Tubuh Sasak Padempuan langsung jatuh bergulingan di tanah karena serudukan kepala Jana tepat menerpa punggungnya.
"Anjing buduk keparat!" geram Sasak Padempuan dengan sorot mata berkilat, langsung meloncat bangkit.
"Haung...!"
Jana balas menatap. Sorot matanya tak kalah berkilat. Melihat dua orang tuannya tergeletak tanpa daya, amarah anjing bertubuh besar itu memuncak. Setelah meraung panjang, dia menyeringai dingin memperlihatkan taring-taringnya yang runcing bak mata panah. Sekali lagi, dia menerjang ganas. Kali ini kedua cakarnya bergerak cepat untuk merobek-robek tubuh Sasak Padempuan!
"Haung...!"
"Jahanam! Mati saja kau!" seru Sasak Padempuan seraya mengegos tubuhnya ke kiri. Terkaman Jana tak mengenai sasaran. Saat tubuh anjing berbulu hitam pekat itu masih melayang di udara, mendadak Sasak Padempuan meloncat. Telapak tangan si pemuda berkelebat luar biasa cepat, memperdengarkan suara berkesiur keras.
Lalu.... Prak...!
"Huiing,
"Untuk apa aku pergi? Aku mau menolong orang, tahu!" sahut Baraka tak kalah garang, namun lagaknya malah terlihat seperti orang berotak amat bebal."Jahanam! Tak mau diberi hati, kau memang lebih baik mati!"Melihat Sasak Padempuan hendak menerjang, Bancakluka yang tergeletak di belakang Baraka berteriak, "Bawalah benda itu pergi! Cepat!"Tanpa menoleh, Baraka menjawab. "Tenang-tenang sajalah. Apa kau tidak ingin melihat seorang pencuri dihajar?"Mendesah panjang Bancakluka mendengar ucapan Pendekar Kera Sakti yang tampak begitu yakin akan kemampuannya. Karena khawatir Sasak Padempuan dapat merebut Kitab Palanumsas yang tersimpan di dalam kotak kayu berukir, putra kepala Suku Asantar itu berteriak lagi."Jangan bodoh! Di daerah ini, ilmu sihir Suku Asantar adalah yang terhebat! Kau akan mati konyol bila berhadapan dengan pemuda itu! Lekaslah pergi! Kebodohanmu bukan hanya merugikan dirimu sendiri. Benda pusaka Suku Asantar akan hilang dicuri orang!
"Api datang! Panas membakar! Tak ada yang sanggup menahannya! Juga, pemuda tolol dihadapanku ini! Hom asantarnas paranas... ramsas...!" seru Sasak Padempuan dengan kedua tangan terjulur lurus ke depan.Si pemuda lugu Baraka masih terus cengar-cengir. Dia tidak melihat adanya aliran tenaga dalam di pergelangan tangan Sasak Padempuan. Hingga, dia bisa bersikap tenang. Tapi setelah melihat ujung jemari tangan Sasak Padempuan mengeluarkan lidah-lidah api, barulah Baraka menyadari akan adanya bahaya.Wesss...!"Astaga! Aku harus melawannya dengan 'Pukulan Inti Dingin'!" cetus Baraka di balik keterkejutannya.Tanpa pikir panjang, Pemuda dari Lembah Kera itu memindahkan Suling Krishna ke tangan kiri. Sementara, tangan kanannya langsung dialiri kekuatan tenaga dalam. Hingga di lain kejap, pergelangan tangan Baraka berubah warna menjadi putih berkilat!"'Pukulan inti Dingin'...!" seru Baraka seraya menghentakkan telapak tangan kanannya. Melesat gumpalan sal
Bertolak belakang dengan Sasak Padempuan. Menggeram marah dia. Sambarannya hanya mengenai angin kosong. Karena kelebatan tubuhnya diliputi hawa amarah, membuat pemuda itu kurang hati-hati. Hingga, si pemuda tak dapat lagi mengendalikan gerak tubuhnya. Dan, jatuhlah dia terguling-guling!Sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya segera menyembur dari mulut Sasak Padempuan. Namun dengan tenang, Bancakdulina menyahuti...."Sasak Padempuan..., tak perlu kau teruskan niatmu yang ingin memiliki Kitab Palanumsas. Mengingat kau keturunan Umpak Padempuan, bolehlah kau kuberi ampunan atas kesalahanmu ini. Pergilah! Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki di Perkampungan Suku Asantar!""Sangkuk...," sergah Bancakluka. "Dia tak boleh pergi begitu saja. Lihat itu!"Bancakdulina mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjukkan Bancakluka. Kontan bola mata kakek yang wajahnya telah dipenuhi kerutan itu melotot besar. Dia melihat anjing piaraannya, Jana, telah mati denga
"Di mana pemuda itu?" sahut Bancakdulina, menanyakan Pendekar Kera Sakti.Dengan napas yang masih megap-megap, Bancakluka mengedarkan pandangan. Demikian pula dengan Bancakdulina. Ketika melihat tubuh Pendekar Kera Sakti yang terbaring tak bergerak di tanah, seperti diberi aba-aba Bancakluka dan ayahnya merangkak menghampiri bersamaan."Pendekar Kera Sakti! Pendekar Kera Sakti!" teriak khawatir Bancakluka"Uh! Siapa memanggilku?" sahut Baraka seraya bangkit duduk."Kau... kau tidak apa-apa, Anak Muda?" tanya Bancakdulina."Tidak apa-apa bagaimana? Napas ku hampir putus.... Untung, aku tidak mati..."Wajah Baraka menegang kaku seperti menyimpan kejengkelan di hati. Namun mendadak, dia tertawa terkekeh-kekeh."He he he.... Lihat itu! Lihat itu! Pemuda itu jadi patung salju! He he he...."Bancakluka dan ayahnya langsung mengarahkan pandangan ke arah tudingan Baraka. Mereka melihat tubuh Sasak Padempuan yang masih berdiri tegak ter
DI SEBUAH kamar berdinding papan berlabur warna kuning gading, Baraka duduk terpekur di hadapan jendela. Matanya tak berkedip menatap tangkai-tangkai daun pohon pisang yang bergerak melambai tertiup angin. Pemuda dari Lembah Kera itu duduk di kursi rotan.Kedua tangannya menimang dua benda mustika. Suling Krishna dan cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Tanpa mengalihkan pandangan dari tangkai-tangkai daun pohon pisang, Baraka meletakkan Suling Krishna ke meja yang terletak di sisi kanan jendela. Sejenak, ia menimang lagi cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Cermin ajaib milik Ratu Perut Bumi itu hanya selebar telapak tangan. Berbentuk persegi empat. Keempat sisinya berukir indah seperti ukiran cermin putri istana."'Terawang Tempat Lewati Masa'...," gumam Baraka. "Untung, cermin ajaib milik Ratu Perut Bumi ini tidak hilang ketika aku jatuh tercebur ke Sungai Simandau. Untung sekali. Ya! Aku memang masih memiliki peruntungan bagus...."Pemuda lugu itu tampak m
Sementara, lima orang sesepuh Suku Asantar yang menjadi hakim pada Pengadilan Agung itu tampak bangkit dari tempat duduknya. Dengan dipimpin oleh hakim kepala yang berada di tengah, mereka menjulurkan kedua tangan ke arah Sasak Padempuan.Lalu, kakek yang berada di tengah berkata, "Para leluhur Suku Asantar selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menentang kejahatan. Hari ini Pengadilan Agung telah menyatakan Sasak Padempuan bersalah. Para leluhur Suku Asantar akan mencabut seluruh kekuatan ilmu sihir pemuda itu...."Empat kakek lainnya yang sama-sama memakai jubah hitam menyambung dengan kalimat, "Hom asantarnas salawunas.... barnas...!"Di ujung kalimat itu, mendadak Sasak Padempuan menjerit parau. Sekujur tubuhnya memancarkan sinar merah menyilaukan. Hampir semua warga Suku Asantar yang melihat jalannya Pengadilan Agung itu memalingkan muka karena mata mereka terasa amat pedih."Hentikan! Hentikaaannn...! Kubunuh kalian semua! Kubunuh kalian semua...!"
Akibatnya, dia akan dikeluarkan dari pergaulan hidup Suku Asantar. Lebih dari itu, sebelum diusir, dia dan Sadeng Sabantar akan dihukum cambuk seratus kali. Begitulah aturan yang berlaku di Suku Asantar.Memikirkan akibat itu, Silasati jadi ragu. Dia tak dapat membayangkan betapa sedih, marah, dan malunya kedua orangtuanya apabila dirinya sampai menerima hukuman adat seperti itu. Silasati pun tak dapat membayangkan rasa hati Bancakdulina dan Bancakluka, calon mertua dan suaminya itu. Mereka tentu amat kecewa, bahkan teramat kecewa!"Sati! Aku tak bisa berdiri terlalu lama di sini! Aku mau jatuh...," desak Sadeng Sabantar yang berusia dua puluh tiga tahun.Pemuda ini putra kedua seorang warga Suku Asantar yang cukup terpandang pula. "Aku takut...," desis Silasati, mengutarakan isi hatinya."Kau tidak mencintaiku? Hatimu telah terpaut pada Bancakluka yang calon kepala suku itu? Baiklah kalau begitu. Aku memang tak pantas menemuimu lagi! Selamat tinggal, Sat
Sampai beberapa tarikan napas, Sadeng Sabantar dan Silasati berdiri terpaku di tempatnya. Mata mereka sama-sama menatap sosok wanita berpakaian merah gemerlap. Wanita berusia tiga puluh tahun itulah yang tadi mengeluarkan suara bentakan."Danyangsuli...," desis Sadeng Sabantar dan Silasati, hampir bersamaan.Wanita berpakaian merah gemerlap yang memang Dayangsuli terlihat geleng-geleng kepala. Dari jarak sekitar tiga depa, ditatapnya wajah Sadeng Sabantar dan Silasati bergantian. Lalu dengan suara dalam, dia berkata, "Kalian baru saja berbuat apa yang seharusnya tidak boleh kalian perbuat. Kalian baru saja melanggar apa yang sebenarnya tidak boleh kalian langar. Tapi walau telah begitu rendah moral kalian, apakah kalian tetap akan membiarkan anggota tubuh kalian yang terlarang dilihat orang?"Sekali lagi, Sadeng Sabantar dan Silasati menggerigap kaget. Kata-kata Danyangsuli menyadarkan bila mereka tengah berdiri dengan tubuh nyaris telanjang. Oleh karenanya, tan
Bukit itu tidak terlalu tinggi. Tanamannya tidak begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan. Rimbunan semaknya tumbuh secara berkelompokkelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun lebar itulah Baraka bersembunyi mengintai sebuah pertarungan. Ternyata pertarungan itu adalah pertarungan yang tidak disangka-sangka oleh Baraka. Bukan pertarungan Raja Hantu Malam melawan Dampu Sabang, melainkan pertarungan antara Sumbaruni dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa senjata tombak El Maut yang ujungnya mirip sabit.Orang itu adalah tokoh sesat yang diburu-buru oleh Pendekar Kera Sakti selama ini. Dia tak lain adalah Siluman Selaksa Nyawa, yang mempunyai wajah pucat dan dingin.Tentu saja Pendekar Kera Sakti terkejut sekali melihat tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka, Baraka tidak tahu secara pasti. Tetapi sebagai orang yang sudah bebe
"Jadi... selama ini kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang akan diculiknya?""Ya. Karena itu syarat untuk menjadi muridnya.""Kau salah, Sundari. Kau tidak boleh membantu pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu.""Tapi aku ingin memiliki ilmu seperti yang dimilikinya!""Ada jalan lain, tanpa harus membantunya melakukan kejahatan."Sundari kian menangis di sela malam bercahaya rembulan. Baraka mencoba memahami jalan pikiran lugu gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya, "Lalu mengapa kau tadi mau dibunuhnya?""Sejak kemarin ia mencarimu, tapi aku tak mau kasih tahu di mana dirimu! Aku takut kau dijadikan korban seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke puncak. Rupanya dia bermaksud serahkan dirimu kepada suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu-ilmu sakti seperti yang dimilikinya sekarang ini. Tapi menuru
"Dia ke puncak! Carilah di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang tak mampu dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Baraka bersembunyi di atas pohon."Tidak mungkin, Sundari! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak sana, bukan!""Ttt... tidak!""Kau bohong! Aku jadi muak padamu!"Sreeet...!Orang berkerudung hitam itu mencabut pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya. Pisau itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Baraka segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan.Taaas...!Tenaga dalam yang dilepaskan lewat sentilan tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam.Dees...!Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke samping bagaikan terkena tendangan kuda binal. Ia berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap berdiri lagi.Wuuut...! Jleeg...!Baraka turun dari atas pohon langsung berhadapan d
Dengan gemuruh kemarahan mulai membakar darah dan menyesakkan dada, Pendekar Kera Sakti segera jejakkan kaki ke tanah dan melesat pergi menuju puncak Gunung Keong Langit itu. ia harus bisa mencapai pondok Raja Hantu Malam sebelum bumi menjadi gelap dan malam pun tiba."Tapi tunggu dulu," katanya sendiri. "Jika benar kata Dul, bahwa pembantaian itu dilakukan pada malam hari, maka ada baiknya aku justru mengintai di dekat pondoknya, apakah ia keluar pada malam hari atau tetap di tempat?"Sampai puncak gunung suasana telah gelap. Hawa dingin begitu mencekam kuat. Namun Baraka berusaha tetap di balik kerimbunan semak, mengawasi pondok Raja Hantu Malam. Berulang kali ia garuk-garuk kepala untuk menghalau hawa dingin yang hadir bersama kabut putih.Untung saja Baraka memiliki Ilmu Angin Es Dan Api ditubuhnya. Seandainya tidak, maka tubuhnya akan berubah menjadi gumpalan salju dan darahnya akan membeku dicekam hawa dingin yang amat tinggi itu. Ilmu Angin Es Dan Api yan
Sukat menimpali kata, "Waktu kami tiba, masih ada yang bertahan hidup dalam luka parah. Dia sempat memberi tahu bahwa musibah ini terjadi dua hari yang lalu. Seseorang telah datang dan mengamuk ganas di sini.""Mana temanmu yang terluka parah itu? Aku ingin menanyainya.""Tidak bisa," jawab Sukat dengan sedih."Hanya menanyakan sesuatu saja.""Tetap tidak bisa.""Kenapa?""Karena dia sudah pergi, nyawanya terbang sebelum siang tiba," jawab Sukat yang berambut cepak dan berwajah cengeng itu. Ia menangis walau tak terdengar suara isakannya."Apakah dia tahu siapa orang yang membantai teman-temanmu ini?"Dul yang menjawab, "Menurut keterangannya, orang itu berjuluk Raja Hantu Malam. Datangnya pada malam hari."Seketika itu alis mata Baraka beradu, dahi berkerut, dan mata menatap tajam, ia sangat terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh si Dul. Ia hampir-hampir tidak mempercayainya. Dengan segera napas pun ditarik dan dih
"Siapa namamu, Sobat?" tanya Baraka mengakrabkan diri."Dul," jawabnya singkat tanpa berani memandang."Dul siapa?""Dul ya Dul," jawabnya makin merasa terpojok, ia berhenti menebangi anak bambu dan memasukkan goloknya. Lalu tanpa memandang lagi ia pergi meninggalkan Baraka, ia merasa lebih baik segera tinggalkan tempat itu karena merasa cemas kalau-kalau orang yang tadi dikuntitnya tiba-tiba menyerang ganas.Dalam hatinya mengakui bahwa orang yang dikuntitnya itu ilmunya sangat tinggi, tidak sebanding dengan ilmunya sendiri. Mulanya Dul melangkah pelan-pelan, berlagak santai. Makin lama melirik ke belakang, melihat Baraka masih di tempat memandanginya. Langkahnya sedikit cepat, tapi masih dibuat sesantai mungkin.Lama-lama, wuuut..! ia melarikan diri secepat-cepatnya dan ingin memberitahukan kehadiran Baraka kepada seorang teman.Zlaaap...!Baraka pun cepat tinggalkan tempat, bergerak bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Dalam wa
Melihat kenyataan seperti itu, Baraka merasa perlu menemui Ratu Asmaradani dan mengungkapkan isi hatinya. Tapi terlebih dulu ia ingin sempatkan singgah ke Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung Gading, ia ingin perkenalkan diri kepada tokoh sakti yang termasuk keponakan Eyang Nini Galih, yaitu guru dari Dewi Pedang.Menurut penjelasan Raja Hantu Malam, padepokan Resi Wulung Gading terletak di seberang sungai berair kuning, alias sungai belerang. Sungai air kuning itu kini telah ditemukan Pendekar Kera Sakti, tinggal mencari jembatan untuk menyeberangi sungai tersebut dan mencari padepokan itu. Karena jembatan penyeberangan itu tidak ditemukan oleh Pendekar Kera Sakti, maka ia terpaksa memetik beberapa daun yang lebarnya seukuran telapak tangan.Dengan melemparkan daun-daun itu ke permukaan sungai, Baraka melompat dari daun ke daun menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Sambil berpijak pada daun yang satu, daun yang lain dilemparkan ke depan dan menjadi pijakan berikutnya. C
Raja Hantu Malam manggut-manggut "Sudah kukatakan, aku tahu silsilah guru-gurumu, sampai pada anak-anak Purbapati dan Nini Galih, guru dari si Setan Bodong dan Dewi Pedang itu. Purbapati dan Nini Galih mempunyai tujuh anak, tapi yang hidup hanya tiga orang, yaitu Durmagati, Begawan Sangga Mega, dan Raja Nujum. Durmagati mempunyai anak Wicara Sanca dan Rawana Baka. Tetapi Rawana Baka menjadi manusia sesat, dan berjuluk Siluman Selaksa Nyawa, ia membunuh kakaknya sendiri, juga ayah ibunya dibunuhnya pula. Rawana Baka terkena kutuk dari kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun, karena ia memperkosa neneknya sendiri. Sekarang usia Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa baru mencapai dua ratus lima belas tahun, jadi ia masih punya waktu menjadi orang sesat selama delapan puluh lima tahun lagi."Baraka manggut-manggut, membenarkan cerita itu, karena ia pernah mendengar cerita tersebut dari mulut Hantu Laut yang tak sadar akan segala apa yang diucapkannya itu."Ka
"Sekalipun aku sudah menjadi orang baik, tapi julukan itu sepertinya masih melekat pada diriku, sehingga sampai sekarang masih banyak yang memanggilku dengan julukan Raja Hantu Malam. Padahal aku lebih suka jika dipanggil dengan nama Ki Randu Papak saja. Di sini aku mengasingkan diri, sekadar untuk membuat mereka lupa dengan nama Raja Hantu Malam. Ternyata cara itu belum bisa dikatakan berhasil, buktinya kau datang kemari dan mencariku dengan nama Raja Hantu Malam. Mau tak mau aku harus mau menyandang julukan yang sudah tak kusukai itu. Aku sengaja mengasingkan diri di sini untuk menebus tingkah lakuku masa lalu dan menjauhi pertikaian dengan siapa pun. Tapi nyatanya masih ada yang mengusikku, seperti halnya Nini Pancungsari dan yang lainnya.""Aku pernah melihatmu bertarung di seberang Puncak Karang, Ki.""Ya. Beberapa waktu yang lalu aku memang terlibat pertikaian dengan seseorang di sana. Aku mencoba untuk tidak melawan, tapi aku hampir saja mati konyol, sehingga ma