa Kowala tempat mereka singgah sebelumnya. Suasana di dalam desa tidak terlalu ramai karena pagi menjelang siang begini pastilah warga masih sibuk bekerja di ladang serta kebunnya. Hanya ada beberapa kelompok anak-anak saja yang tengah bermain di sekitar desa serta ibu-ibu yang sedang berkerumun sembari mengasuh anak-anaknya.“Kok belum kelihatan ya, di mana perguruannya?” ujar Indra sambil berhenti sejenak. Juhama sendiri segera menghampiri ibu-ibu yang sedang berbincang. Setelah selesai bertanya dia kembali mendekati Indra.“Katanya ada di ujung sebelah selatan desa ini,” kata Juhama.“Eh, pantesan kalo begitu,” ujar Indra seraya melanjutkan perjalanannya bersama Juhama.Tak lama kemudian mereka akhirnya sampai di depan sebuah halaman luas. Sekeliling halaman itu dipagar oleh bambu, ada
Dengan jawaban tersebut Juhama menegaskan kalau dia tetap akan melakukan latih tanding di Perguruan Kidang Kancana. Mendengar jawaban Juhama itu Jala segera berdiri dan mengajak Indra serta Juhaman menuju ke halaman. Indra segera duduk di tepi halaman sementara itu Juhama dan Jala bersiap di tengah-tengah halaman.“Saya tidak menyangka kalau tuan sendiri yang akan menghadapi saya,” kata Juhama.“Sebagai tuan rumah aku tidak mau mengecewakan para tamu yang datang kemari, lagipula kemampuan murid dari perguruan besar Panjalu tentunya tidak akan sebanding dengan murid perguruan kecil seperti kami,” jawab Jala yang mulai membuat posisi kuda-kuda.“Kalau begitu, mohon bantuannya agar tuan tidak segan,” ucap Juhama sembari menggunakan pola kuda-kuda gerakan silat Perguruan Manahsulaya.“Ya. Kau boleh menggunakan ilmu kanuragan seperti apapun untuk menyerangku. Pemenang baru ditentukan jika ada pi
‘Tap’Kaki kanan Jala serasa ditahan oleh telapak tangan. Tapi Jala tidak membuang kesempatan, dia segera mengayunkan pukulannya menuju ke arah kakinya di tahan. Telapak tangan yang serasa menahan kakinya segera lenyap tak terasa lagi, pukulan Jala juga hanya menghantam angin saja karena Juhama sudah menghindar.Kini serangan Juhama kembali datang dari samping, pukulannya melesat mengarah ke leher Jala. Akan tetapi Jala segera menjatuhkan dirinya ke tanah dengan bertumpu ke kedua tangannya. Sementara kaki kanan Jala bergerak menyepak secara berputar, suara benturan keras terdengar saat kakinya serasa menghantam betis Juhama.‘Beukh’‘Brukh’Terdengar suara benturan lagi saat tubuh Juhama yang kehilangan keseimbangan ambruk menghantam tanah, sejujurnya dia benar-benar terkejut karena Jala bisa mengetahui pergerakannya. Padahal saat ini wujudnya masih belum terlihat sedikitpun. Jala se
Indra segera maju mendekati Jala dengan pukulan tangan kanannya tapi Jala dengan cepat mengelak ke samping seraya mengayunkan sikut kirinya mengincar dagu Indra. Tapi pergerakannya itu dengan mudah dihindari oleh Indra dengan cara mendongakan kepalanya ke belakang, tak hanya itu secara bersamaan Indra mengayunkan tumit kaki kanannya dari belakang mengincar pinggang kiri Jala.‘Bukh’Suara benturan keras terdengar saat Jala menahan tendangan Indra tersebut menggunakan lengan kanannya yang ditekuk. Indra tidak kehabisan akal, dia segera menurunkan kaki kanannya ke tanah lalu membuat gerakan sapuan mengincar kaki Jala walaupun pada akhirnya hanya menghantam angin saja sebab Jala melompat menghindari sapuan kaki kanan Indra.Suara hantaman yang beradu kembali terdengar saat Jala mengayunkan kakinya mengincar kepala Indra tapi berhasil ditangkis oleh kedua telapak tangan Indra. Jala kembali menapak di tanah sedangkan Indra juga bisa berd
Pertarungan terus berjalan seimbang sejauh ini. Semua pukulan jarak jauh yang dilakukan Jala secara beruntun masih bisa ditahan oleh Indra tanpa kesulitan sama sekali. Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu tidak ada yang bersuara sedikitpun. Mereka begitu takjub dengan ketangkasan kedua pendekar yang sedang berduel. Yang terdengar hanyalah suara benturan benturan keras saat serangan mereka beradu di udara.Indra mencoba bergerak mendekati Jala yang terus menyerangnya dari kejauhan, dia sadar kalau tidak mungkin bisa menumbangkan Jala jika beradu serangan jarak jauh seperti itu. Jala sendiri seakan sadar dengan pergerakan dan niatan Indra, dia perlahan mulai bergerak ke samping seakan tetap ingin menjaga jarak dari Indra.“Cih. Kelihatannya dia juga menyadarinya,” gerutu Indra di dalam benaknya, tapi itu memang wajar sebab jika seorang guru dari perguruan tidak bisa menyadari pergerakan musuhnya maka dia memang tidak pantas untuk menjadi s
“Aku terkesan dengan kemampuanmu anak muda, tapi dalam posisi seperti itu kau tidak mungkin bisa menangkis seranganku,” puji Jala sambil mengayunkan kaki kanannya mengincar leher Indra, sementara itu tangan kirinya kembali dia hentakkan ke bawah. Tangan kanan Indra masih dicengkram oleh tangan kiri Jala sementara tangan kiri Indra masih bertumpu ke tanah untuk menahan kepalanya agar tidak membentur tanah.‘Beukh’Suara benturan keras terdengar jelas, ternyata Indra memilih menjatuhkan tubuhnya ke tanah sampai kepalanya menghantam tanah. Kaki kanan Jala kini dicengkram erat oleh tangan kiri Indra. Sontak Jala sangat terkejut sebab dia tidak menyangka Indra akan bertindak seperti itu. Tak hanya sampai di sana saja sebab Indra langsung menggerakan tangan kanannya yang saling mencengkram dengan tangan kiri Jala ke bawah punggungnya.Sementara itu tangan kanannya menarik kaki kanan Jala ke atas dadanya, kedua kaki Indra yang
“Menurutmu bagaimana kekuatan pendekar dari kerajaan ini setelah bertarung dengan Jala?” tanya Juhama setelah cukup lama mereka berjalan.“Hmm.. aku belum bisa menyimpulkannya, terlebih pertarungan tadi tidak menggunakan ilmu kanuragan sedikitpun,” jawab Indra.“Eh? Bukankah pukulan jarak jauh tadi merupakan ilmu kanuragan?” tanya Juhama.“Hihi.. bukan itumah, gampangnya itu cuma menggunakan tenaga dalam saja,” jelas Indra singkat.“Memangnya kau belum pernah bertarung dengan murid Perguruan Megasagara?” tanya Indra. Sebab seharusnya jika Juhama pernah berhadapan dengan murid Perguruan Megasagara dia mungkin tahu tentang gerakan pancalima.“Pendekar dari Megasagara ya. Rasanya belum pernah, terlebih tempat perguruan kami sama saja dengan dari ujung selatan Panjalu ke ujung utara. Jadi jarang-jarang ada murid perguruan kami yang bertemu dengan pendekar da
“Yah mau bagaimana lagi. Padahal kerajaan kita bukanlah kerajaan yang miskin, para petingginya juga kebanyakan masih peduli kepada kondisi rakyatnya. Tapi tetap saja ada orang-orang yang serakah dan menghancurkan segalanya demi kepentingan pribadi saja. Kebanyakan sih biasanya orang-orang kaya yang begitu, kalau orang kecil sih mana berani melakukan hal itu. toh mereka juga tahu kalau hutan sangat bermanfaat bagi mereka sendiri,” timpal Juhama yang sependapat dengan Indra.“Nah itu. Padahal hanya ada beberapa orang kaya serakah saja di kerajaan kita tapi tetap saja menyusahkan. Coba bayangkan kalau semua orang kaya sama petinggi kerajaan di kerajaan kita serakah semua, bisa-bisa dijual kerajaan kita ke negara lain. Hihi.. kita warga aslinya makin sengsara nanti, tanah-tanah direbut sampe terpaksa ngontrak di tanah air sendiri,” tutur Indra sembari tertawa kecil.“Hahaha.. kau benar. Nanti nasibnya bisa jadi kaya Kerajaan Girila
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari