"Hormat kami, Pangeran Aksara dan Putri Ratih Kumala!"
Kesemua pendekar bersimpuh di hadapan dua anak raja seolah mereka adalah Dewa yang harus disembah sampai harus bersujud. Asoka berdecih kesal melihat semua kelakuan pendekar di sana.
Ki Sadikin menekan tubuh Asoka menggunakan aura kematian miliknya, tapi seakan tekanan energinya tidak dirasakan Asoka yang masih berdiri menatap mata Pangeran Aksara.
Tahu jika tekanan energinya tidak berhasil, Ki Sadikin mengangkat mukanya dari tanah. “Bodoh! Cepat menunduk di hadapan Gusti Pangeran Aksara dan Kanjeng Putri Ratih Kumala!”
“Apa? Kau menyuruhku sujud pada dua orang ini? Cih … sampai matipun aku tidak sudi bersimpuh pada siapapun kecuali pada guru dan orang tuaku!” Asoka melingkarkan tangannya di dada serta memandang Ki Sadikin dengan tatapan remeh.
“Sudah, sudah…” Pangeran Aksara menenangkan suasana. Dia sebenarnya tidak peduli mau pemuda itu b
“Seperti ini kekuatan empat pendekar terkuat di perguruan ini? Apa harus menyertakan Tomina agar kalian bisa menyentuh tubuhku?” Asoka berujar untuk memancing kemarahan musuh-musuhnya.“Tidak masalah jika kalian sekongkol.” Asoka terus memanas-manasi mereka. “Atau kalian ingin menyerangku dengan Formasi Tujuh Melati Putih? Kalau itu yang kalian mau, cepat lakukan! Naiklah dua anggota regu utama yang tersisa … aku tidak takut menghadapi kalian bertujuh.”Tomina merespon ajakan Asoka sembari memanggil dua temannya naik ke atas arena.“Apa kau yakin ingin mencoba serangan formasi kita? Jangan gegabah karena serangan ini bisa membunuhmu dalam sekejap mata.” Ki Sadikin memperingatkan Asoka, tapi sepertinya pemuda itu tidak peduli dan malah mengupil, lalu membuang kotorannya di tengah arena.“Dasar kudanil jorok! Aku sumpahi hidungmu ditumbuhi jamur sebesar kuping gajah!”“Kenapa ma
“Meskipun kalian bertujuh menggabungkan kekuatan kalian untuk menyamai aura kekuatanku, selamanya kalian tidak akan pernah berhasil. Kekuatanku adalah kekuatan mutlak yang tidak bisa dikalahkan siapapun!”Asoka mengumpulkan energi alamnya dalam satu titik, lalu melesatkan pukulan tanpa menyentuh ketujuh lawannya. Kombinasi Pukulan Tanpo Wujud dan Ajian Sepuh Angin menimbulkan hembusan angin kuat diiringi gelombang energi hingga terasa gempa besar di istana.Ketujuhnya terlempar ke segala penjuru, bahkan saking kuatnya energi yang dipancarkan, Tomina terlempar hingga meretakkan dinding bata merah ruang latihan. Mereka semua terbelalak, termasuk Ki Sadikin dan Putri Ratih Kumala.Sejauh ini baru Asoka yang berhasil meretakkan dinding dengan bata khusus itu.“Kenapa? Kalian terkejut melihat energiku? Akui saja kalian memang lemah. Dasar sampah, pendekar lemah seperti kalian tidak pantas untuk menyombonggan diri!”Mendengar ucap
Semua mata terbelalak kala melihat Asoka berdiri di tengah arena tanpa luka sedikitpun. Posisi awalnya tidak berubah, seolah dia sengaja memasang tubuhnya jadi samsak untuk menguji seberapa dahsyatnya Formasi Tujuh Melati Putih.Namun serangan belum selesai.Ketujuhnya melesat bagai kilat menyambar, mengincar tubuh Asoka dari tujuh sisi berbeda.Merasakan aura hangat di sekitaran tulang ruas jarinya, Asoka bergerak memutar dengan kecepatan Ajian Sepuh Angin sampai-sampai arus kekuatannya menimbulkan gelombang magnet kuat dengan Asoka yang menjadi porosnya.Tomina agaknya ragu dengan serangan ini, tapi kombinasi terkahir formasi miliknya tidak bisa ditunda lagi. Mereka menerabas masuk perisai angin merah milik Asoka berharap perisai itu retak terkena racun melati putih.Krek!Kekhawatiran muncul di benak Asoka kala mendengar suara retakan di sisi atas. Ternyata Tomina melunakkan tulang-tulang kakinya hingga terbentuk pegas yang bisa digunakan
Begitu membuka mata, Asoka menyadari dia ada di tempat lain yang auranya sangat jauh berbeda dengan aura istana. Ada seorang lelaki berjenggot keabu-abuan menggunakan capil sawah duduk di dekat perapian.Pemuda itu bingung, bagaimana bisa dia sampai di tempat menyeramkan seperti ini?Terdengar langkah kaki dari balik semak belukar tinggi hingga muncul lelaki lain yang menggunakan syal hitam bergambarkan melati.“Pangeran Kundalini,” lirih Asoka memanggil lelaki itu.“Bagaimana kau bisa mengenaliku padahal aku menggunakan syal penyamar energi?” Pangeran Kundalini membuka syalnya dan tersenyum singkat, coba menyembunyikan tanda tanya besar di atas kepalanya.“Energi putih milik Pangeran sangat kentara. Aku bisa merasakannya bahkan tanpa melihat wajah Pangeran secara langsung. Sebagai pendekar tanpa aliran, Ki Seno mengajariku bagaimana cara mendeteksi mana pendekar aliran hitam dan mana pendekar aliran putih.”
Asoka menyeringai, tidak menyangka kalau rubah ekor dua di hadapannya memiliki kekuatan api kuning. Menjaga jarak dengan menopang tubuh menggunakan dua kaki dialiri energi, Asoka mundur beberapa tombak sembari membuka perisai energi.“Dia bukan lawan yang lemah, bahkan tubuhnya dua kali lipat lebih besar dari tubuhmu. Apa siluman rubah itu membuatmu takut?” Gatra tiba-tiba melempar pertanyaan.Pemuda itu hanya diam saja tidak menanggapi pertanyaan Gatra, matanya fokus menatap siluman rubah ekor dua yang tidak jelas asal-usulnya.Gatra merubah wujudnya jadi gagak kecil lalu bertengger di pundak kiri Asoka. “Namanya Gandaru, rubah utusan Dewa Api yang bertugas menguji seberapa mahir dirimu menggunakan elemen api.”“Jadi dia bukan siluman penguasa hutan?”“Sebenarnya dia berumur ribuan tahun, tapi tidak lebih tua dariku. Namun yang harus kau waspadai adalah bola-bola api serta ekornya yang bisa digunakan untuk
Terlihat cairan hitam yang terpancar dari sela-sela bulu ekor Gandaru seolah cairan itu beracun dan sangat membahayakan. Asoka bisa merasakan bahaya yang datang, rasanya hampir sama seperti bahaya cairan putih kemerahan dari Formasi Tujuh Melati Putih.Gandaru mengaum hingga memaksa Asoka menggunakan Ajian Pasak Bumi untuk menambah gaya gravitasi di sekitar tempatnya berdiri.“Angkat tanganmu untuk membendung auman rubah itu!” Gatra memberi perintah yang ternyata dia sekongkol dengan Gandaru.Asoka menyilangkan dua lengannya tepat di depan mata. Titik buta mulai terbentuk yang akhirnya dimanfaatkan rubah ekor dua. Gandaru mengibatkan ekornya seperti orang sedang menembak. Cairan hitam mengenai salah satu lengan Asoka.Desisan pelan terdengar seirama dengan auman yang semakin melemah.Lengan kiri Asoka melepuh, dagingnya matang seperti habis dibakar di atas bara api. Beruntung hanya setetes cairan yang mengenai lukanya, jika tidak, pemud
Asoka kembali terbangun di tempat yang berbeda. Dia melihat hamparan tanah luas yang mengarah ke sebuah gunung. Angin sepoi menerbangkan tubuhnya seolah berat badannya tidak lebih ringan dari pada kertas dan kapas.“Di mana aku?” Asoka bertanya pada dirinya sendiri, tapi tidak ada yang menjawab.“Guru … apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa bergerak sendiri? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan kaki dan tanganku?”“Kumohon, siapapun jawab pertanyaanku!”Tidak ada satu pun suara kecuali sepoi angin yang terus menerbangkan tubuh Asoka menuju puncak gunung hingga angin tersebut menurunkannya di tengah jalan setapak yang sebelah kiri dan kanannya merupakan jurang amat dalam.Ada teriakan minta tolong, ada pula rintih kesakitan dari dalam sana. Deburan api mulai berkobar dari dalam jurang, Asoka bisa merasakan panas menyeruak dari dasarnya.Di ujung jalan setapak, Asoka melihat ibundanya tersenyum.
Sabdo Waseso adalah kitab yang diturunkan langsung dari sisi Dewata melalui perantara seorang utusan bernama Bunar Kumbara puluhan ribu tahun yang lalu. Dia dulunya hidup di alam langit, namun karena suatu alasan, utusan tersebut diturunkan ke bumi.Bumi, langit, pepohonan, hewan, dan semua makhluk yang tinggal di bumi menggelengkan kepala. Bahkan gunung-gunung saja tidak sanggup mengampu tanggung jawab besar yang akan diberikan Dewata, namun bangsa manusia sanggup menerimanya.Bodoh!Mereka sungguh bodoh!Terlebih Bunar Kumbara, satu-satunya manusia yang diangkat jadi penduduk langit, namun memilih turun ke bumi demi membawa tanggung jawab yang kelak dibebankan padanya dan semua keturunannya.Penduduk bumi waktu itu hanya segelintir orang, mereka tinggal di dekat pohon raksasa yang seringkali disebut sebagai Pohon Energi, perwujudan Dewata bagi mereka yang mempercayainya.Tugas manusia waktu itu hanya menjaga Pohon Energi, menyiraminya tiap
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As