Karta tampak menyeringai senang kepada dua pendekar yang sudah pucat pasi tersebut, tapi dengan tubuh gemetar mereka berdua langsung berlari keluar lapangan sambil mengatakan bahwa mereka menyerah. Kini tinggal Indra dan satu pendekar lainnya yang masih berdiri menatap Karta.
“Kau tidak mundur anak muda?” tanya pendekar yang berdiri tak jauh dari Indra.
“Murid Dharmabuana tidak akan pernah mundur dari arena turnamen! Terlebih jika melawan manusia keji sepertinya,” tegas Indra tanpa ragu.
“Mengejutkan. Jika kita selamat melawannya, suatu saat nanti aku ingin main ke perguruanmu,” kata pendekar di samping Indra sambil mulai memasang kuda-kuda.
“Ya,” jawab Indra pendek sambil mulai memasang kuda-kuda dasar perguruan Dharmabuana.
“Si tengil itu, apa dia tidak sadar betapa berbahayanya orang itu?” gerutu Rima yang begitu kesa
Terdengar suara dentuman hebat saat ajian tapak kobra menghantam ajian brajamusti yang digunakan oleh Indra, debu-debu dan bongkahan tanah langsung berhamburan di sekeliling Indra dan Karta. Namun karena Indra tadi bergerak sambil melempar pendekar lain membuat posisi kuda-kudanya goyah, mau tidak mau saat benturan ilmu kanuragan terjadi tubuh Indra ikut oleh karenanya.Hal itu dimanfaatkan Karta dengan baik, tanpa membuang waktu dia langsung mengarahkan tendangannya sekuat tenaga disertai tenaga dalam mengarah ke dada Indra. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan itu Indra berusaha untuk menghindar tapi gagal.‘Bbeeeuukkhh’“Heukh..” Indra memuntahkan darah dari mulutnya saat tendangan Karta dengan telak menghantam dadanya. Tubuh Indra terpental ke belakang dan jatuh menghantam permukaan tanah, Indra terlihat meringis kesakitan sambil memegangi dadanya. Tapi Karta seakan tanpa ada belas kasihan l
Senopati Saktiwaja terlihat tidak berkedip melihat setiap pergerakan Indra, dia sangat yakin kalau dia sudah pernah melihat pergerakan seperti itu selama ini tapi entah dimana. Hal itu membuat Adipati Janggala yang ada di dekatnya juga terlihat heran melihat sikap Senopati.“Ada apa tuan?” tanya Adipati Janggala.“Rasanya aku sudah pernah melihat gerakan silat pemuda itu sebelumnya,” jawab Senopati tanpa mengalihkan pandangannya.“Tapi saya baru kali ini mendengar namanya, kalau tidak salah dia namanya Indra Purwasena,” tukas Adipati Janggala.“Aku juga baru kali ini mendengarnya, bahkan wajahnya sangat asing bagiku. Tapi gerakan silat itu entah mengapa rasanya sudah pernah aku lihat sebelumnya,” ujar Saktiwaja. Mendengar hal itu Janggala kembali menatap Indra yang sedang jual beli serangan dengan Karta.Sementara itu pendekar yang
“Ajian ngalajiwa!” gumam Karta sambil melesat dari arah belakang Indra.Tapi Indra dengan konsentrasi penuh langsung memutar kaki kanannya setengah lingkaran ke belakang, kini tubuhnya tepat berhadapan dengan tubuh Karta yang tidak terlihat. Indra membuka matanya dan menarik tangan kanannya ke belakang setelah itu dia langsung melesat ke depan dengan menghantamkan ajian bayubaraja.Karta tampak sangat terkejut karena dia tidak mengira Indra akan menyadari posisinya yang sedang menggunakan ajian malih warni, Karta saat itu juga langsung menghantamkan ilmu kanuragan miliknya membentur ajian yang digunakan Indra. Saat tangannya bertemu dengan tangan Indra tubuhnya terasa begitu panas hingga wujudnya terlihat kembali. Perlahan sesuatu yang panas seakan naik ke tenggorokannya.Rima yang tadi terpental ke belakang kembali merangsek ke depan, dia sangat ingin melihat apa yang terjadi sebab getaran tanah yang dia ras
“Ikat pinggang itu?” gumam Senopati Saktiwaja dengan mata terbelalak melihat ikat pinggang hitam bergambar tengkorak yang baru Indra kenakan. Cangkir bambu yang dia pegang di tangan kanannya tiba-tiba hancur berkeping-keping membuat air teh di dalamnya tumpah, Adipati Janggala yang melihat hal itu langsung terkejut.“Ada apa tuan senopati?” tanya Adipati dengan raut wajah khawatir.“Tolong panggilkan salah satu pengawalku kemari, Janggala,” perintah Saktiwaja yang terus menatap tajam Indra di kejauhan.“Baik Senopati,” jawab Adipati sambil bangkit hendak menunaikan perintah Senopati meski dia tidak tahu untuk apa Saktiwaja meminta pengawalnya ke sana.“Kisanak, silahkan keluar. Pertandingan selanjutnya akan segera dimulai,” ucap pria di tengah lapangan saat melihat Indra masih mondar mandir.“Oh baik-baik,” j
Rima yang penasaran dengan kata-kata Ki Bisara langsung melesat dengan melayangkan tendangan kaki kanannya mengincar leher, tapi dengan sigap Ki Bisara menunduk menghindarinya. Tapi Rima langsung menggerakan kaki kanannya ke bawah mengincar tubuh Ki Bisara tapi lagi-lagi Ki Bisara menghindarinya dengan mengelak ke samping. Kelihatannya Ki Bisara memang tahu betul seperti apa Rima akan bergerak, sebab serangan tak terduga seperti itupun tetap bisa dihindari olehnya.‘Bbeerrrgghh’Hujaman kaki Rima hanya menghantam permukaan arena saja. Rima tidak berhenti lama karena dia kembali menyerang Ki Bisara dengan pukulan tangan kirinya, lagi-lagi Ki Bisara berhasil menangkis pukulannya hingga terdengar suara benturan keras. Rima langsung melompat ke udara dan berjungkir balik dengan posisi kepala di bawah, secara beruntun dia melayangkan pukulannya mengincar Ki Bisara.‘Ddaakhh’‘Dddsssshh&rsq
“Awas kau keparat! Kalau kita bertarung nanti akan kuhabisi kau!” bentak Ki Bisara sambil menunjuk Indra. Tapi Indra malah menjulurkan lidahnya meledek, tentu saja para penonton di dekatnya ikut tertawa melihat tingkah Indra.“Bukankah semua itu tidak masalah jika kau memang pendekar sejati? Sebab semakin kuat dan tersohor seorang pendekar maka kemampuan dan gaya bertarungnya juga akan semakin banyak yang tahu. Seharusnya jika kau memang pendekar yang hebat hal itu malah akan membanggakan, terkecuali serangan rahasiamu itu memang satu-satunya serangan andalanmu,” ucap Rima sembari tersenyum seakan mengejek Ki Bisara.“Aku hanya tidak suka ada orang yang mencampuri pertarungan orang lain. Bukan berarti setelah kau tahu serangan rahasiaku itu kau mendadak bisa menang menghadapiku,” kata Ki Bisara sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.Rima terlihat langsung waspada. Ki
“Aku menyerah!” teriak Ki Bisara sambil mengangkat tangannya.“He?” ujar Indra kaget. Tampaknya bukan hanya Indra yang kaget sebab hampir semua orang di tempat itu juga ikut terkejut mendengar Ki Bisara menyerah.Rima yang hendak menggunakan ilmu kanuragannya langsung berhenti berlari dan menatap tajam Ki Bisara. Tapi Rima kembali bergerak hendak menggunakan ajian rawageni miliknya menghantam tubuh Ki Bisara, tapi pria yang bertugas memanggil nama-nama pendekar langsung menghadangnya.“Orang yang menyerah sudah dianggap kalah, tidak ada alasan bagi nyai untuk terus melanjutkan pertarungannya. Nyai sudah menang,” ucap pria itu sambil menatap tajam Rima.“Dengar sendiri nyai, kamu sudah menang dan saya yang kalah. Hehehe..” timpal Ki Bisara sambil terkekeh.“Dasar tua bangka licik! Awas kalau kau berani muncul di hadapanku lagi!
“Hahaha..” Senopati malah tertawa lebar, semua pengawal Senopati juga ikut tertawa mendengarnya. Hal itu tentunya membuat Indra bingung.“Hihihi..” Indra memilih ikut tertawa karena dia pikir Senopati memang tertawa gara-gara paham bahwa telah salah paham.“Sudah aku bilang tingkah polosmu itu tidak akan mempengaruhiku. Jika bukan milikmu kenapa kau bisa memilikinya? Asal kau tahu bahwa kami juga tahu bahwa mendapatkan ikat pinggang seperti itu sangatlah sulit, kami juga tahu bahwa selain terdiri dari orang-orang kuat, kelompok kalian juga memiliki orang yang pintar. Karena itu aku tidak akan tertipu oleh kalian,” kata Senopati.“Eh?” gumam Indra, padahal dia pikir kesalahpahaman itu sudah berakhir.“Tapi ini beneran loh Tuan Senopati. Saya dapat ikat pinggang ini dari mayat orang yang menyerang perguruan saya, sekarang saya mau balas dendam,&rdqu
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari