“Enak banget jadi murid perguruan besar. Akumah apa atuh cuma kerikil yang kebetulan numpang hidup,” gerutu Indra sembari berjalan menuju pohon tempatnya beristirahat tadi.
Diatas dahan pohon Indra kembali merebahkan tubuhnya, terbayang saat ini Rima sedang dijamu dengan makanan-makanan enak oleh warga desa. Indra hanya bisa menghela nafas dalam sembari mendengarkan suara-suara nyamuk di dekat telinganya, beberapa kali tangan Indra bergerak memukul nyamuk yang menggigit tubuhnya.
“Kukuruyuuk..” samar-samar Indra mendengar suara ayam berkokok di kejauhan.
“Hoam..” Indra menguap dan menggeliat di atas dahan pohon, suasana masih gelap karena matahari belum muncul ke permukaan. Fajar yang menghiasi langit sebelah timur sudah terlihat, Indra langsung turun dari dahan pohon untuk mencari pancuran air dan membasuh wajahnya. Tak jauh dari penginapan tempat Rima berada ada sebuah kolam ikan den
Malam ini Indra tidak perlu susah-susah tidur di atas pohon lagi karena dia menginap di penginapan yang ada di Desa Rahong. Ternyata banyak pendekar lainnya yang juga menginap di sana, mendadak banyak warga desa yang membuka penginapan dadakan di dalam rumahnya setelah melihat banyaknya pendekar yang datang ke desa.Pagi harinya suasana di Desa Rahong semakin ramai saja banyak bendera-bendera kerajaan yang dipasang di tepi jalanan, pernak pernik hiasan juga ikut menambah kemeriahan. Arena turnamen beladiri sendiri sudah disiapkan di Hutan Rahong yang ada di sebelah utara desa, di sana sebuah panggung besar nan megah yang terbuat dari bambu dan beralaskan papan sudah disiapkan.Di depan panggung tersebut sudah ada sebuah lapangan besar yang biasanya menjadi tempat para penduduk menggembala sapi dan kambing, lapangan itulah yang akan menjadi arena pertarungan para pendekar. Meskipun turnamen belum dimulai tapi sudah banyak pedagang yang hilir
“Aku tidak pamer, hanya saja aku orang yang pemalu,” bisik pria bermasker yang tiba-tiba sudah ada di samping kiri pria yang menghunuskan pedangnya. Terlihat jelas bahwa pria yang menghunuskan pedang benar-benar terkejut karena tidak bisa melihat pergerakan pria bermasker.“Hihihi.. kalian seperti anak-anak saja,” kata Indra sambil tertawa, tentu saja kedua pendekar itu langsung menatap Indra dengan tajam.“Sebaiknya kalian simpan kekuatan kalian untuk turnamen nanti, hanya anak-anak saja yang tidak sabaran untuk berkelahi sebelum turnamen dimulai,” sambung Indra sambil tersenyum.“Apa yang kau katakan, kau bahkan tidak menyadari kedatanganku tadi,” ucap pria yang menghunuskan pedang.“Hihihi.. sok tahu,” tukas Indra pura-pura.“Kalau memang kau menyadari keberadaanku kenapa tadi kau hampir menginjak diriku?”
Hari itu suasana di Desa Rahong semakin meriah saja, Senopati Saktiwaja dan Adipati Janggala beserta rombongannya dijamu di kediaman kepala desa. Panitia turnamen beladiri juga semakin sibuk untuk menyiapkan persiapan turnamen yang akan dilaksanakan besok pagi di Hutan Rahong.Malam harinya Desa Rahong semakin ramai karena ada pertunjukan tari jaipong di depan kediaman kepala desa, semua itu dilakukan dalam rangka hiburan sekaligus acara penyambutan bagi Senopati Saktiwaja dan Adipati Janggala. Banyak pendekar yang ikut menonton acara tersebut, beberapa kali juga terjadi keributan diantara pendekar hingga para pengawal Senopati harus turun tangan untuk melerai mereka.Pagi harinya turnamen beladiri yang ditunggu-tunggu akhirnya sudah siap digelar, panggung yang ada di pinggir lapangan sudah dihias dengan indah. Adipati Janggala beserta keluarga, Senopati Saktiwaja serta keluarga kepala desa duduk dengan nyaman di atas panggung, sementara par
“Jangan sombong kau pendekar!” bentak salah satu pendekar di arena, dengan cepat dia langsung melesat maju melayangkan pukulannya mengincar leher Windu.“Aku tidak sombong, tapi aku rasa menghadapi kalian saja masih mampu aku lakukan sendirian,” kata Windu yang langsung mengelak ke samping dan menghantam tangan si pendekar dengan kakinya sampai lawannya terlihat kesakitan.‘Ggbuukkh’Tidak hanya sampai di situ saja karena Windu juga langsung melompat ke udara seraya menghantamkan kaki kirinya ke bahu si pendekar yang menyerangnya, suara hantaman terdengar begitu keras. Pergerakan Windu juga berlangsung begitu cepat sampai lawannya tidak bisa mengelak, tubuh si pendekar langsung oleng hendak ambruk.‘Beukh’‘Beukh’Dua pukulan beruntun menghantam tubuh si pendekar, tampaknya Windu tidak membiarkan musuhnya begitu s
Melihat ada lagi yang tumbang membuat para pendekar yang masih ada di lapangan semakin waspada. Mereka mulai berkumpul saling memunggungi satu sama lainnya, namun tiba-tiba saja hempasan angin terasa masuk ke ruang di belakang mereka.‘Bbeukhh’‘Ggdaaakk’Windu langsung menghantamkan pukulannya mengenai dada seorang pendekar sampai tubuhnya tersungkur ke depan, Windu juga menggunakan kaki kanannya menghantam lutut pendekar lainnya dari belakang. Merasa musuhnya sudah ada di belakang para pendekar itu langsung berbalik. Tapi dalam waktu yang singkat Windu melayangkan beberapa pukulan secara beruntun.‘Dddaakh’‘Beeukkh’‘Ggddaakkh’Terdengar benturan benturan keras saat pukulan Windu berhasil mengenail lawannya dengan telak, tubuh mereka semua langsung terpental saat terkena pukulan beruntun Windu yang dilapisi oleh tenag
“Jangan segan-segan, karena aku juga tidak akan segan untuk menghabisi kalian semua,” tukas Salaksa sambil menghunuskan pedangnya.“Apa jadinya jika kakek melihat hal ini? Apa memang semua murid perguruan besar seperti itu?” batin Indra.Indra merasa tindakan Salaksa dan Windu bertentangan dengan apa yang Braja Ekalawya ajarkan kepadanya selama ini, yah meskipun kelakuan Indra sendiri juga bertentangan dengan ajaran-ajaran gurunya. Tapi setidaknya dia merasa membunuh seseorang tanpa alasan yang jelas dan setimpal adalah sebuah kejahatan.“Apa jangan-jangan Rima juga akan bertindak seperti itu?” pikir Indra sambil perlahan menggerakan kepalanya ke samping untuk melihat Rima. Namun lagi-lagi Rima ternyata sedang menatapnya dengan tatapan mengerikan bagaikan singa yang ingin menerkam mangsanya. Indra secepat kilat mengalihkan kembali perhatiannya sambil pura-pura bersiul.
Dua pendekar yang memakai tangan kosong langsung menyongsong kedatangan Salaksa, salah satu diantara mereka langsung memalangkan kakinya hendak menjegal laju tubuh Salaksa. Tapi pendekar tersebut langsung menjerit saat kakinya menghantam tubuh Salaksa yang melesat, terlihat kakinya langsung bengkak karena tulang lututnya bergeser.Salaksa menebaskan punggung pedangnya ke pinggang pendekar itu, seketika tubuh pendekar itu terpental dan berguling-guling di tanah pinggangnya tampak menghitam ibarat terkena luka bakar. Satu pendekar yang tadi ikut maju sudah pasrah, Salaksa mengayunkan pedangnya mengincar leher pendekar tersebut. Tapi pendekar yang membawa golok melesat dan menahan tebasan Salaksa.‘Tttrraangg’Terdengar dentingan senjata berbunyi, tapi golok yang menangkis pedang Salaksa langsung terpotong menjadi dua, tapi karena hal itu pergerakan pedang Salaksa menjadi agak melambat sampai pendekar yang tadi
“Hahaha… Apa kau sudah gila pendekar?” tanya seorang pendekar sambil menertawakan tantangan dari Indra yang kini berdiri di tengah lapangan.“Siapa sebenarnya dirimu hah? Berani-beraninya kau merendahkanku!” bentak pendekar yang seharusnya menjadi lawan Indra.“Aku Indra Purwasena dari perguruan Dharmabuana!” tegas Indra dengan lantang.“Hahaha.. aku belum pernah mendengarnya.”“Perguruan dari mana itu? Asing sekali di telingaku.”“Telingaku malah gatal mendengarnya,” terdengar para pendekar di lapangan malah mengejek perguruan Indra.“Heh kalau mau mengejek perguruanku, kalahkan dulu diriku!” bentak Indra.“Aku tidak peduli darimana kalian berasal, pada akhirnya kalian akan tetap mati,” kata pria berbaju hitam bergambar kepala kobra. So
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari