Dengan telak pukulan tangan kanan Indra menghantam dada Drajat, di saat yang bersamaan tangan kiri Indra juga menarik sikut tangan kanan Drajat sekuat tenaganya hingga tubuhnya membentur tanah lebih dahulu dari Indra. Tubuh Indra akhirnya ikut ambruk ke tanah dengan sikut kirinya menahan ke tanah, tangan kirinya yang masih mencengkram tangan kanan Drajat segera ditarik, sementara sikut kirinya yang menahan tubuhnya tadi langsung dihentakan ke tanah hingga tubuhnya bisa langsung bangkit meski menggunakan lututnya.
Drajat yang terkena pukulan telak Indra di dadanya tidak bisa berbuat banyak, selain rasa sakit dari pukulan dia juga menghantam tanah lebih keras daripada Indra sebab tadi tubuhnya setengah dibanting ke tanah. Indra yang bangkit dengan bertumpu kepada lututnya langsung menggerakan tangan kanannya ke leher Drajat dan menekannya sampai Drajat kesusahan bernafas.“Latih tanding telah berakhir!” ucap Mahaguru Larasati dengan suara lantang“Apakah tadi Kakak sudah menduga kalau Indra akan menang?” tanya Ki Sukmara yang sedang berbincang dengan Mahaguru Larasati di kediamannya.“Jujur saja aku tidak menyangka jika Drajat akan kalah. Selama ini dia adalah yang paling unggul jika bertarung tangan kosong. Tapi saat Indra tadi berniat mengecoh Drajat aku sudah yakin kalau Drajat akan kalah,” jawab Mahaguru Larasati seraya meminum teh di cangkir bambu miliknya.“Eh? Jadi kakak sudah sadar kalau Indra melepaskan totokannya?” tanya Ki Sukmara dengan wajah kaget. Sebenarnya dia tidak menyadari kalau Indra tadi sudah melepaskan totokan di tangan kanannya.“Ya. Dia dengan cerdik membuat isyarat tantangan kepada Drajat agar tidak memperhatikan tangan kanannya. Dia juga dengan cerdik tidak menggunakan tangan kanannya sampai menemukan waktu yang tepat. Meski begitu ada hal lain yang membuat Drajat kalah dalam latih tanding tadi,” jawab Mahaguru L
Esok harinya setelah sarapan, Indra dipanggil untuk menghadap Mahaguru Larasati di kediamannya. Sesampainya Indra di sana terlihat sudah ada Drajat, Citrasari, Ki Sukmara dan Mahaguru Larasati sendiri. Melihat wajah mereka yang serius seperti itu Indra bisa mengira kalau sudah ada kabar dari pertemuan darurat yang diadakan oleh para petinggi Kerajaan Panjalu.“Duduklah Indra,” ucap Mahaguru Larasati.“Terima kasih Mahaguru,” tutur Indra sembari duduk di dekat Drajat dan Ki sukmara.“Tadi malam aku menerima kabar dari pertemuan darurat yang diadakan oleh para petinggi kerajaan. Intinya, peperangan sudah tidak bisa terhindarkan lagi. Kita tidak mungkin membicarakannya secara baik-baik lagi kepada para pendekar aliran hitam tersebut. Kita juga tidak mungkin menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi karena mata-mata yang dikirimkan kerajaan juga tidak bisa menembusnya,” jelas Mahaguru Larasati.&ldqu
“Aku tidak tahu apa yang akan Maharaja tugaskan. Tapi aku yakin tugasku nantinya akan tetap ada hubungannya dengan Wirarasa,” gumam Indra seraya mulai memasang kuda-kuda lalu melakukan gerakan-gerakan dasar silat yang diketahuinya. Pikirannya terus melayang membayangkan hal yang mungkin bisa terjadi di medan perang nanti.“Kenapa semua ini harus berakhir di medan perang? Padahal apapun hasilnya, peperangan hanya akan menimbulkan kerusakan, kesedihan dan kerugian. Permusuhan yang diharapkan musnah hanyalah harapan yang tidak akan pernah terjamah, nyatanya dendam akan tetap menyala, permusuhan akan tetap ada, meski kedamaian sudah merata di dunia,” pikir Indra seraya gerakan silatnya mulai meningkat ke tahap berikutnya.“Apa yang sedang kau pikirkan Indra? Gerakan silatmu terlihat hampa seakan tidak bernyawa,” tanya Ki Sukmara yang tanpa disadari oleh Indra sudah ada di belakangnya.“Eh Aki. Saya hanya se
“Setahuku, Perguruan Margabuana memanglah sebuah perguruan yang paling banyak memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi. Sebab Mahaguru mereka yang bernama Purbakala sangat berambisi untuk menguasai seluruh ilmu kanuragan yang ada di dunia ini. Jika dia tidak bisa mempelajarinya maka dia akan menirunya, jika tidak bisa menirunya maka dia akan menciptakan ilmu kanuragan yang sangat mirip dengan incarannya,” tutur Ki Sukmara.“Hingga saat ini ada empat ilmu kanuragan tingkat tinggi yang aku tahu berasal dari Margabuana. Pertama adalah ajian ekabaya, sebuah ajian yang penggunaannya dihantamkan ke permukaan tanah. Kedua ajian dwibaya yang penggunaannya dihantamkan ke udara melalu kedua tangan, ketiga ajian tribaya yakni ajian yang mampu membakar musuhnya sampai jadi abu, yang terakhir ajian caturbaya yaitu ajian yang mampu menghancurkan tubuh musuhnya sampai berkeping-keping,” sambung Ki Sukmara.“Begitu ya. Saya pernah berhadapan den
“Ada apa Indra?” tanya Ki Sukmara saat melihat Indra merenung dan menghela nafas dalam.“Aku hanya ingat masa laluku Ki,” jawab Indra sambil tersenyum.“Oh. Kalau tidak salah kau juga mengatakan kalau Pasir Gede itu di Kadipaten Mandala ya?” tukas Ki Sukmara.“Iya Ki. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat,” jawab Indra seraya menghela nafas dalam lagi.“Yah itulah namanya hidup. Di saat kau seumur denganku nanti kau malah akan merasakan waktu yang berlalu lebih cepat dari sekarang, kau akan sadar ketika orang-orang yang pernah bersamamu meninggalkanmu satu persatu. Aku sendiri merasa kalau kemarin-kemarin aku masih gagah perkasa, mengelana ke seluruh penjuru kerajaan. Rasanya baru kemarin aku bermain bersama kakakku,” timpal Ki Sukmara sambil terus berjalan bersama Indra.Sore harinya mereka akhirnya sampai di kediaman Adipati Nanggala yang ada di perbatasan
“Tanah air saya,” jawab Indra dengan cepat.“Aku akan mengatakan suatu hal yang mungkin tidak kau ketahui Indra. Sebenarnya Wirarasa menawarkan sesuatu agar perang ini tidak terjadi, aku tidak tahu dari mana dia mengetahui tentang dirimu. Tapi dia menawarkan jika aku mengirimkan kepalamu kepadanya maka perang ini tidak akan terjadi dan dia akan pergi meninggalkan Panjalu,” tutur Kalya Cakra. Sontak saja Indra terperanjat kaget. Bukan hanya Indra tapi petinggi kerajaan yang ada di sana juga kaget, sepertinya mereka baru mendengar tawaran tersebut.“Kelihatannya dia tahu kalau Maung Lara bukanlah ancaman lagi, kelihatannya dia juga tahu kalau kau adalah satu-satunya ancaman bagi dirinya saat ini. Karena itu aku akan bertanya kepadamu, jika aku perintahkan kau untuk mati demi mencegah perang ini apakah kau bersedia?” tanya Kalya Cakra. Indra hanya menghela nafas dalam lalu tersenyum.“Saya akan menolaknya,
“Kami ingin kau tidak ikut turun langsung ke medan perang, tapi mencari celah untuk menghabisi Wirarasa yang ada di Perguruan Manahsulaya,” timpal Saktiwaja.“Saya siap. Tapi menyelinap di medan perang untuk sampai ke markas musuh adalah hal yang cukup sulit,” ujar Indra. Jujur saja jika harus menyelinap di tengah-tengah medan perang dan pergi ke markas musuh akan sangat menyulitkan, terlebih ajian halimunan yang dikuasainya tidak sehebat Windu.“Kau tidak perlu menyelinap di medan perang. Sebab kau akan menyelinap dari belakang Perguruan Manahsulaya dan menghabisi Wirarasa tanpa harus turun ke medan perang,” jawab Saktiwaja.“Jadi saya harus berjalan memutari Gunung Manahsulaya dan menyerang mereka dari arah belakang?” tanya Indra memastikan tebakannya.“Ya, kau akan berangkat lebih dulu dari yang lain sebelum perang dimulai. Meski begitu aku yakin Wirarasa juga tidak akan leng
Indra terus berjalan keluar kediaman Adipati Nanggala. Mira dan Rima masih terus cekcok tak berhenti. Sementara itu Astriani dan Elin hanya membiarkan mereka berdua tanpa mau terlibat. Sesampainya di luar Indra langsung bersandar ke tiang rumah sambil menatap kedua gadis yang sedang perang dingin tersebut, perlahan Indra menghela nafas dalam.“Jadi sebenarnya bagaimana ceritnya kalian bisa bersama seperti ini?” tanya Indra. Merasa tidak ada yang kunjung menjawab, Elin terlihat menghela nafas panjang.“Beberapa hari yang lalu saat perwakilan dari semua perguruan besar berkumpul dengan para Adipati dan petinggi kerajaan lainnya Maharaja mengatakan membutuhkan empat orang pendekar untuk menemani Kang Indra dan Ki Sukmara dalam menjalankan tugas khusus. Awalnya Mahaguru Maung Lodra meminta saya dan Kang Bara untuk ikut, lalu Guru Kawung Cala mengajukan Kang Purba dan Astriani untuk ikut juga. tapi besoknya saat berkumpul ternyata Kang Purba da
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari