Limbur Kancana kembali memanggil harimau putih yang kemudian berubah menjadi kubah pelindung. Di saat yang sama, Tarusbawa menggerakkan kedua rantainya untuk menjadi pelindung tambahan. Serangan-serangan dari kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman hitam kembali mendarat hingga kubah pelindung bergetar kuat dan keduanya terdorong hingga ke sisi Jaya Tonggoh.Limbur Kancana dan Tarusbawa mendarat di tanah, mengendalikan napas yang terengah-engah. Kaki mereka masih terjerat oleh kain selendang Nyi Genit.“Selendang ini masih menjerat kuat kaki kita, Raka,” ujar Limbur Kancana. Ia melayangkan serangan kujang beberapa kali ke arah selendang, tetapi kain itu masih tetap menjerat kakinya dengan kuat. “Ada kemungkinan selendang ini berhubungan dengan gulungan yang dipanggil Nyi Genit.”“Kau benar, Limbur Kancana.” Tarusbawa menatap Nyi Genit yang masih duduk bersemedi di mana gulungan terbuka semakin lebar. “Siluman wanita itu sengaja menyerang kita di saat kita sudah
Kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari dan para siluman hitam segera menerjang Limbur Kancana dan Tarusbawa yang terus melesat ke bawah. Serangan-serangan jarak jauh mereka berhasil mendarat hingga membuat Limbur Kancana dan Tarusbawa menggeliat kesakitan. Ketika akan menyerang dalam jarak dekat, delapan batu berukuran besar seketika meluncur dari langit dengan cepat.Wulung, Argaseni, Brajawesi, Bangasera, Kartasura, Wintara dan Nilasari segera menarik diri ke belakang, menangkis serangan batu dengan kekuatan mereka masing-masing hingga batu menjadi potongan-potongan kecil. Di saat yang sama, beberapa siluman hitam berhasil terkena batu, sedang sisanya berhasil menyelamatkan diri.Sebuah batu meluncur ke arah Nyi Genit yang masih dalam keadaan duduk bersila. Seledang-selendangnya tiba-tiba meluncurkan ke atas dan langsung menghancurkan batu tersebut hingga menjadi bebatuan kecil.Bebatuan kecil itu tiba-tiba berputar dan menghujani Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintar
Kelima Jurig Lolong tiba-tiba memekik sangat kencang hingga angin berembus ke sekeliling. Jaya Tonggoh dipenuhi oleh para siluman, para pasukan dari kelima anggota Cakar Setan yang sebelumnya pernah dikalahkan Tarusbawa.“Bagus.” Wulung tertawa ketika melihat kemunculan para siluman dan pasukannya. “Dengan ini, aku bisa mengalahkan Limbur Kancana dan Tarsubawa. Aku juga bisa mengalahkan para pendekar bodoh itu.”Kartasura segera mendekat pada Danuseka yang tengah menahan Wira yang nyaris terjatuh. Ia dengan cepat memindahkan Wira ke pangkuannya. “Wira, apa yang sebenarnya sudah terjadi padamu?”“Raka.” Wira terbatuk beberapa kali. Wajahnya pucat pasi nyaris seperti mayat. “Para pendekar berhasil menemukan keberadaanku dan berusaha menangkapku saat di gua. Di sana, aku bertarung dengan Sekar Sari, dan tiba-tiba saja Pendekar Hitam mengisapku ke dalam kendi. Selama berada di sana, aku berusaha untuk kelua
Kelima Jurig Lolong tiba-tiba memekik dengan sangat kencang hingga banyak pendekar yang terbang dan mendarat di tanah dengan cukup kuat. Angin kencang seketika berembus ke sekeliling. Tiga siluman raksasa bergerak ke arah pertarungan yang masih berlangsung antara para pendekar golongan hitam, antara para siluman bawahan Wintara dan Nilasari dengan para siluman hitam dan siluman dari hutan siluman. Sementara itu, tiga siluman lain bergerak ke arah pertarungan antara kelima anggota Cakar Setan, Wintara dan Nilasari.“Dasar makhluk-makhluk rendahan!” pekik Nyi Genit yang masih berada di atas langit. Ia membungkus kepala Limbur Kancana dan Tarusbawa dengan selendang, lalu menghilangkannya. “Aku yang sudah membunuh Limbur Kancana dan Tarusbawa, tapi mereka yang justru ingin menyerahkan kepala dua pendekar sialan itu pada Gusti Totok Surya. Mereka tidak tahu balas budi! Padahal akulah yang sudah mengobati mereka!”Nyi Genit melemparkan sebuah kendi kecil ke atas. Siluman wanita itu melancar
“Terkutuk!” pekik Wulung hingga pecut apinya semakin berkobar, “kenapa sulit sekali hanya untuk membunuh Tarusbawa dan Limbur Kancana? Padahal kita sudah bekerja sama untuk menghabisi mereka berdua.”Argeseni mengentak tongkat ke tanah kuat-kuat. “Aku bisa melihat dengan jelas jika mereka berdua terbunuh dengan serangan tadi. Aku tidak tahu bagaiamana mereka masih bisa menyelematkan diri setelah mendapat luka tadi.”“Kalau saja Gusti Totok Surya tidak memberi tahu kita, Tarusbawa dan Limbur Kancana pasti sudah bersiap dengan serangan balasan,” ujar Brajawesi seraya memutar-mutar kapak.Kartasura berdecak bergumam. “Aku mulai merasakan keanehan setelah melawan Limbur Kancana dan Tarusbawa, lalu membandingkannya dengan Aji Panday. Kedua pendekar itu berkali-kali lebih kuat dibanding Aji Panday yang aku lawan lima tahun lalu. Meski Aji Panday sudah terkena racun kalong setan selama dua tahun, tapi tidak seharusnya dia bisa aku kalahkan dengan cukup mudah saat itu. Apa mungkin kekuatannya
Meswara dan Jaka segera mendekat pada Sekar Sari dan Indra, sedang Arya masih berada di tempat untuk mengawasi pergerakan kedua siluman raksasa dan para siluman hitam.“Kita harus segera menyelamatkan diri. Tempat ini sudah tidak aman lagi untuk kita,” ujar Meswara seraya menoleh ke arah datangnya dua Jurig Lolong dan para siluman hitam.Arya melompat dari puncak pohon, mendekat pada kerumunan. “Pergerakan mereka sangat cepat. Jika tidak cepat bergerak, mereka akan menangkap kita.”Sekar Sari menatap Limbur Kancana dan Tarusbawa bergantian. “Aku membutuhkan sedikit waktu lagi untuk menutup semua luka Tuan Guru dan Kakang Guru.”“Meswara segera siapkan kain merah sekarang juga,” ucap Indra yang kemudian menoleh pada Sekar Sari, “Sekar Sari, kau bisa mengobati Tuan Guru dan Kakang Guru dan di dalam kain merah. Para tabib bisa membantumu di sana.”Tanah tiba-tiba berguncang. Arya dan Jaka melompat ke puncak pohon. Kedua pendekar muda itu tercengang saat melihat dua Jurig Lolong dan para
Para murid padepokan Merak Putih sudah berkumpul membentuk lingkaran, disusul para tabib yang juga membentuk lingkaran di belakang mereka. Tarusbawa dan Limbur Kancana terbaring di tengah-tengah lingkaran.“Untuk melakukan jurus Tenaga Bintang, kita harus mengarahkan kedua tangan kita ke depan dan memusatkan seluruh pikiran dan kekuatan kita untuk membagi kekuatan kita pada orang yang akan menerimanya. Selain kekuatan, keberhasilan jurus ini akan sangat ditentukan dengan ketenangan dan pengendalian kekuatan kita,” ujar Barma.“Untuk bisa menggunakan jurus ini dengan baik, kita seharusnya melalui pelatihan cukup panjang untuk bisa mengendalikan kekuatan dan ketenangan kita. Hanya saja, kita tidak memiliki waktu untuk melakukannya sekarang,” sambung Sekar Sari yang kemudian memberi anggukan pada Indra untuk segera memulai jurus. “Apa kalian semua mengerti?” tanya Indra.Satu per satu murid dan tabib mulai mengangguk, menoleh satu sama lain.“Baiklah, kita akan memulai jurus ini sekar
“Apa yang harus aku lakukan?”Di tengah para siluman yang siap menyerangnya, Jaka mengalirkan tenaga dalamnya ke arah kain merah. Tubuhnya seketika terisap ke dalam kain. Di saat yang sama, Sekar Sari, Indra, Meswara, dan Arya nyaris tidak sadarkan diri.Jaka melesat ke dalam. Ia terdiam saat melihat Tarusbawa dan Limbur Kancana diselimuti cahaya putih yang berasal dari tangan Sekar Sari, Indra, Meswara, dan Arya. Menatap ke sekeliling, ia mendapati para murid padepokan dan para tabib sudah terbaring tak sadarkan diri.Jaka menoleh ke atas. “Lubang sudah sepenuhnya tertutup.”“Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, tapi sepertinya aku harus membantu mereka.” Jaka mengulurkan kedua tangan, mengalirkan kekuatan. Bersamaan dengan Sekar Sari dan Indra yang nyaris tumbang ke belakang, Jaka mendaratkan tangan di punggung mereka. “Bertahanlah.”Sekar Sari dan Indra seketika menoleh, kembali memaksakan diri untuk duduk tegak. Keduanya merasakan kekuatan mereka kembali bertambah.Indra
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me