Lingga memaksakan diri untuk bangkit meski beberapa kali sempat terjatuh. Ia menggerakkan satu kakinya untuk maju dan di saat yang sama angin kencang membuatnya kembali terdorong mundur hingga berguling-guling.
Kesadaran Lingga perlahan menghilang. Matanya seperti dipaksa tertutup rapat dan tubuhnya seperti ditekan erat-erat ke dasar. Ia ingin segera berlari dan melewati penghalang di depan, tetapi raganya sama sekali tidak bisa sejalan dengan harapan dan keinginan.
Di ambang batas ketidakberdayaannya, Lingga tiba-tiba teringat dengan pembicaraannya dengan Sekar Sari saat keduanya beristirahat setelah pergi meninggalkan Lebak Angin.
“Sekar Sari, bagaimana kau bertahan saat kau merasakan sakit karena kehilangan keluargamu? Dan bagaimana kau bisa memaafkanku?” tanya Lingga.
Sekar Sari menjawab setelah diam selama beberapa waktu, “Kehilangan seseorang yang sangat kita sayangi dan menyayangi kita akan meninggalkan luka yang begitu dalam. But
“Serang mereka!” perintah Munding Hideung yang berada di tengah-tengah para siluman.Para siluman segera menghimpun kekuatan, lantas melesatkan serangan ke arah depan. Munding Hideung menyusul dengan serangan sabit api. Serangan semua siluman itu tiba-tiba menyatu ke arah sabit dan menjadi sebuah serangan yang dahsyat.Munding Hideung melesatkan serangan dengan sekuat tenaga. Serangan itu melahap dan menghancurkan pepohonan yang dilewatinya dengan cepat. Angin berembus dengan cepat ke arah para pendekar berada.Wirayuda yang pertama kali menyadari serangan tersebut. Ia terkejut saat melihat sebuah titik kecil yang kemudian menjelma menjadi serangan besar yang melesat dengan sangat cepat. “Kita diserang. Persiapkan diri kalian!”Wirayuda mencabut pedangnya di saat para petinggi golong putih yang lain bergerak ke arahnya. Ketujuh pendekar itu segera menghimpun kekuatan dan melakukan serangan dalam waktu bersamaan. Serangan itu menjelma menjadi satu serangan yang langsung menerjang ke ar
Munding Hideung kembali memanggil sabit apinya. Para siluman untuk kedua kalinya mengumpulkan serangan mereka pada sabit tersebut.Munding Hideung melesatkan sabit api ke arah para pendekar. Serangan itu melesat cepat melibas pepohonan di sekitarnya. Di saat yang sama, para pasukan siluman Wintara dan Nilasari menerjang maju ke arah para pendekar yang masih tercenung di tempat.Sebuah kubah tiba-tiba saja muncul melindungi para pendekar. Serangan para siluman mendadak membentur dinding kubah hingga kubah bergetar. Di saat yang sama, para pasukan siluman Wintara dan Nilasari terpental ke belakang karena menubruk kubah.Serangan para siluman mendorong kubah pelindung setengah tombak ke belakang. Para pendekar yang berada di dalamnya sebagian terpental dan sisinya bertahan hingga serangan para siluman menghilang dengan sendirinya.“Kurang ajar! Apa yang terjadi?” Munding Hideung mendarat di puncak pohon, memelotot tajam saat asap mengitari sekeliling. “Mungkinkah?”Wintara dan Nilasari m
Para tabib tampak sibuk mondar-mandir di sekeliling para pendekar. Sebagian berusaha mengobati mereka, sebagian yang lain hilir mudik mengambil ramuan obat.Galih Jaya, Dharma, Malawati dan pendekar lain tampak sibuk mempersiapkan seluruh persiapan untuk menghadapi kemungkinan penyerangan yang dilakukan Wintara dan Nilasari. Para penjaga tampak sudah bersiap siaga di setiap sudut perbatasan.Limbur Kancana masih duduk di atas gua. Ia melihat keadaan sekeliling hutan dengan bantuan penglihatan para tiruannya. Para tiruan itu sudah diselimuti penawar racun kalong setan yang tersisa sehingga akan bisa bertahan lebih lama jika terkena racun kalong setan.Limbur Kancana bertukar tempat dengan tiruannya yang berada di luar kubah yang melindungi sekeliling gua. Ia melompat tinggi ke atas kubah, lalu membuka kendi berisi penawar racun kalong setan yang diberikan Sekar Sari. Asap putih seketika muncul, lantas menyelimuti sekeliling kubah. Kubah tiba-tiba muncul ke permukaan. Lapisannya tampak
Limbur Kancana menoleh ke samping kiri dan kanan ketika melihat dua bayangan bergerak cepat mengelilingi kubah pelindung.“Bagaimana jika mereka berhasil menembus pertahanan kubah pelindung di saat para pendekar belum sadarkan diri dan para tabib yang belum berhasil menyempurnakan penawar racun kalong setan?” tanya Malawati dengan wajah gelisah, “itu pasti akan menjadi keadaan yang sangat buruk. Dengan kekuatan kita sekarang akan sangat sulit untuk menghadapi mereka.”Limbur Kancana memanggil tiga kendi. “Ambillah kendi-kendi ini.”Galih Jaya, Dharma dan Malawati saling menoleh satu sama lain, kemudian mulai mengambil masing-masing satu kendi.“Kalian bisa memasukkan para pendekar, para tabib atau musuh sekalipun ke dalam kendi untuk menyelamatkan mereka atau menangkap mereka. Pergunakan kendi-kendi itu dengan sebaik mungkin. Kendi-kendi itu memang memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi seperti senjata lain, kendi-kendi itu juga memiliki batasan.”“Kami mengerti,” sahut Galih Jaya,
Semua anggota Cakar Setan bergegas meninggalkan danau siluman. Mereka berlari di atas permukaan air, melompati satu per satu puncak pohon dengan cepat. “Akulah yang akan membunuh Tarusbawa dan menyerahkan kepalanya pada Gusti Totok Surya,” ujar Wulung di tengah tangannya yang melemparkan cambuk dan menarik tubuhnya, “jangan menghalangiku atau kalian akan tersiksa di tanganku.” “Teruslah bermimpi, Wulung.” Argaseni melesatkan tongkat ularnya ke arah depan, menarik dirinya secepat mungkin. “Kau tidak akan bisa menyentuhnya selama masih ada aku.” “Orang-orang bodoh seperti kalian hanya bicara tanpa bukti!” Brajawesi mendengkus seperti kerbau. Kapak merahnya menarik dirinya ke arah perbatasan kubah. “Akulah yang akan membunuh Tarusbawa dengan kapak merahku.” Bangasera menatap tajam Wulung, Argaseni dan Brajawesi yang bergerak di depannya. “Kalian boleh menghajar Tarusbawa sampai sekarat, tapi akulah yang akan membunuhnya dan menyerahkan kepalanya pada Gusti Totok Surya. Tarusbawa, kau
Danuseka meringis kesakitan, kembali bangkit dan mendekat ke arah Kartasura. “Aku yakin para pendekar golongan putih tidak akan membunuh Wira, Kartasura. Mereka pasti menyekapnya untuk mencari tahu mengenaimu.”Kartasura melemparkan sebuah kendi pada Danuseka. “Kendi itu berisi air danau siluman yang bisa menyembuhkan luka ringan dan sedang dengan cepat. Kau harus menyembuhkan dirimu sebelum kita pergi menuju markas para pendekar golongan putih untuk mencari Wira.”Danuseka membuka kendi yang diberikan Kartasura. Ia menarik air yang berada di dalamnya, kemudian mengarahkannya pada luka di dada dan tubuhnya.Kartasura kembali memejamkan mata untuk mengetahui keadaan anggota Cakar Setan yang lain. Ia melihat keempat pendekar itu tengah bergerak melintasi hutan. Sebuah kubah pelindung berukuran besar muali terlihat di mana beberapa pendekar tampak tengah berjaga. “Mereka sudah hampir sampai di markas para pendekar golongan putih.”Danuseka selesai memulihkan diri, kembali menutup kendi.
Sementara itu, Nyi Genit masih berada di sekitar danau siluman, mengawasi keadaan danau untuk sementara waktu. “Aku harus memulihkan diri untuk mengembalikan kekuatanku. Aku yakin pertarungan sebentar lagi akan dimulai.”Siluman wanita itu berjalan ke tengah danau dengan kedua tangan menyatu di depan dada. Sebuah semburan air mendadak muncul hingga terlihat dari kejauhan.Nyi Genit duduk bersila di tempat munculnya semburan air tersebut. Saat matanya tertutup, selendang kuningnya segera membentuk kuncup bunga yang menutupi seluruh tubuhnya. Air danau mendadak bergolak dan meletup-meletup.Penglihatan Nyi Genit mengelana ke sekeliling hutan. Begitu mendapati kubah yang mengurung Tarusbawa menghilang, ia segera membuka mata. “Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin kubah itu hancur?”Selendang kembali seperti semula ketika Nyi Genit berdiri. Amarah terlihat jelas di wajahnya. Bersamaan dengan kepalan tangan yang menguat, angin mendadak berembus kencang dan air tiba-tiba meletup-letup.“Taru
“Ah!” Nyi Genit memekik tajam hingga mencipta angin kuat yang langsung menyebar ke sekeliling. Ia melemparkan serangan secara asal hingga beberapa pohon bertumbangan dan tanah berlubang. Wajahnya memerah karena dikuasai amarah. Ia benar-benar sudah dipecundangi dan dihina oleh Sekar Sari.“Aku terlalu meremehkan gadis berselendang merah itu!” Nyi Genit mengepalkan tangan kuat-kuat. Ia menutup satu mata dengan satu tangan, mengawasi keadaan hutan melalui penglihatan siluman yang baru saja dikirimkannya.“Aku pasti akan membunuhmu!” Nyi Genit melempar dua bagian selendangnya ke depan, lalu menarik diri melewati tanah lapang dan pepohonan. Dalam satu kedipan mata, ia sudah berada di perbatasan hutan siluman. Dari tempatnya saat ini, ia bisa merasakan bau beberapa siluman dan bau para pendekar.“Bau gadis berselendang merah itu menghilang di sekitar sini. Bagaimana caranya dia keluar dari hutan siluman ini tanpa meninggalkan bau?”Nyi Genit mengentak kedua kaki kuat-kuat di puncak pohon.