Duaarr...!
Seketika itu asap hitam mengepul tebal membungkus tubuh Setan Samudera. Asap hitam yang sulit diterobos pandangan mata manusia biasa itu bergumpal-gumpal sesaat. Setan Samudera yang tak terdengar suaranya.
Ketika asap itu terhembus angin dan lenyap, yang ada di depan Sri Maharatu adalah potongan tubuh Setan Samudera yang menjadi empat bagian, karena ada empat lilitan cambuk ditubuhnya. Tubuh yang terpotong itu tidak keluarkan darah sedikit pun. Namun jelas hal itu membuat Setan Samudera tak mampu bernapas lagi, dan matilah ia dirajang oleh cambuk pusaka leluhurnya sendiri. Sri Maharatu sunggingkan senyum kemenangan sambil menarik tali cambuk dengan tangan kiri dan menggulungnya rapi. Mulutnya mengucap kata bagaikan bicara pada mayat yang terpotong.
"Sudah kuingatkan sebelumnya, tapi kau tidak mau percaya padaku, Setan Samudera. Kini, rasakan sendiri bagaimana nasibmu terkirim kealam baka sana! Semoga semua ini menjadi hikmah dan pelajaran bagimu, Seta
Maka, dengan gunakan dua jari tangannya, Resi Wulung Gading menotok telapak kaki Baraka.Teebb...! Satu totokan membuat tubuh itu tersentak, kaki terangkat naik karena kaget dan dagu Resi Wulung Gading tertendang tak sengaja.Plookk...!"Uh...! Terima kasih atas pembalasanmu, Baraka," ucapnya pelan sambil mengusap-usap jenggotnya. Selembar jenggot tersangkut di jari kaki Baraka yang tadi tersentak ke atas. Selembar jenggot itu diambil oleh pemiliknya, dipandanginya dengan rasa amat sayang, tapi akhirnya sang Resi geleng-geleng kepala dan membuang selembar jenggotnyake samping.Baraka sudah mulai bisa gerakkan tangannya. Nyala sinar perak itu telah padam sejak sentakkan totok di telapak kaki tadi. Resi Wulung Gading semakin kelihatan lega ketika Baraka sudah mulai buka mata dan berkedip-kedip."Racun itu telah punah, pasti ia kembali pada dirinya, kembali dalam ingatan semula," ucap sang Resi, lalu Pendekar Kera Sakti pun ditegurnya, "Bagaimana kead
"Racun sengat 'Lebah Setan'... Hmm..., kalau tak salah itu ilmunya si Dewa Sengat!""Betul, dan memang orang itulah yang menyengatnya. Eh, yang melepaskan lebah dan lebah itu menyengat Baraka!""Kudengar di sana sedang heboh tentang cambuknya si Warok Guci Wangsit!""Benar. Dan Baraka dituduh pencuri cambuk pusaka itu, Gusti Ratu. Mereka salah paham, dan mengakibatkan Baraka menderita begini."Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi manggut-manggut. "Terlalu berani Dewa Sengat melukai calon menantuku separah ini. Aku khawatir dia akan binasa oleh Cambuk Getar Bumi itu. Kalau tak salah, sekarang cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu!""Memang benar. Begitulah menurut laporan Delima Gusti, putri sang Adipati Suralaya. Jika cambuk di tangan Sri Maharatu, saya khawatir akan timbulkan korban sangat banyak. Saya yakin, Pendekar Kera Sakti itu mampu kalahkan Sri Maharatu jika keadaannya pulih seperti sediakala. Jadi saya mohon, Gusti Ratu Kartika Wangi sudi kiranya m
Putri Kunang menatap gurunya, seakan menunggu perintah. Tapi sang Guru tetap tenang memandang Baureksa dengan penuh waspada. Orang bertubuh besar itu maju dua tindak, pendamping kanan-kirinya ikut maju dua tindak. Kini jarak mereka menjadi sekitar lima langkah. Masing-masing siap serang dan siap hadapi serangan. Putri Kunang pun ikut siaga di samping gurunya."Baureksa, kalau aku membunuh seseorang aku tak pernah dustai tindakanku itu. Tapi kalau aku tidak membunuh, jangan paksa aku mengakuinya, nanti kau sendiri yang kehilangan nyawa, Baureksa!""Enak sekali mulut tuamu bicara, Dewa Sengat! Rasa-rasanya kau perlu cobai kehebatan ilmuku belakangan ini!""Kalau kau jual, aku beli!""Keparat! Suhito, Roka, serang dia!""Heaaat...!" kedua orang berpakaian hitam itu segera melompat maju dengan mencabut golok masing-masing. Putri Kunang bergerak tanpa perintah gurunya, ia segera lompat maju dengan pedang terhunus dan siap hadapi kedua orang berpakaian h
Baureksa sibuk hadapi lebah-lebah itu. Dewa Sengat menyambarkan tangannya di tempat kosong. Tangan itu menggenggam sesaat dan ditarik di depan dada. Ketika genggamannya dibuka, teryata ada dua ekor lebah merah yang melesat terbang dari genggaman itu.Wuungng...!Dua lebah merah itu menyerang punggung dan leher Baureksa."Auh...!" Baureksa terpekik kaget mendapat sengatan di dua tempat. Tapi seketika itu pula tubuhnya mengejang, jantungnya bagaikan sulit dipakai bernapas. Jantung itu berhenti dalam tiga hitungan, dan akhirnya tubuh Baureksa yang besar dan berwajah angker itu roboh bagaikan nangka busuk jatuh dari atas pohon.Buugh...!Wajahnya tetap mengejang, matanya tetap mendelik, semua tubuhnya tetap dalam keadaan seperti pada saat berdiri tadi. Namun ia sudah tidak bernapas mulai saat itu sampai selamanya. Sedangkan lebah-lebah yang berduyun-duyun itu segera menyergapnya beramai-ramai. Lebah-lebah itu bukan haus madu, melainkan haus darah. Tubu
OMBAK laut bergulung-gulung dengan tenang. Tidak seliar biasanya. Karena saat itu angin berhembus sepoi-sepoi basah, tanpa badai dan topan yang memancing amukan sang ombak. Cuaca cerah sungguh baik untuk berlayar. Dan di sudut sana, tampak seorang wanita berjubah biru muda sedang mempersiapkan diri, menyewa sebuah perahu bersama pendayungnya.Perempuan itu tak lain adalah Sri Maharatu, dengan cambuk pusakanya yang terselip di pinggang, digulung membentuk lingkaran kecil. Dewa Sengat semakin percaya dengan ucapan Delima Gusti. Matanya tertuju pada cambuk di pinggang Sri Maharatu. Hatinya mulai berkecamuk sesuai dengan jalan pikirannya yang sedang mencari cara menyerobot cambuk itu."Kalau dia kuserang secara bertubi-tubi, dia tidak akan punya kesempatan untuk mencabut cambuk itu. Tapi sekali dia punya kesempatan, habislah aku! Seranganku harus terarah pada tangan kanannya, sebab ia akan gunakan tangan kanan untuk mencabut cambuk di pinggang kirinya. Kalau kugunakan juru
Sri Maharatu mendengar suara gemuruh dari tiga arah. Tanpa berpaling memandang ke tiga arah itu ia sudah dapat menduga apa yang terjadi, ia pun sudah bisa simpulkan apa yang membuat Dewa Sengat sejak tadi tidak bergerak menyerang."Rupanya dia mencari kesempatan untuk menyerobot cambuk ini saat aku sibuk menghadapi pasukan lebahnya," pikir Sri Maharatu.Sambil sunggingkan senyum sinis, Sri Maharatu berkata kepada Dewa Sengat, "Rupanya kau sedang menunggu pasukan lebahmu itu Dewa Sengat. Dan kau akan curi kesempatan untuk menghantamku lalu menyerobot cambuk ini. Oh, mudah sekali pikiranmu kubaca, Dewa Sengat!"Tokoh tua itu tak bisa bilang apa-apa. Ia hanya memikirkan cara terbaik untuk segera lakukan gerakan serang. Tapi lawannya ternyata punya kecerdasan otak tersendiri. Sri Maharatu segera gerakkan cambuknya. Matanya masih memandangi Dewa Sengat tapi cambuk segera dilecutkan di atas kepalanya ketika bunyi gemuruh lebah itu kian mendekat.Wuutt...!Taarr.
Sri Maharatu tertawa dan berseru, "Kalau kau kehendaki pertarungan sekarang juga, maka terimalah ajalmu ini, Anak Bengal!"Cambuk terangkat dan hendak dilecutkan. Jelas jika mengenai punggung Putri Kunang, maka tubuh gadis cerewet itu akan terpotong menjadi dua bagian, seperti nasib gurunya. Tapi ketika cambuk hendak dilecutkan, Delima Gusti lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru dari telapak tangannya.Claapp...! Selarik sinar biru tepat kenai bawah ketiak tangan kanan Sri Maharatu.Desss...!Wuuttt...! Bruukkk!Tubuh Sri Maharatu terlempar lima tombak jauhnya. Padahal seharusnya tubuh itu hancur berkeping-keping, tapi karena mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, maka tubuh itu hanya hangus di bagian bawah ketiak dan terlempar berguling-guling. Sayang cambuknya tidak terlepas dari tangan, sehingga Delima Gusti tak dapat menyambarnya."Uuhhg...!" Sri Maharatu mengerang kesakitan, tak lama kemudian memuntahkan darah seg
Senyum jalang Sri Maharatu mulai disunggingkan. Kerlingan matanya sengaja dipamerkan agar Baraka tergoda. Pendekar Kera Sakti membalas dengan senyuman lembutnya yang menawan. Tapi ia segera berkata dengan nada tegas."Cambuk itu tercemar kutuk. Kalau kau tidak segera menghancurkannya kau akan menjadi orang sesat sepanjang masa. Jika kau mati, rohmu akan hinggap pada binatang-binatang menjijikkan.""Jadi apa maksudmu datang kemari, Pendekar Tampan?""Menghancurkan cambuk itu, supaya tidak menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan manusia di muka bumi!" jawab Pendekar Kera Sakti dengan tegas."Tidak bisa. Aku lebih setuju kalau kau ikut pulang ke Pulau Dadap dan menjadi suamiku. Aku sudah dua tahun menjanda, Pendekar Kera Sakti!""Lupakan tentang harapanmu itu, yang penting serahkan dulu cambuk itu padaku dan akan kuhancurkan sekarang juga, supaya kau bebas dari hidup sesat!"Sri Maharatu semakin berkerut dahi. "Kalau begitu kau ada di pihak De
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"Pendekar Kera Sakti punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!Itu berarti Baraka harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka, hatinya pun membatin, "Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"Pendekar Kera Sakti dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal
Diamnya Baraka dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi, "Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!""Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi hatimu di depanku?""Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!""Aneh!" Baraka tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!""Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri!""Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Baraka hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi, "Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"Baraka kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"Zlaaap...! Weesss...!
"Apa bahaya itu?""Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut."Baraka berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal, maksudmu?""Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling Malaikat.""Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal?"Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang."Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus
Tak ada jawaban. Ilmu ‘Ilmu Menyadap Suara Angin’ digunakan. Ternyata memang tak ada suara siapa-siapa ditempat itu. Akhirnya Baraka duduk di salah satu tepi danau itu."Ke mana anak itu? Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."Sesaat kemudian di hati Pendekar Kera Sakti timbul kecemasan yang samar-samar. "Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian. Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus melumpuhkan mereka?"Pikiran Baraka sempat melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa ked
Jaaab...!Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput-rumputnya rontok dan mengering kecoklatan."Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari Baraka tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke belakang terpekik kaget."Hahhh...!"Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi Baraka yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu."Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut."Tapi dapatkah kau tetap bertahan den
Baraka ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani."Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa ada sikap memaksa!""Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!""Apa maksud kata-katanya?" pikir Baraka setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Baraka segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Baraka rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting."Uuhg...!"Bruuk...!"Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan kekuatan batinnya