Baraka jadi sangat ingin tahu apa maksud orang besar itu menghadangnya.
"Siapa namamu?"
"Logo," jawabnya singkat seperti tadi.
"Logo...?" gumam Baraka sambil manggut-manggut. Ia melangkah ke kiri sambil memandangi Logo, dan mata orang besar itu mengikutinya dengan tajam. Baraka kembali ke tempat semula, mata itu mengikuti. Baraka berjalan ke kanan, mata itu mengikuti. Baraka kembali melangkah ke kiri, juga diikuti. Lama-lama orang besar itu memalangkan kakinya di depan Baraka.
"Pusing!" katanya.
Baraka tertawa kecil. Hatinya merasa geli. Ia tahu maksud ucapan itu. Logo merasa pusing melihat Baraka mondar-mandir.
"Kalau kau pusing melihatku mondar-mandir, tinggalkanlah aku."
Logo gelengkan kepala. "'Tugas," katanya.
"Tugas? Kau punya tugas apa?"
“Tangkap... kau!" ia menuding Baraka. Suaranya sedikit menggeram.
"Siapa yang memberimu tugas menangkapku?"
"Ratu," jawabnya tegas dan singkat.
"Ratu si
Wwrrr...!Daun-daun yang berjatuhan tak dihiraukan. Logo segera berpaling ke belakang. Baraka sudah bertengger di atas gugusan batu lainnya. Mata Logo menatap garang, tapi mata Pendekar Kera Sakti memandang lembut, bahkan diiringi seulas senyum tipis di bibirnya."Kurang sopan!" geram Logo sambil mengusap kepalanya yang tadi digunakan tumpuan tangan Baraka. Senyum pemuda itu kian lebar. Logo kian menggeram jengkel. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat dan siap menyerang Baraka. Tetapi Pendekar Kera Sakti segera ulurkan tangan ke depan dengan telapak tangan terbuka, ia bermaksud menahan gerakan Logo."Tunggu, tunggu...! Jangan marah dulu!" katanya."Itu tadi hanya contoh. Ya, contoh bahwa kau tak akan bisa menjamahku jika kau mau melawanku. Sedangkan aku di pihak Ki Bwana Sekarat. Kalau kau mau menangkap dia, berarti kau harus berhadapan denganku. Padahal aku tak bisa kau jamah, tapi akulah yang dengan mudah menjamahmu. Apakah itu bukan berarti kau akan m
"Logo adalah anak jin. Jin yang kawin dengan manusia. Ibunya bernama Sumbaruni, ayahnya jin yang bernama Kazmat," tutur Pelangi Sutera dengan mata memandang mesra kepada Baraka. Kalau tak ganteng, tak mungkin dipandang selembut itu."Teruskan," kata Baraka sambil mengorek kayu api agar api itu tak padam."Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa di Gunung Sesat. Waktu itu nama gunung tersebut adalah Gunung Winukir. Petapa itu tak punya anak, dan tak punya istri. Ketika mau meninggal, seluruh ilmunya diturunkan kepada Sumbaruni.""Apakah Sumbaruni tidak diambil istri sang petapa?""Tidak. Petapa itu pantang menikah. Tak punya selera kepada wanita. Sumbaruni bukan hanya diwarisi ilmu, tapi juga diwarisi tempat, yaitu puncak Gunung Winukir. Petapa itu berharap Sumbaruni mau pertahankan Gunung Winukir. Tapi jika memang sudah tak sanggup, sang petapa pun tak melarang Sumbaruni turun gunung. Pada mulanya memang Sumbaruni bertahan tinggal di puncak Gunung Winukir
"Logo adalah pengawal sang Ratu. Dulu Logo pernah dikalahkan oleh sang Ratu. Sang Ratu kecewa atas kematian dua utusannya. Logo diutus menyeret pembunuhnya.""Ya, aku sudah dengar dari mulut Logo sendiri, apa tugas orang besar itu.""Ki Bwana Sekarat orang yang diincar oleh sang Ratu untuk dibunuh dalam keputusan pengadilannya. Kau tentunya akan ikut campur karena kau ada di pihak Ki Bwana Sekarat. Dan jika kau berhadapan dengan Nila Cendani si Ratu Tanpa Tapak itu, jelas keputusan sang Ratu akan berubah. Dia akan naksir kamu dan ingin menikah denganmu."Pendekar Kera Sakti tersenyum malu. "Ah, itu belum tentu. Tak ada alasannya sang Ratu berbalik pikiran begitu.""Alasannya ada. Alasannya ialah... kau tampan dan menawan hati," jawaban ini agak pelan, seakan tercetus tulus dari dasar lubuk hati Pelangi Sutera. Tapi murid Setan Bodong itu hanya cengar-cengir mencoba tak mengakui kebenaran ucapan itu."Aku bersungguh-sungguh. Kau punya daya pikat yan
"Logo sudah tak berani pulang kepada Ratu Tanpa Tapak. Itu berarti Logo sudah berpihak kepadamu. Untuk menghindari bencana itu, turutilah saranku, Baraka. Jangan sampai kau jatuh dalam pelukan Nila Cendani, sebab jika terjadi begitu maka aku akan mengadu nyawa dengannya. Pasti dia yang akan tumbang.""Kenapa tidak kau tumbangkan saja ratu itu?""Dalam urutan silsilah, aku adalah neneknya Nila Cendani. Dia cucu dari almarhum adik bungsuku."Karena bingungnya, Baraka hanya berkata, "Udara memang panas. Aku perlu cari angin ke luar gua dulu.""Boleh aku menemanimu?"Murid Setan Bodong itu hanya memandang dan memberikan seulas senyum, ia sudah berdiri, tapi tak memberi jawaban pasti, lalu ia mengnakan pakaiannya kembali dan ia melangkah keluar gua.Ternyata di luar keadaan terang benderang. Rembulan memancarkan sinarnya ke bumi tidak tanggung-tanggung lagi. Udara panas itu mungkin disebabkan uap air laut yang menyimpan panas matahari pada waktu
KALAU bukan karena demi menyelamatkan Angon Luwak, Ki Bwana Sekarat tak mungkin menyerah kepada orang-orang Gunung Sesat, dua dari tujuh orang yang menangkap Ki Bwana Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan. Satu orang dilumpuhkan oleh Raja Maut, satu lagi dilumpuhkan oleh Ki Bwana Sekarat sendiri. Tetapi Raja Maut segera tumbang di tangan Lasogani, pentolan dari ketujuh orang tersebut. Sedangkan Ki Bwana Sekarat terpaksa hentikan perlawanannya karena Angon Luwak digunakan sandera oleh mereka.Kini tubuh Ki Bwana Sekarat dililit rantai. Kedua tangannya dikebelakangkan dalam keadaan terbelenggu rantai. Dari bawah pundak sampai ke perut pun dililit rantai. Rantai itu bukan sembarang rantai. Lasogani mempunyai rantai penjerat yang dinamakan 'Rantai Neraka'. Jika orang yang dijerat rantai itu berontak ingin melepaskan diri, maka rantai itu akan menjadi lebih kencang sendiri. Semakin orang yang dijerat berontak terus, semakin kuat rantai itu menjerat. Bisa-bisa memotong bagian tubuh orang terse
Balung Kere sudah berhasil mencabut kapaknya, ia maju setindak dan berkata bagaikan tanpa perasaan apa-apa."Sekarang sudah waktunya un... un... un... un..."Balung Kere sulit bicara, karena Juru Bungkam menyambar sesuatu di depan dadanya dan tangan menggenggam bagaikan menangkap lalat. Itulah jurus pembungkam yang dimilikinya, membuat Balung Kere menjadi sulit bicara. Tapi agaknya Balung Kere masih memaksakan diri untuk bicara, sehingga mulutnya tercengap-cengap dan badannya bergerak-gerak, kepalanya oleng sana-sini karena ingin ucapkan sesuatu."Kuuk... mmuuk... kekk... seeekk... buuuk... ngggiiik... ngiiik....""Hoi...!" bentak Lasogani. "Ngomong apa kau ngak-ngik, ngak-ngik, begitu!"Balung Kere menuding-nuding Juru Bungkam sambil memandang Lasogani."Sul... sulll suull... ngiiik... ngook... nyuk... nyuk....""Dia dibungkam orang itu," kata Tamboi yang berada tak jauh dari Lasogani. Hal itu membuat Lasogani kian jengkel.Tangan Ki Parandito masih menggenggam di depan dada. Balung
Claaap...!Dari ujung tongkatnya keluar panah kecil berwarna merah. Panah itu rupanya adalah panah besi yang amat beracun dan bertenaga dalam tinggi. Napas Setan segera menangkis dengan tombak trisula, mengibaskan panah itu ke samping.Trang...! Duaaar...!Nyala api memercik akibat tangkisan dua senjata ampuh itu. Ledakan yang timbul merontokkan dedaunan di sekeliling mereka. Bahkan ada beberapa dahan yang masih muda patah dan berjatuhan. Tombak trisula itu diputar cepat.Wut, wut, wut...! Tahu-tahu sudah berada di samping Napas Setan yang berdiri tegak dengan kaki kekar merenggang sedikit, ia menampakkan sikap perkasanya dengan lirikan mata yang tajam mempunyai gairah membunuh dengan kejamnya. Lirikan mata itu membuat Ki Lumaksono tersenyum tipis. Ki Parandito segera melangkah dengan santai sambil mengayunkan tongkatnya.Kini jarak Ki Parandito dengan Napas Setan hanya tiga tindak. Tokoh tua berjubah merah itu menampakkan ketenangannya walau ia berkata dengan suara berat, "Keluarkan
"Biasanya orang yang terkena jurus 'Petir Biru' milikmu itu akan hancur. Tapi orang itu tetap utuh. Hanya pakaiannya yang rusak berat. Hebat sekali!"Ki Lumaksono agak malu juga mendengar bisikan itu. Seolah-olah jurus andalannya tidak berguna bagi lawan seperti si Paruh Pendek. Ki Lumaksono hanya diam, terpaku di tempat memandangi Paruh Pendek.Asap makin hilang, wujud Paruh Pendek makin jelas. Lasogani sedikit lega melihat temannya tak mengalami cedera. Balung Kere yang sudah berhasil bangkit lagi itu tertegun bengong melihat keadaan Paruh Pendek yang hampir tidak berpakaian itu."Serang lagi! Serang lagi mereka, Paruh Pendek!" seru Balung Kere memberi semangat. Tetapi Paruh Pendek tetap diam di tempat dengan senyum tetap tersungging tipis sejak tadi.Lasogani pun segera memberi perintah, "Balas perbuatan mereka, Paruh Pendek. Balas sekarang juga, Bodoh!"Tetapi Balung Kere menjadi berkerut dahi melihat Paruh Pendek tidak bergerak sejak tadi. Pel
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"Pendekar Kera Sakti punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!Itu berarti Baraka harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka, hatinya pun membatin, "Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"Pendekar Kera Sakti dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal
Diamnya Baraka dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi, "Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!""Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi hatimu di depanku?""Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!""Aneh!" Baraka tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!""Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri!""Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Baraka hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi, "Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"Baraka kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"Zlaaap...! Weesss...!
"Apa bahaya itu?""Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut."Baraka berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal, maksudmu?""Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling Malaikat.""Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal?"Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang."Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus
Tak ada jawaban. Ilmu ‘Ilmu Menyadap Suara Angin’ digunakan. Ternyata memang tak ada suara siapa-siapa ditempat itu. Akhirnya Baraka duduk di salah satu tepi danau itu."Ke mana anak itu? Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."Sesaat kemudian di hati Pendekar Kera Sakti timbul kecemasan yang samar-samar. "Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian. Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus melumpuhkan mereka?"Pikiran Baraka sempat melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa ked
Jaaab...!Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput-rumputnya rontok dan mengering kecoklatan."Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari Baraka tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke belakang terpekik kaget."Hahhh...!"Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi Baraka yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu."Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut."Tapi dapatkah kau tetap bertahan den
Baraka ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani."Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa ada sikap memaksa!""Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!""Apa maksud kata-katanya?" pikir Baraka setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Baraka segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Baraka rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting."Uuhg...!"Bruuk...!"Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan kekuatan batinnya