"Ke mana saja kalian, matahari nyaris tenggelam, baru tiba!"
Senyum di bibir Zhou sirna ketika Qiao menepuk keras kepalanya. Gadis itu langsung menggandeng, membawa Zhou masuk ke penginapan.
Tanpa mereka sadari Shi melihat bagaimana gadis itu menggenggam tangan adiknya. Ada perasaan dongkol, cemburu, tapi Zhou masih kecil, mungkin saja Qiao melakukan ini karena menganggap Zhou sebagai adik.
Shi memandang telapak tangan. Walau pikiran berkata seperti itu tapi dia … benar-benar ingin digandeng.
"Kak, ayo sini!" keluh Zhou melambai-lambai di dalam penginapan, membuat Shi tersadar dari lamunan.
Shu berlari kecil menyusul keduanya. Mereka bertiga menaiki anak tangga menuju kamar di lantai empat. Nyaris tiada kamar kosong di setiap lantai.
Liu Bian kembali ke dunia bawah sadar setelah matahari terbenam. Baru juga menapakkan kaki di kebun bunga, suara ribut menyambut. "Zhou biadab!" teriak Qiu mengejar Zhou. "Berani sekali kamu menciumku!" "Hanya pipi, apa salah?" Bian menarik kerah belakang hanfu yang Zhou kenakan sembari mencegah Qiu menangkapnya. "Zhou, aku minta tolong jangan terlalu dekat dengan Nona Qiao." "Kenapa?" Zhou mesem- mesem. "Hayo, kamu suka dia ya?" Qiu menjambak rambut Zhou dari samping. Dia benar-benar marah. "Mulutmu jaga! Qiao tidak suka Bian, dia suka kamu bodoh! Kan badan yang kalian pakai badanmu!"
Sementara itu pagi di kediaman Cao Cao di kota Luoyang, Cao Cao memberi instruksi bagi para pelayan rumah untuk merapikan barang-barang. "Taruh di atas kereta kuda nomor tiga," ucapnya. "Suamiku." Seorang wanita cantik berbadan kurus menghampiri Cao Cao. "Kenapa mengangkut barang-barang sebanyak ini?" Cao Cao mengecup pipi Cao Liu, istri pertama yang tercinta. "Jaga Ayahku, ya. Katanya dia sakit." "Iya aku paham, tapi kenapa harus membawa barang banyak. Cao Ang bisa di sini bersamamu." "Mereka ikut saja denganmu, tanpamu pasti mereka menggangguku," keluh Cao memasang wajah manja. Istrinya mencubit hidung Cao Cao. "Kamu mengusir kami karena ingin menikah lagi?"
Membuat Lu Bu bertemu dengan Diao Chan tidak sulit. Membuat Diao Chan suka Lu Bu juga akan mudah. Walau Lu Bu kasar, memiliki wajah tampan serta badan kekar idaman wanita. Cao Cao mengajak Lu Bu menyamar menjadi warga biasa dan bertemu Diao Chan di pasar. Pasar sangat ramai oleh penjual dan pembeli, jalanan becek, aroma campur aduk. Keduanya berdesakan mencari bidadari. "Mana dia? Kamu tidak bohong, kan?" tanya Lu Bu, berjinjit-jinjit mencoba mencari Diao Chan. "Harusnya aku membawa pasukan, biar mereka menariknya ke hadapanku." "Haiya, jika kamu melakukan itu Diao Chan bakal takut. Kamu mau cinta sejati atau cinta terpaksa?" Lu Bu terkekeh. "Sejati, lah."
"Apa yang kamu lakukan dengan belati itu?" tanya Hua Xiong. "Jatuhkan atau kubunuh kamu!" Cao Cao semakin panik ketika Dong Zhuo melotot tajam kepadanya. Belati telah keluar dari sarung, jelas tidak mudah mengarang alasan untuk keluar dari situasi ini. "Mau apa kamu, hmm!" sentak Dong Zhuo. Cao Cao langsung bertekuk lutut, tertunduk menyajikan belati dengan kedua tangan pada Dong Zhuo. "Hamba ingin memberi belati sakti kepada Tuan." Hua Xiong bertukar pandang bingung dengan Dong Zhuo. Dong Zhuo bangkit mengambil belati, mengamati dengan seksama benda itu. "Ini pisau dapur?" "Itu b
Bersama teman-teman, Sima Zhou mendaki gunung menuju perguruan Huasan. Banyak calon murid melakukan hal yang sama. "Capek," keluh Zhou mengusap kening yang basah keringat. "Kak apa masih jauh?" Shi mengangguk tanpa menjawab. Hatinya masih terkubur dalam kecemburuan. "Ini minumlah," tawar Qiao memberi wadah air terbuat dari bambu pada Zhou. Zhou hendak menerima, tapi teringat ucapan Bian. Dia mengamati Shi yang melangkah sambil sesekali memandang ke belakang. Pandangan sinis itu membuat Zhou semakin yakin jika Shi cemburu. "Ahm, aku tidak haus." Dia mempercepat langkah meninggalkan Qiao. "Kak minta minum," pinta Zho
"Baiklah, yang dipanggil maju," ucap guru muda, mulai membaca daftar nama yang dia pegang. Setiap nama yang dipanggil maju untuk menerima kertas. Kertas hijau tanda lulus sementara kertas putih tanda gagal, disertai uang saku untuk pulang. Satu persatu nama peserta dipanggil. Sebagian pulang tanpa semangat dan sebagian riang menerima kertas hijau. Deng Ai dan Deng Qiao lulus. Setelah mendapat kertas hijau, mereka memilih tetap berada di sana, menanti hasil tes dua teman baru mereka. "Sima Shi, maju," panggil guru. Shi enggan melepas gandengan pada adiknya. Walau tadi sempat cemburu buta, ikatan kasih sayang adik-kakak lebih besar. Matanya berkaca-kaca takut jika keterima. Bagaimana dengan Zhou kelak? "Zhou
Kuda Cao Cao kena racun dan tewas di tengah jalan. Terpaksa dia melangkah sendiri. Beruntung pakaian yang dia kenakan lumayan tebal hingga anak panah yang menancap di punggung tidak mengenai tubuh. Malam semakin larut. Dia tidur di pinggir jalan, menyelimuti diri pakai rerumputan. Sebagai penangkal hewan buas dia sengaja menaburi garam di sekitar, mengolesi badan pakai kotoran. Cahaya bulan dan bintang menemaninya. "Lagi-lagi Dewa mempermainkanku." Suara semak bergoyang membuatnya waspada mengeluarkan pedang. Binatang buas atau manusia? Tiba-tibau puluhan pasukan kekaisaran bertombak datang menyergap. Cao Cao terlalu lemah untuk bergerak. Seorang penunggang kuda mendekat. Menyeringai melihatnya. "Halo C
Entah permainan apa yang Dewa lakukan hingga Cao Cao terselamatkan dengan cara aneh. Dari malam sampai matahari bersinar terang mereka tak henti berkuda. Cheng Gong meninggalkan pekerjaan demi menemani pahlawan tanpa persiapan matang. Hanya kuda dan sekantong uang serta empat kendi arak menemani mereka. Keduanya tidak memakai jalan utama. Mereka memakai jalan kelinci yang hanya diketahui oleh orang desa setempat. Chen Gong mengusap kening yang berkeringat sambil memacu santai kudanya yang mulai kelelahan. "Ternyata Kakek pencari kayu tadi benar, ya." Cao Cao terkekeh. "Ya. Kita sangat beruntung poster buronan belum sampai ke desa-desa. Andai sudah sampai, mereka pasti berlomba-lomba membunuhku."
Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"
Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n
Sementara itu di pelabuhan Yang Feng, pelabuhan dekat kota Ye, puluhan kapal besar berlabuh dikawal ratusan kapal kecil dan ribuan sampan. Cahaya obor mewarnai sungai kuning di malam hari, mempertontonkan bendera Cao Cao yang berkibar di masing-masing kapal. Semua warga berkumpul di depan rumah masing-masing, menunjuk-nunjuk ribuan prajurit yang berbaris menuju utara. Para warga mulai berbisik. "Wah, bukankah Cao Cao telah mengalahkan Yuan Shao, kenapa pasukan mereka masih siaga seperti ini?" "Haiya, Perdana Menteri mungkin ingin menghabisi seluruh penduduk utara karena mendukung Yuan Shao." Mereka berhenti bicara ketika Quan Long bersama beberapa jendral berkuda
Ini ucapan pertama Liu Bang setelah beberapa jam berdiam diri."Baik, selamatkan rakyat dari tirani adalah hal terpenting."Zhou lega, mengetahui Liu Bang orang baik. Namun, dia sadar, pasti sulit mengucapkan tirani pada sesuatu yang dia bangun sepenuh jiwa dulu. Sesuatu yang diyakini berbeda dari dinasti sebelumnya.Liu Bang berbalik menghadap Zhou. Lagi-lagi dia memberi raut wajah yang serius. "Aku merasakan dua tenaga dalam dirimu. Katakan, apa kalian melakukan transfer ruh?"Zhou mengangguk."Kenapa? Siapa yang kehilangan badan?"Zhou menceritakan apa yang terjadi pada Liu Bang karena percaya buyut Liu Bian tidak memiliki niat jahat kepadanya.
Liu Bang masih terpukul. Kedua telapak tangannya menekan dua sisi pelipis, memandang pantulan wajah di jernih air danau."Bian, bagaimana ini?" tanya Zhou dalam tubuh Bian. "Cepat selidiki, sebenarnya apa yang terjadi."Tanpa disuruh pun Bian ingin bertanya, hanya saja dia menanti saat yang tepat, melihat kondisi pemuda itu membuatnya sungkan untuk mendesak.Liu Bang tertawa histeris menggeleng cepat. "Dewa naga sialan, dia benar-benar berhasil membuat danau rembulan!"Dia berbalik mencengkram kedua lengan Zhou. "Kamu berhasil masuk, berarti kamu keturunanku. Katakan, keturunan ke berapa dan bagaimana keadaan di luar sana?""A-aku keturunan ke-13. Keadaan di luar kacau balau. Setelah nyaris empat ratus tahun Han berdiri
Pertukaran terjadi. Sekarang Bian memegang kendali tubuh Zhou.Dia berdiri membawa obor abadi, mengamati kemegahan dinding batu raksasa berlumut dengan seksama. Sesekali dia meraba-raba dinding berharap menemukan keajaiban seperti tempo hari, di mana dia tidak sengaja menekan tombol rahasia yang membuat pintu terbuka.Sambil memakan biji padi dia duduk bersila mengamati pintu raksasa berhias tanaman hijau memanjang bak tirai."Zhou, menurutmu bagaimana?" tanya Bian.Tidak ada jawaban dari sahabat di dalam alam bawah sadar."Hei, bantu berpikir.""Ah berisik, aku sedang menikmati arak!"Bian menghela napas panjang. Terkadang
Pertukaran kuasa atas tubuh terjadi seperti biasa. Keduanya silih berganti, menahan lapar juga haus. Zhou duduk bersila kaki menggaruk kepala seperti kera kutuan walau tidak gatal. Entah berapa lama dia menunggu sampai kuku memanjang, pipi cekung, bibir pecah-pecah. Rupa Zhou seperti mayat hidup. Hingga detik ini dia sabar menanti. Dengan nada panjang yang malas, dia bertanya, "Bian, bagaimana sekarang? Sudah ketemu belum jalan keluarnya?" Dalam alam bawah sadar Bian menjawab, "Ikuti sumber kehidupan menuju kehidupan. Haiya … apa maksudnya coba?" Zhou berdecak sebal, selalu pertanyaan yang sama, selalu kalimat yang sama. Dia tak pernah akur dengan puisi, bagaimana mungkin bisa mengerti?
Zhou menghindari serangan musuh tanpa melepas batu besi inti bumi yang meluncur menuju dasar danau. Keduanya tercengang ketika melihat sosok musuh. Mereka pernah bertemu sosok manusia ikan ketika pertama kali bertemu dengan Qiu Niu, dalam dunia bawah sadar. Namun, baru kali ini mereka berhadapan dengan para manusia ikan di dalam air. Gerakan mereka seperti ikan koi menyerang capung. Senjata tombak spatula bermata tiga begitu tajam juga bercahaya terang. Mereka memakai senjata dengan cara menyodok. Selama perjalanan Zhou hanya bisa menghindar. Gerak badannya lambat di dalam air, membuat menghindari serangan sangat susah. Zhou masuk ke dalam gelembung kasat m
Sementara itu di tepi danau rembulan, Zhou belum juga masuk ke dalam danau."Kakek, sekarang apa?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.Dua Kakek terkekeh. Kakek putih mengayun tangan, memberi kode para dayang untuk menaruh kendi raksasa ke tepi danau rembulan.Yu An dan Yu En datang membawa kayu pipih besar, juga cairan aneh dalam kendi berukuran sedang."Kakak tenang saja," jawab Yu An, senyumnya mampu membuat Zhou sedikit rileks.Jika gadis kalem menyuruhnya tenang, bukankah berarti semua baik-baik saja?Yu An menuang cairan itu ke dalam kendi berisi air, lalu Yu En dan Kakek mengaduk perlahan memakai kayu pipih.Aroma sabun