Kuda Cao Cao kena racun dan tewas di tengah jalan. Terpaksa dia melangkah sendiri. Beruntung pakaian yang dia kenakan lumayan tebal hingga anak panah yang menancap di punggung tidak mengenai tubuh.
Malam semakin larut. Dia tidur di pinggir jalan, menyelimuti diri pakai rerumputan. Sebagai penangkal hewan buas dia sengaja menaburi garam di sekitar, mengolesi badan pakai kotoran.
Cahaya bulan dan bintang menemaninya. "Lagi-lagi Dewa mempermainkanku."
Suara semak bergoyang membuatnya waspada mengeluarkan pedang. Binatang buas atau manusia?
Tiba-tibau puluhan pasukan kekaisaran bertombak datang menyergap. Cao Cao terlalu lemah untuk bergerak.
Seorang penunggang kuda mendekat. Menyeringai melihatnya. "Halo C
Entah permainan apa yang Dewa lakukan hingga Cao Cao terselamatkan dengan cara aneh. Dari malam sampai matahari bersinar terang mereka tak henti berkuda. Cheng Gong meninggalkan pekerjaan demi menemani pahlawan tanpa persiapan matang. Hanya kuda dan sekantong uang serta empat kendi arak menemani mereka. Keduanya tidak memakai jalan utama. Mereka memakai jalan kelinci yang hanya diketahui oleh orang desa setempat. Chen Gong mengusap kening yang berkeringat sambil memacu santai kudanya yang mulai kelelahan. "Ternyata Kakek pencari kayu tadi benar, ya." Cao Cao terkekeh. "Ya. Kita sangat beruntung poster buronan belum sampai ke desa-desa. Andai sudah sampai, mereka pasti berlomba-lomba membunuhku."
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Chen Gong, memandang bandit lalu memandang heran Cao Cao. "Haiya, apa kamu akan menyerah begitu saja setelah petualanganmu selama ini? Aku yakin bandit seperti mereka, setelah mendapat apa yang mereka mau, akan langsung membunuh kita." Cao Cao terkekeh kecil. "Aku harusnya sudah mati ketika kamu tangkap kemarin malam. Nyatanya tidak, kan? Dewa masih ingin bermain-main denganku, dia belum bosan, jadi aku tidak akan mati." Ucapan Cao Cao hanya membuat Chen Gong kesal. "Cukup berkata-kata. Katakan apa rencanamu." Chen Gong menanti jawab cukup lama tapi Cao Cao malah turun dari kuda. "Haiya, dasar!" Chen Gong tidak punya pilihan lain selain ikut turun menemani Cao Cao sambil menarik tali kemudi kedua kuda mereka.
Mendengar semua itu membuat Cao Cao berpikir cepat. Dia mengoper pedang pada sahabatnya lalu berdua mereka keluar kamar, bersenjatakan pedang yang telah keluar dari sarung pedang masing-masing. Kehadiran Cao Cao dan Chen Gong membuat terkejut dua pemuda di depan kamar. Kedua pemuda itu membawa golok di tangan masing-masing. Sepertinya dugaan Chen Gong benar. Keluarga Luboshe menjual mereka dan jelas mereka hendak memenggal kepala Cao Cao dan Chen Gong demi uang hadiah. "Tuan Cao Cao, ada apa?" tanya salah satu pemuda dengan ramah. Cao Cao menjawab dengan sadis menusuk perut pemuda. Pemuda kedua ketakutan sampai badannya bergetar dan tidak bisa bergerak. Cekatan C
Setelah dosa besar yang mereka lakukan, Cao Cao dan Chen Gong bingung harus apa. Luboshe orang baik. Tetapi mereka mengkhianati kebaikannya. "Ada apa, kenapa buru-buru? Matahari belum terbit," ucap Luboshe, turun dari kuda pamer beberapa kendi mahal. "Lihat, arak ini enak. Ayo kita pulang dulu ke rumah menikmati arak." Chen Gong menangis karena hal ini. Dia turun bersama Cao Cao dan menjadi yang pertama memeluk kaki Luboshe. "Maafkan kami, Paman. Maafkan dosa kami." "Haiya." Luboshe yang baik salah mengerti. Dia membantu Chen Gong berdiri, merapikan pakaian pria itu. "Kenapa sampai berlutut? Tidak apa-apa, aku tahu kalian tidak betah di rumah kan?" "Bukan begitu, tapi--" Ca
Nyala obor Cao Cao bergoyang-goyang menyinari tembok batu berlumut goa. Kelelawar beterbangan seakan menyambut dengan kepak sayap hitam. Beberapa kali dia nyaris terjerembab, hingga langkah membawa sampai ke ujung goa. Batu besar menutupi jalan. Dia meraba-raba tembok batu mulus hingga telapak tangan menekan sesuatu yang menjorok masuk. Tembok itu terbuka secara otomatis ke atas. Nyala obor di dalam ruang pengap menyala satu persatu. "Haiya, ruang apa ini?" Cao Cao masuk ke dalam. Terdapat batu besar di bagian tengah ruang goa. Di batu itu, sebuah pakaian perang berdiri gagah di belakang sebuah kitab berdebu. (Baju perang Xiang Yu, tombak Xiang Yu, kitab aura hitam Xiang Yu)
Sekarang giliran Bian menguasai tubuh Zhou. Dia memakai pakaian putih hijau yang sangat nyaman juga lembut. Bian paling suka mengelus pakaian supaya tidak kusut. Ketika murid baru lain memakai waktu mereka untuk menjelajah Huasan, Bian menentukan sarang barunya. Bagai ikan koi masuk ke dalam sungai, setelah pelajaran pertama dia mendekam di perpustakaan. "Haiya Bian! Kalau cuma mau membaca, mending di dunia bawah sadar!" protes Zhou dalam alam bawah sadar. "Membosankan sekali, mending melihat orang berlatih ilmu bela diri, Bian, ayo pergi, Bian, aku bosan!" "Zhou diam," bisik Bian. "Jangan menggangguku. Lihat, banyak buku tua yang tidak dimiliki perpustakaan kerajaan. Aku ingin membaca semua."
Tiga senior Huasan melangkah cepat di lorong menuju paviliun utama. Mereka tidak peduli menabrak orang, tiada yang berani menghalangi langkah mereka.Mereka tiga serangkai Bu. Bu Bo berbadan gendut, Bu Bi berbadan kurus dan Bu Ba berbadan kekar.Mereka melihat adegan terlarang, adegan panas di perpustakaan. Sangat tabu bagi orang Huasan berciuman sebelum umur mereka cukup.Mereka tahu data murid-murid baru. Qiao memang cukup umur, tapi Zhou dia belum lima belas tahun."Kita harus melapor, supaya dia ditendang ke luar Huasan," ucap Bi. Giginya depan besar seperti gigi tikus."Biar saja, namanya anak muda," jawab Ba di tampan, merapikan rambut. Dia mengedip ketika melihat gadis, mengundang mereka tersenyum.
"Ada apa ini?" tanya Bu Guru. "Dia menyerang duluan," sahut Bi menunjuk Shi. "Tanya sama yang lain, mereka melihat kok!" "Sekarang ikut ke pagoda Air Terjun!" bentak Bu Guru. "Murid senior, bawa mereka sekarang juga!" Para senior melempar kain melayang. Kain putih sutra tembus pandang, tapi sangat kuat menggulung badan ke empat pria. Kain berfungsi seperti tali tambang. Mereka ditarik menuju pagoda Air Terjun, di belakang air terjun, tempat guru Tao Jin berada. Asap dupa wangi semerbak di ruang kayu pagoda. Di depan patung Budha emas bertangan delapan, Tao Jin duduk di atas bantal. "Permisi Guru, ada pelanggaran yang terjadi." Lima murid di lempar ke hadapan guru Tao Jin. Bu
Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"
Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n
Sementara itu di pelabuhan Yang Feng, pelabuhan dekat kota Ye, puluhan kapal besar berlabuh dikawal ratusan kapal kecil dan ribuan sampan. Cahaya obor mewarnai sungai kuning di malam hari, mempertontonkan bendera Cao Cao yang berkibar di masing-masing kapal. Semua warga berkumpul di depan rumah masing-masing, menunjuk-nunjuk ribuan prajurit yang berbaris menuju utara. Para warga mulai berbisik. "Wah, bukankah Cao Cao telah mengalahkan Yuan Shao, kenapa pasukan mereka masih siaga seperti ini?" "Haiya, Perdana Menteri mungkin ingin menghabisi seluruh penduduk utara karena mendukung Yuan Shao." Mereka berhenti bicara ketika Quan Long bersama beberapa jendral berkuda
Ini ucapan pertama Liu Bang setelah beberapa jam berdiam diri."Baik, selamatkan rakyat dari tirani adalah hal terpenting."Zhou lega, mengetahui Liu Bang orang baik. Namun, dia sadar, pasti sulit mengucapkan tirani pada sesuatu yang dia bangun sepenuh jiwa dulu. Sesuatu yang diyakini berbeda dari dinasti sebelumnya.Liu Bang berbalik menghadap Zhou. Lagi-lagi dia memberi raut wajah yang serius. "Aku merasakan dua tenaga dalam dirimu. Katakan, apa kalian melakukan transfer ruh?"Zhou mengangguk."Kenapa? Siapa yang kehilangan badan?"Zhou menceritakan apa yang terjadi pada Liu Bang karena percaya buyut Liu Bian tidak memiliki niat jahat kepadanya.
Liu Bang masih terpukul. Kedua telapak tangannya menekan dua sisi pelipis, memandang pantulan wajah di jernih air danau."Bian, bagaimana ini?" tanya Zhou dalam tubuh Bian. "Cepat selidiki, sebenarnya apa yang terjadi."Tanpa disuruh pun Bian ingin bertanya, hanya saja dia menanti saat yang tepat, melihat kondisi pemuda itu membuatnya sungkan untuk mendesak.Liu Bang tertawa histeris menggeleng cepat. "Dewa naga sialan, dia benar-benar berhasil membuat danau rembulan!"Dia berbalik mencengkram kedua lengan Zhou. "Kamu berhasil masuk, berarti kamu keturunanku. Katakan, keturunan ke berapa dan bagaimana keadaan di luar sana?""A-aku keturunan ke-13. Keadaan di luar kacau balau. Setelah nyaris empat ratus tahun Han berdiri
Pertukaran terjadi. Sekarang Bian memegang kendali tubuh Zhou.Dia berdiri membawa obor abadi, mengamati kemegahan dinding batu raksasa berlumut dengan seksama. Sesekali dia meraba-raba dinding berharap menemukan keajaiban seperti tempo hari, di mana dia tidak sengaja menekan tombol rahasia yang membuat pintu terbuka.Sambil memakan biji padi dia duduk bersila mengamati pintu raksasa berhias tanaman hijau memanjang bak tirai."Zhou, menurutmu bagaimana?" tanya Bian.Tidak ada jawaban dari sahabat di dalam alam bawah sadar."Hei, bantu berpikir.""Ah berisik, aku sedang menikmati arak!"Bian menghela napas panjang. Terkadang
Pertukaran kuasa atas tubuh terjadi seperti biasa. Keduanya silih berganti, menahan lapar juga haus. Zhou duduk bersila kaki menggaruk kepala seperti kera kutuan walau tidak gatal. Entah berapa lama dia menunggu sampai kuku memanjang, pipi cekung, bibir pecah-pecah. Rupa Zhou seperti mayat hidup. Hingga detik ini dia sabar menanti. Dengan nada panjang yang malas, dia bertanya, "Bian, bagaimana sekarang? Sudah ketemu belum jalan keluarnya?" Dalam alam bawah sadar Bian menjawab, "Ikuti sumber kehidupan menuju kehidupan. Haiya … apa maksudnya coba?" Zhou berdecak sebal, selalu pertanyaan yang sama, selalu kalimat yang sama. Dia tak pernah akur dengan puisi, bagaimana mungkin bisa mengerti?
Zhou menghindari serangan musuh tanpa melepas batu besi inti bumi yang meluncur menuju dasar danau. Keduanya tercengang ketika melihat sosok musuh. Mereka pernah bertemu sosok manusia ikan ketika pertama kali bertemu dengan Qiu Niu, dalam dunia bawah sadar. Namun, baru kali ini mereka berhadapan dengan para manusia ikan di dalam air. Gerakan mereka seperti ikan koi menyerang capung. Senjata tombak spatula bermata tiga begitu tajam juga bercahaya terang. Mereka memakai senjata dengan cara menyodok. Selama perjalanan Zhou hanya bisa menghindar. Gerak badannya lambat di dalam air, membuat menghindari serangan sangat susah. Zhou masuk ke dalam gelembung kasat m
Sementara itu di tepi danau rembulan, Zhou belum juga masuk ke dalam danau."Kakek, sekarang apa?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.Dua Kakek terkekeh. Kakek putih mengayun tangan, memberi kode para dayang untuk menaruh kendi raksasa ke tepi danau rembulan.Yu An dan Yu En datang membawa kayu pipih besar, juga cairan aneh dalam kendi berukuran sedang."Kakak tenang saja," jawab Yu An, senyumnya mampu membuat Zhou sedikit rileks.Jika gadis kalem menyuruhnya tenang, bukankah berarti semua baik-baik saja?Yu An menuang cairan itu ke dalam kendi berisi air, lalu Yu En dan Kakek mengaduk perlahan memakai kayu pipih.Aroma sabun