Setelah suara dentingan senjata yang berbunyi terdengar semakin dekat, Indra segera memperlahan langkah kakinya seakan tidak mau terdengar oleh siapapun. Indra berjalan dari balik satu pohon ke pohon lainnya mendekati arah suara dentingan senjata berasal. Samar-samar dari balik pohon dan semak belukar, Indra bisa melihat dua orang pemuda tengah bertarung menggunakan pedang.Satu orang pemuda terlihat lebih dewasa sedangkan yang satunya lagi tampak lebih muda sedikit, Indra segera menyipitkan kedua matanya menatap kedua pendekar yang sedang bertarung tersebut. Seketika itu juga Indra terbelalak kaget saat melihat kedua pemuda tersebut mirip seseorang yang dia kenali.“Tidak mungkin, mereka mirip dengan Eka Loka,” gumam Indra kaget. Dia sama sekali tidak habis pikir bagaimana bisa dia bertemu dengan dua orang sekaligus yang mirip dengan Eka Loka di kerajaan ini.Sementara itu kedua pendekar yang masih saling berhadapan terus melakukan jual beli serangan. Dentingan demi dentingan senjata
‘Celaka!” gumam Indra saat melihat tebasan si pendekar tersebut melesat bersama riuh angin yang bergemuruh kencang ke arahnya. Tekanan udara yang dia tebas kini membentuk tebasan angin yang begitu lebar.‘Tap’‘Bhoomrrr’‘Brugh’Suara dentuman keras terdengar saat tebasan angin dari kejauhan yang dilakukan pendekar muda berhasil menghantam pohon tempat Indra bersembunyi, saat itu juga pohon besar yang terkena serangan itu seketika roboh menghantam tanah sampai menimbulkan suara benturan keras. Sementara itu Indra berhasil menghindari selamat karena keburu menghindar sesaat sebelum serangan yang datang juga mengenainya.“Tri kau terlalu buru-buru! Bagaimana kalau orang yang datang itu hanya warga biasa yang sedang mencari kayu bakar!” bentak pendekar yang lebih tua seakan tidak setuju dengan tindakan adiknya.“Kau terlalu berisik kak, lihatlah sendiri dia itu bukan warga biasa. Dia bahkan bisa menghindari seranganku!” balas si adik yang tampaknya juga tidak senang dinasehati kakaknya.
“Lalu apa yang sedang kalian lakukan di sini?” tanya Indra.“Aku sedang melatih adik ku. Jika di sekitar paguron langsung kami berlatih maka akan banyak murid lain yang malah menontonnya, di tempat yang jauh seperti ini kami bisa lebih bebas berlatih tanpa ada yang menonton,” jawab Dwi Loka.“Oh begitu ya,” ujar Indra.“Sebaiknya kita juga harus segera kembali kak, jika lebih lama di sini bisa-bisa kita kemalaman,” tukas Tri Loka seraya menatap Gunung Mekarbuana di kejauhan.“Ya, sebaiknya kisanak juga ikut bersama kami saja agar ada teman di perjalanan,” kata Dwi Loka sembari berbalik menghadap ke arah Gunung Mekarbuana. Indra hanya mengangguk saja sambil mulai melangkahkan kakinya mengikuti langkah Dwi Loka dan Tri Loka.Mereka bertiga segera berjalan meninggalkan hutan tempat mereka bertemu. Langkah mereka tertuju ke arah Gunung Mekarbuana. Sepanjang perjalanan mereka terus berbincang banyak hal, terutama tentang pertemuan Indra dengan Eka Loka di Kerajaan Panjalu. Tanpa terasa mer
“Aku sendiri tidak mengira kalau ternyata saudara-saudaranya berguru di sini, saat itu dia sama sekali tidak menceritakannya kepadaku,” ucap Indra.“Sudah sejak turun temurun keluarga kami memang berguru di sini,” tukas Dwi Loka.“Eh begitu ya,” ujar Indra sembari menganggukan kepalanya tanda mengerti.Tak lama kemudian Chakra kembali menemui mereka bertiga. Dia mengatakan Mahaguru Sekar Arum meminta Indra untuk menghadapnya. Indra hanya bisa mengangguk lalu pergi menuju kediaman Mahaguru Sekar Arum diantar oleh Dwi Loka. Di kediamannya, Mahaguru Sekar Arum sudah menunggu dengan ditemani oleh salah satu putranya yang bernama Danang Arum.“Jadi kau yang namanya Indra Purwasena?” tanya seorang nenek tua berambut putih dengan tatapan tajam. Meskipun kulitnya sudah keriput pertanda umurnya sudah sangat tua, namun tubuhnya tidak terlihat bungkuk sedikitpun. Tatapannya juga masih sangat tajam, di pinggangnya tampak sebilah pedang tersarung dengan rapi.“Iya Mahaguru. Saya Indra Purwasena da
“Ya. Mungkin kau sudah pernah mendengar bahwa paguron kami ini merupakan tempat para Jawara ahli pedang, sebab kami di sini memang dilatih untuk fokus memperdalam ilmu pedang. Tapi setiap muridnya dikelompokan tergantung kecocokan bakat dan kemampuannya dalam aliran pedang tertentu. Misalanya aku saat ini memperdalam ilmu pedang aliran bunga kamboja, sementara Chakra memperdalam ilmu pedang aliran matahari,” sambung Danu.“Eh? Begitu ya, pantas saja saat diperjalanan sore tadi aku melihat beberapa orang yang sedang berlatih menggunakan gerakan yang berbeda satu sama lainnya,” batin Indra.“Nah, ketujuh orang yang paling menguasai aliran pedang tertentu akan dipilih menjadi salah satu dari Tujuh Kembang Mekarbuana. Tentunya pemilihan itu dilakukan dengan latih tanding satu sama lain,” pungkas Danu.“Luar biasa, itu artinya kau adalah pendekar terhebat yang menguasai ilmu pedang aliran bunga kamboja?” puji Indra.“Hehe.. tidak begitu juga, mungkin kalau dibilang diantara murid yang ada
“Jadi mereka berdua peningkatannya adalah yang paling pesat ya,” tukas Danu.“Ya. Pusparani dan Ratna Ayu benar-benar mengerikan, aku tidak habis pikir ada gadis seperti mereka di dunia ini. Semuanya sangatlah sempurna, seakan-akan mereka memang sudah dijadikan manusia pilihan untuk menjadi Jawara tanpa tanding,” jelas Chakra.“Itu sangatlah menarik mengingat dua tahun yang lalu saat mereka datang ke sini, mereka juga sudah memiliki dasar ilmu pedang. Tapi yang lebih mengejutkannya adalah perkembangan mereka selama dua tahun ini. Aku dengar Pusparani sudah sangat menguasai ilmu pedang bunga melati, begitu juga dengan Ratna yang menguasai ilmu pedang bunga kenanga,” timpal Dwi.“He, melihat perkembangan gadis berbakat seperti itu tampaknya menarik juga,” ujar Indra.“Hehe.. kau mungkin malah melihat perkembangannya yang lain Indra,” ledek Danu seraya tertawa. Sontak saja Indra dan yang lainnya juga tertawa.Saat mereka sedang tertawa itulah Danang Arum mendadak datang ke pendopo untuk
“Guru sudah tahu siapa saya?” tanya Indra karena penasaran. Sementara itu delapan murid yang sedang latihan sesekali mengalihkan pandangannya kepada Indra yang masih berdiri di luar pendopo.“Paguron Pancabuana baru saja menerima surat dari Mahaguru Kusuma Galuh beberapa hari yang lalu. Beliau mengatakan akan ada tamu dari Kerajaan Panjalu yang datang kemari, duduklah di sini,” jawab Jaka seraya menepuk lantai kayu pendopo tempatnya duduk.“Terima kasih guru. Tapi izinkan saya duduk di bawah sini saja, sebab kedatangan saya kemari adalah untuk berguru di Perguruan Pancabuana ini,” ucap Indra sembari duduk di tanah.“Tidak ada hubungannya duduk di dekatku dengan niatmu datang kemari, selagi kau masih belum resmi menjadi murid di sini kau tetaplah tamu kami,” sanggah Jaka.“Terima kasih guru, tapi saya tetap akan seperti ini,” jawab Indra menunjukan keteguhannya.Tak lama kemudian Dewa kembali datang dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia bilang Indra diperintahkan untuk menghadap saat it
“Jadi guru sudah mengirim surat kemari ya setelah aku pamit?” pikir Indra. Dia tidak pernah mengira kalau Maung Lara akan sampai mengirimkan surat kepada Perguruan Pancabuana. Tapi mengingat dia telah mengajarkan ajian terlarang yang dia kuasai, sudah sewajarnya dia memang mengirimkan surat untuk meminta maaf secara langsung kepada keluarga Mahaguru dari Pancabuana.“Kau juga perlu tahu Indra, meski kau sudah menguasai ajian terlarang dari Paguron Pancabuana kau belum tentu bisa aku terima sebagai muridku. Sudah sejak dulu paguron ini memiliki aturan sendiri dalam menerima muridnya, siapapun itu termasuk keturunanku sendiri tidak akan bisa segera menjadi murid secara resmi di sini tanpa mengikuti ujian yang sudah ditentukan,” sambung Adiyaksa.“Saya bersedia mengikuti ujian yang ada Mahaguru, sejak awal saya tidak berniat memanfaatkan apa yang sudah saya pelajari ini agar bisa diterima di perguruan ini,” jawab Indra tanpa ragu.“Aku mengerti. Jika kau memang sudah siap mengikutinya ma
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn
Hari berganti hari sejak Indra secara resmi menjadi murid Perguruan Pancabuana. Dia berlatih dengan giat demi menyempurnakan gerakan silat serta ilmu kanuragan miliknya. Tentunya dia tidak terlalu kesulitan untuk menyesuaikan latihan dengan murid-murid lainnya, sebab sejak awal dia sudah memiliki dasarnya yang dia dapatkan dari Maung Lara.Waktu terus berlalu dengan cepat, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa satu tahun lebih sudah Indra berada di Perguruan Pancabuana. Hampir dua tahun sudah dia berada di Kerajaan Galuh meninggalkan Kerajaan Panjalu. Murid Perguruan Pancabuana yang jumlahnya dulu hanya sepuluh orang dengan dirinya kini kedatangan empat murid baru, dua murid laki-laki yang bernama Taryana dan Pala serta dua lainnya adalah murid perempuan.Kini jumlah murid Perguruan Pancabuana berjumlah sebelas orang karena ada tiga orang yang memutuskan keluar dari perguruan. Dua murid laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perguruan dan mengembara di du
“Apakah tidak ada cara lain yang bisa saya lakukan agar Indra bisa menjadi murid di sini?” tanya Jaka dengan raut wajah serius.“Tidak ada. Dalam ujian ini dia harus bergantung kepada dirinya sendiri, entah itu pemikirannya atau keberuntungannya,” tegas Adiyaksa.“Yahuuu! Huaaaahh!” tiba-tiba saja dari kejauhan samar-samar suara Indra berteriak kencang.“Apakah dia sudah mengerti petunjuk yang aku berikan?” batin Jaka sambil berdiri menatap ke arah suara terdengar.Mendengar suara teriakan Indra seperti itu mendadak para murid pria keluar dari pondoknya dengan tatapan bingung, para murid wanita yang berada di pondok yang berbeda juga segera keluar menuju ke halaman perguruan. Adiyaksa sendiri segera berdiri dengan mengerutkan keningnya, baginya suara teriakan Indra tersebut tidak seperti orang yang akan menyerah dalam ujian.Semua orang yang ada di Perguruan Pancabuana kini berdiri menatap ke arah asal suara teriakan Indra. Tak lama kemudian semilir angin pagi mulai berhembus, dari ke
“Mira, apakah jika kau ada di posisiku saat ini kau bisa memikirkan cara lain?” batin Indra seraya membayangkan wajah pujaan hatinya.“Hmmh..” Indra menghela nafas panjang sambil bangkit dan menatap permukaan sungai.Semakin lama Indra berpikir semakin pusing dia dibuatnya, karena itulah Indra memilih untuk segera turun lagi ke sungai guna mencari batu yang dilemparkan Mahaguru Adiyaksa. Berpikir diam saja juga rasanya tidak akan membuahkan hasil. Indra terus menyusuri dasar sungai sesuai tanda yang telah dia buat di tepi sungai menggunakan bambu.Hari demi hari terus berlalu, Indra terus menyisir dasar sungai membolak balik batu yang dia lihat di dalamnya. Tanda yang dia buat di tepi sungai semakin lama semakin jauh dari tempat awal dia membuat tanda. Dia tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih efektif untuk menemukan batu yang dia cari, karena itulah dia terus menggunakan cara yang sejak awal mampu dia pikirkan.Tanpa terasa enam hari sudah berlalu sejak dia pertama kali mencari