Seorang pria paruh-baya dengan panik menggendong Sima Zhou yang terluka parah masuk ke rumah. "Petapa Zuo Ci, tolong anak saya!"
Seketika Cao Cao memberi jalan baginya untuk masuk. Dia enggan keluar, penasaran dengan apa yang terjadi. Terutama dia melihat sosok yang Sima Yi bawa, bocah kecil itu, Cao Cao menginginkan bocah itu sebagai bejana,
Petapa bangkit menggusur gelas di atas meja untuk mempersiapkan meja sebagai kasur dadakan. "Mari temanku, taruh sini, biar aku periksa Sima kecil."
Petapa membuka pakaian anak kecil di atas meja untuk memeriksa kondisi. Suara detak yang tidak teratur dan begitu tipis serta darah yang keluar semakin banyak dari luka membuatnya cemas. "Gawat, tenaga chi-nya terlalu kecil."
Telapak tangan petapa berputar mengumpulkan energi sebelum mendarat ke dada kiri bocah. Asap putih keluar dari sana dan membuat badan petapa bergetar hebat. Darah segar keluar dari kedua sisi bibir petapa menetes membasahi pakaian, tapi beliau t
Cao Cao menarik Sima Shi mendekat. "Adik, sebenarnya apa yang terjadi pada adikmu?" "Tadi kami bertemu pencuri kuda, dan ... pencuri itu menyabet Adik memakai benda ini." Sima Shi mengeluarkan pedang yang dia pungut di jalan, pedang yang masih berlumur darah Zhou. "Aku benar-benar menyesal. Andai aku mampu menahan sakit perut maka--" Cao Cao membungkam mulut Shi. "Semua takdir, bukan salahmu, Nak." Terlebih jika tidak ada insiden itu, Cao Cao belum tentu mampu membawa pulang bejana untuk Bian. Dia ingin berterima kasih pada Shi, tetapi melihat bocah itu menangis, Cao Cao tidak tega. Dia bukan monster yang mampu melakukan itu. Cao Cao memeriksa pedang dan seketika tahu dari lambang di badan gagang, pedang itu milik pasukan berkuda. Sekarang tangannya bergetar memikirkan apa yang terjadi. Mungkin pasukan itu sudah sampai Hu Lau, atau bahkan ke Luo Yang memberi tahu apa yang terjadi kepada Dong Zhuo "Petapa, cepat sedikit!" sentak Cao Cao.
Cao keluar dari gubuk sembari membawa badan Bian. Melihat puluhan pasukan berkuda mengelilinginya membuat kaki Cao Cao lemas, tapi dia tetap melangkah mendekati Lu Bu. "Pengkhianat, berani kau--" "Jenderal Lu Bu, apa salahku sampai kau menghinaku sebagai pengkhianat?" "Masih berkelit? Kau kira aku tidak tahu, kau membunuh pasukanmu sendiri lalu bermaksud kabur bersama Bian, kan?" Ucapan Lu Bu menembus akal pikiran dan membuat hati Cao Cao terguncang, ternyata bocah bodoh seperti Lu Bu bisa berpikir cukup jauh di saat seperti ini. Dia terbahak lepas sampai membuat pasukan berkuda bingung. "Kabur? Kamu salah Jenderal, aku tidak akan kabur. Lagi pula kabur ke mana? Seluruh dunia berada di bawah kaki Perdana Menteri sekarang." Lu Bu ytertawa kencang. "Dunia tidak berada di bawah kakinya, tapi dalam genggamanku. Cukup, sekarang jelaskan apa alasanmu membunuh pasukan-pasukan itu." Ujung tombak Lu Bu terangkat nyaris menyentuh leher C
Setelah dipastikan itu adalah Bian, mereka lanjut menuju Luo Yang, Ibukota. Di pagi hari mereka tiba di tujuan dan langsung menuju ke kediaman perdana menteri. Cao Cao semakin cemas ketika Li Ru memerintahkan pasukan elit untuk menjaga setiap pintu keluar, bahkan Lu Bu tidak melepas tombak ketika berada di kediaman perdana menteri. Li Ru tidak melepas pandangannya dari Cao Cao, mengawasi perubahan raut wajah. Li Ru terkenal sebagai seorang cendikiawan cerdas juga mengerti beberapa ilmu aneh. Bisa dibilang jika Lu Bu adalah otot Dong Zhuo, Li Ru otak dari Dong Zhuo. "Heh, ada apa ini?" tanya Dong Zhuo, pria gendut buruk rupa berjenggot hitam lebat seperti jenggot singa. Sembari melangkah dia mengamati Liu Bian yang terbaring kaku dia tertawa. "Bagus Lu Bu, kau berhasil membunuh cecunguk ini." Li Ru menyeringai ketika Cao Cao mengepal erat gagang pedangnya. "Itu memang Liu Bian, dan Cao Cao yang membunuhnya. Masalahnya adalah, kenapa mata Bian h
Sima Zhou terbangun di tempat yang tidak pernah dia datangi.Lahan hijau di mana langit berwarna biru cerah. Di sana ditumbuhi banyak pepohonan cherry yang bergoyang pelan tertiup angin sepoi hangat. Terdengar kicau burung bersahutan di tengah aroma bunga yang tumbuh di sekitar."Apa ini surga?" Dia berdiri merapikan pakaian yang kotor sembari melangkah mengitari taman yang seakan tanpa batas. "Ah, yang penting lukaku hilang. Surga yang sepi, apa semuanya masuk neraka?"Sayup dari kejauhan terdengar suara merdu suling bambu, membuatnya berlari kencang menuju sumber suara.Semakin lama dia berlari keadaan di sekitar perlahan berubah. Langit cerah berangsur gelap. Pepohonan cherry perlahan tergantikan oleh pepohonan pinus. Dia sampai memeluk badan karena udara semakin menusuk kulit.Langkah Zhou melambat ketika melihat seorang pemuda duduk di gazebo di tengah danau. Ia mendekati danau yang sangat jernih hingga memantulkan pemandangan langit bertabur
Suara itu membuat Zhou bergidik. Dia panik berlari memutari Bian. "Waa! Ada hantu!" Zhou bersembunyi di belakang badan Bian yang lebih tinggi darinya. "Tolong Bian, tolong! Aku paling takut hantu!"Bian tersenyum kecil. Aksi Zhou mengingatkan pada seseorang yang sangat dia sayangi, sosok pengecut yang benci kegelapan.Akan tetapi Bian juga sama dengan Zhou. Dia berdiri dengan badan bergetar karena dia sendiri ngeri. Di tangan kanan muncul sebilah pedang. Dia harus melindungi bocah yang lebih kecil, dengan bersikap berani. "S-siapa kamu! Tunjukkan rupamu!""Pedang?" suara lembut itu terdengar kaget dan suara tawanya menggelegar, sampai batuk-batuk. Setelah batuk hilang dia lanjut bicara, "Cukup berani, ya kalian melawan diriku? Berdua lawan satu, apa itu adil?”“Kami masih kecil, apa kamu orang dewasa? Atau juga anak kecil? Jika anak kecil, baiklah, aku akan maju sendiri,” ucap Bian, membuat bungkam suara aneh tadi.“Baiklah
"Kami mengganggu acara tidurmu, kan?" tanya Bian. Sang Naga berhenti berputar. "Ho, iya, gara-gara restoran busuk ini!" kasar ekornya menghancurkan restoran Zhou hingga menjadi puing-puing. Liu Bian tersenyum mendekati Naga. "Bian!" teriak Zhou berusaha menarik lengan sahabatnya. "Apa kau gila? Nanti kau bisa dimakan!" "Qiu Niu," tegur Bian. "Eeh?" Naga itu terdiam. "B-bagaimana kamu bisa tahu?" "Bian, apa maksudmu?" tanya Zhou. "Nu Nu siapa?" "Berengsek!" sentak Qiu. "Namaku Qiu!" "Qiu, aku tahu kamu menyukai musik. Bagaimana kalau aku memainkan musik untukmu?" ujar Bian. "Kamu mau?" tanya Qiu. Matanya tertuju pada suling di tangan Bian. "Jadi kamu ya, yang bermain tadi?" Bian mengangguk. "Tapi dengan syarat." "Apa syaratnya?" tanya Qiu. "Pertama, aku minta kamu membantu kami pergi ke bumi. Kedua, jangan menyerang kami. Ketiga, jadilah sahabat kami." "Kenapa tidak jadikan dia pem
Zhou selalu hiperaktif, jadi dengan mudah dia bisa menarik kerah pakaian Bian dan menariknya jatuh. Dia mengejek dengan mengeluarkan lidah kepada pemuda itu."Apa-apaan kamu, Zhou!" sentak Bian."Biar aku saja. Qiu, jaga Bian ya!" Dan dengan loncatan kelinci, dia masuk ke gerbang."Zhou!" teriak Bian, merangkak maju hendak menggapai sahabatnya. Akan tetapi pintu kehidupan tertutup rapat.Dia mencoba mendorong, mendobrak, menarik, tetapi semua sia-sia.Semua itu hanya menguras tenaga Bian, hingga dia ambruk memukul tanah. "Dasar bodoh!""Ah, persahabatan yang indah." Qiu duduk bersandar pohon sembari memangku satu kaki. Dia bersenandung lagu favorit-nya. Cang hai yi sheng xiao.Perbuatan yang seakan tidak peduli dengan nyawa sahabatnya ini membuat Bian lepas kendali. Dia mencengkeram kerah pakaian naga itu sampai Qiu berdiri. "Kamu, kenapa tidak membantuku mencegah si bodoh itu?""Kenapa harus dicegah?" tanya Qiu, memasang wajah
"Dasar bocah nakal!" sentak Sima Yi, menjewer telinga Sima Zhou. Dia mengira Zhou memanggilnya dengan sebutan berengsek. "Kamu sudah bangun rupanya, hmm? Berani sekali kamu bicara seperti itu kepada Ayah dan Kakek Zuo Ci!" "Ayah, Ayah, ampun, ah, sakit!" Dengan manjanya Zhou meringis, berdiri mengikuti jeweran Ayah yang sangat menyiksa sendi-sendi telinga. Dia bertekuk lutut. Bibir bawah melipat keluar cemberut. Di tengah keramaian Bian berkata dengan nada serius. 'Zhou, tolong jaga rahasia keberadaan kita. Cukup kita yang tahu. Kamu mengerti?' "Ayo sekarang minta maaf pada Kakek Zuo Ci!" sentak Sima Yi, sebenarnya air mata yang keluar adalah air mata bahagia karena anaknya telah siuman. Tapi Sima Yi malu, alhasil dia marah-marah tidak jelas. "Masih kecil sudah badung! Seenaknya sendiri memanggil berengsek, memang dia berengsek tapi jangan jujur-jujur." "Apa?" Sahut Zuo Ci yang duduk di kursi. "Maksud aku, bocah ini berengsek." Sima Yi mencubi
Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"
Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n
Sementara itu di pelabuhan Yang Feng, pelabuhan dekat kota Ye, puluhan kapal besar berlabuh dikawal ratusan kapal kecil dan ribuan sampan. Cahaya obor mewarnai sungai kuning di malam hari, mempertontonkan bendera Cao Cao yang berkibar di masing-masing kapal. Semua warga berkumpul di depan rumah masing-masing, menunjuk-nunjuk ribuan prajurit yang berbaris menuju utara. Para warga mulai berbisik. "Wah, bukankah Cao Cao telah mengalahkan Yuan Shao, kenapa pasukan mereka masih siaga seperti ini?" "Haiya, Perdana Menteri mungkin ingin menghabisi seluruh penduduk utara karena mendukung Yuan Shao." Mereka berhenti bicara ketika Quan Long bersama beberapa jendral berkuda
Ini ucapan pertama Liu Bang setelah beberapa jam berdiam diri."Baik, selamatkan rakyat dari tirani adalah hal terpenting."Zhou lega, mengetahui Liu Bang orang baik. Namun, dia sadar, pasti sulit mengucapkan tirani pada sesuatu yang dia bangun sepenuh jiwa dulu. Sesuatu yang diyakini berbeda dari dinasti sebelumnya.Liu Bang berbalik menghadap Zhou. Lagi-lagi dia memberi raut wajah yang serius. "Aku merasakan dua tenaga dalam dirimu. Katakan, apa kalian melakukan transfer ruh?"Zhou mengangguk."Kenapa? Siapa yang kehilangan badan?"Zhou menceritakan apa yang terjadi pada Liu Bang karena percaya buyut Liu Bian tidak memiliki niat jahat kepadanya.
Liu Bang masih terpukul. Kedua telapak tangannya menekan dua sisi pelipis, memandang pantulan wajah di jernih air danau."Bian, bagaimana ini?" tanya Zhou dalam tubuh Bian. "Cepat selidiki, sebenarnya apa yang terjadi."Tanpa disuruh pun Bian ingin bertanya, hanya saja dia menanti saat yang tepat, melihat kondisi pemuda itu membuatnya sungkan untuk mendesak.Liu Bang tertawa histeris menggeleng cepat. "Dewa naga sialan, dia benar-benar berhasil membuat danau rembulan!"Dia berbalik mencengkram kedua lengan Zhou. "Kamu berhasil masuk, berarti kamu keturunanku. Katakan, keturunan ke berapa dan bagaimana keadaan di luar sana?""A-aku keturunan ke-13. Keadaan di luar kacau balau. Setelah nyaris empat ratus tahun Han berdiri
Pertukaran terjadi. Sekarang Bian memegang kendali tubuh Zhou.Dia berdiri membawa obor abadi, mengamati kemegahan dinding batu raksasa berlumut dengan seksama. Sesekali dia meraba-raba dinding berharap menemukan keajaiban seperti tempo hari, di mana dia tidak sengaja menekan tombol rahasia yang membuat pintu terbuka.Sambil memakan biji padi dia duduk bersila mengamati pintu raksasa berhias tanaman hijau memanjang bak tirai."Zhou, menurutmu bagaimana?" tanya Bian.Tidak ada jawaban dari sahabat di dalam alam bawah sadar."Hei, bantu berpikir.""Ah berisik, aku sedang menikmati arak!"Bian menghela napas panjang. Terkadang
Pertukaran kuasa atas tubuh terjadi seperti biasa. Keduanya silih berganti, menahan lapar juga haus. Zhou duduk bersila kaki menggaruk kepala seperti kera kutuan walau tidak gatal. Entah berapa lama dia menunggu sampai kuku memanjang, pipi cekung, bibir pecah-pecah. Rupa Zhou seperti mayat hidup. Hingga detik ini dia sabar menanti. Dengan nada panjang yang malas, dia bertanya, "Bian, bagaimana sekarang? Sudah ketemu belum jalan keluarnya?" Dalam alam bawah sadar Bian menjawab, "Ikuti sumber kehidupan menuju kehidupan. Haiya … apa maksudnya coba?" Zhou berdecak sebal, selalu pertanyaan yang sama, selalu kalimat yang sama. Dia tak pernah akur dengan puisi, bagaimana mungkin bisa mengerti?
Zhou menghindari serangan musuh tanpa melepas batu besi inti bumi yang meluncur menuju dasar danau. Keduanya tercengang ketika melihat sosok musuh. Mereka pernah bertemu sosok manusia ikan ketika pertama kali bertemu dengan Qiu Niu, dalam dunia bawah sadar. Namun, baru kali ini mereka berhadapan dengan para manusia ikan di dalam air. Gerakan mereka seperti ikan koi menyerang capung. Senjata tombak spatula bermata tiga begitu tajam juga bercahaya terang. Mereka memakai senjata dengan cara menyodok. Selama perjalanan Zhou hanya bisa menghindar. Gerak badannya lambat di dalam air, membuat menghindari serangan sangat susah. Zhou masuk ke dalam gelembung kasat m
Sementara itu di tepi danau rembulan, Zhou belum juga masuk ke dalam danau."Kakek, sekarang apa?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.Dua Kakek terkekeh. Kakek putih mengayun tangan, memberi kode para dayang untuk menaruh kendi raksasa ke tepi danau rembulan.Yu An dan Yu En datang membawa kayu pipih besar, juga cairan aneh dalam kendi berukuran sedang."Kakak tenang saja," jawab Yu An, senyumnya mampu membuat Zhou sedikit rileks.Jika gadis kalem menyuruhnya tenang, bukankah berarti semua baik-baik saja?Yu An menuang cairan itu ke dalam kendi berisi air, lalu Yu En dan Kakek mengaduk perlahan memakai kayu pipih.Aroma sabun