Dylan menghela napas panjang saat melihat Liam berdiri bersandar di mobilnya dengan ekspresi penuh amarah. Pria itu jelas sudah menunggunya cukup lama. "Kau mau apa?" tanya Dylan datar, tidak ingin membuang waktu. Liam menatapnya tajam. "Aku cuma mau bicara." Dylan mengangguk kecil, melipat tangan di depan dada. "Bicara soal apa? Fakta kalau kau pengecut yang biarkan istrimu menghina Sarah? Atau soal kau yang baru merasa kehilangan setelah dia memilih untuk melanjutkan hidupnya?" Liam mengepalkan tangan, jelas merasa terpojok. "Aku mencintai Sarah," ucapnya penuh penekanan. "Aku nggak peduli dia udah menikah denganmu atau sedang mengandung anakmu. Aku akan tetap menunggunya." Dylan tertawa kecil, bukan karena geli, tapi lebih karena muak. Ia melangkah lebih dekat, menatap Liam dengan tajam. "Dengar, Liam. Aku nggak peduli bagaimana perasaanmu. Yang aku pedulikan hanya Sarah dan anak kami. Dan kalau kau benar-benar mencintainya, seharusnya kau bisa menghormati keputusan y
Dylan benar-benar memastikan semuanya siap. Seminggu sebelum HPL (Hari Perkiraan Lahir), ia sudah mengambil cuti dan tidak membiarkan Sarah melakukan apa pun yang bisa membuatnya lelah. "Aku bisa urus semuanya sendiri, Dylan," protes Sarah ketika Dylan bersikeras mengangkat belanjaan mereka seorang diri. Dylan hanya menatapnya tegas. "Aku nggak mau ambil risiko. Kamu cuma perlu fokus jaga kesehatan kamu dan bayi kita." Sarah mendesah, tapi diam-diam ia tersentuh dengan perhatian Dylan. Hari-hari berlalu, dan tibalah momen yang mereka tunggu-tunggu. Malam itu, Sarah mulai merasakan kontraksi yang semakin kuat. Awalnya ia berpikir itu hanya kontraksi palsu, tapi semakin lama, rasa sakitnya semakin intens. "Dylan… kayaknya udah waktunya," ucapnya dengan suara lemah, memegang perutnya yang terasa semakin menegang. Dylan yang sedang bersiap tidur langsung bangkit dengan panik. "Apa? Sekarang?" Sarah mengangguk pelan. Tanpa pikir panjang, Dylan segera membantu Sarah berdiri, me
Sarah tidak pernah bisa memastikan apakah perasaannya pada Dylan adalah cinta atau hanya kenyamanan. Mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama sebagai sahabat, dan perasaan peduli serta sayang memang selalu ada. Namun, apakah itu cukup untuk disebut cinta? Ia masih belum menemukan jawabannya. Suatu siang, setelah berhasil menidurkan bayinya, Sarah duduk di sofa sambil menikmati coklat panas dan menonton acara kesukaannya. Ia baru saja merasa sedikit rileks ketika tiba-tiba suara bel apartemen berbunyi. Bingung karena tidak mengharapkan tamu, Sarah bangkit dan membuka pintu. Di depannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan penampilan mencolok—gaun mahal, perhiasan berkilauan, serta aroma parfum yang kuat dan elegan. Aura wanita itu begitu berkelas dan sedikit menekan. Sarah mengernyit, merasa tidak mengenal wanita itu. "Kamu Sarah?" suara wanita itu terdengar dingin. "Ya… Maaf, Anda siapa?" Sarah bertanya dengan sopan. Wanita itu mengangkat dagunya sedikit, menatap
Suatu malam ketika Dylan sedang menikmati malam di balkon kamarnya, Sarah datang menghampirinya, Dylan berbalik dan tersenyum lembut. Sarah menarik napas dalam sebelum perlahan menyandarkan kepalanya di dada Dylan. Keheningan menyelimuti mereka, hanya ada suara napas yang berbaur dalam kehangatan. "Terima kasih, Dylan… Terima kasih karena tetap di sini, untuk selalu sabar menerima aku, menerima semuanya." Dylan mengusap punggungnya lembut. "Aku nggak pernah merasa ini sebagai beban, Sarah. Aku melakukan semua ini karena aku mau. Karena kamu penting buat aku." Sarah mengangkat kepalanya, menatap Dylan lama, seolah mencari sesuatu dalam tatapan hangat pria itu. Mungkin kepastian, mungkin jawaban yang selama ini ia ragu untuk akui. Perlahan, tanpa sadar, ia berjinjit dan mengecup bibir Dylan. Ia berniat hanya sekilas, hanya sekedar menyampaikan rasa terima kasihnya, tapi saat Dylan tidak menolak, Sarah membiarkan ciuman itu bertahan lebih lama. Ada sesuatu yang aneh di dad
Dylan mencumbu Sarah dengan penuh kehati-hatian, tidak tergesa-gesa. Ia ingin memastikan bahwa Sarah merasa nyaman dalam setiap sentuhannya. Jemarinya menyusuri kulit halus istrinya, memberikan sensasi yang membuat Sarah memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam dekapan Dylan. Sarah membalas setiap sentuhan Dylan dengan lebih berani, jemarinya menjelajahi punggung pria itu, mendekatkan tubuh mereka tanpa jarak. Hawa panas menyelimuti kamar, membawa mereka lebih dalam ke pusaran hasrat yang selama ini tertahan. Malam itu, tidak ada lagi sekat di antara mereka. Dylan dan Sarah menyatu, mengukir kenangan baru yang kali ini tidak dipenuhi kebingungan atau mabuk yang mengaburkan kesadaran. Sarah merasakan perbedaan yang nyata. Jika malam pertama mereka terjadi dalam keadaan tak sepenuhnya sadar, kali ini setiap sentuhan Dylan terasa lebih bermakna, lebih mendalam. Ia tidak lagi merasa ragu atau bimbang. Dylan adalah suaminya, ayah dari anaknya, dan orang yang selalu ada untuk
Dylan menyesap kopinya sambil memperhatikan Sarah yang sedang bermain dengan Noah di lantai ruang tengah. Mereka menikmati akhir pekan yang tenang, cuma bertiga di apartemen mereka. "Sejak menikah, dan kamu berhenti kerja, kamu nggak kepikiran buat balik kerja lagi?" ujar Dylan tiba-tiba, suaranya tenang tapi penuh perhatian. Sarah mengangkat kepala, menatap Dylan yang duduk di sofa. "Belum kepikiran," jawabnya jujur. "Aku senang menikmati waktu bersama Noah dirumah." Dylan mengangguk pelan. "Aku cuma nggak mau kamu merasa terjebak dan jadi bosan dengan rutinitas yang sama. Kalau kamu mau kerja lagi, aku support. Tapi kalau kamu lebih nyaman di rumah, aku juga nggak masalah." Dylan tiba-tiba berdiri, matanya berbinar seolah mendapat ide cemerlang. "Aku baru ingat," katanya antusias. "Kamu suka buat cake dan cookies, kan?" Sarah mengerutkan dahi, lalu mengangguk. "Iya, terus?" Dylan tersenyum. "Gimana kalau aku buatkan toko cake dan cookies untuk kamu?" Sarah
Keesokan harinya, Dylan dan Sarah pergi ke dokter anak untuk konsultasi tentang MPASI pertama Noah. Di ruang tunggu, Dylan memangku Noah sambil bermain dengannya, sementara Sarah duduk di samping mereka, memperhatikan dengan senyum kecil. Sesekali, Noah tertawa ketika Dylan membuat ekspresi lucu atau menggelitik perutnya. "Nggak sabar lihat reaksinya nanti saat pertama kali makan," kata Dylan dengan antusias. Sarah tertawa kecil. "Aku harap dia nggak terlalu pilih-pilih makanan seperti papanya." Dylan berpura-pura tersinggung. "Hei, aku nggak pilih-pilih, aku cuma suka makanan yang enak." Sarah menggeleng sambil tersenyum, lalu menggenggam tangan kecil Noah. "Aku juga penasaran nanti gimana ekspresi dia. Semoga cocok sama makanan pertamanya." Tak lama, nama Noah dipanggil. Mereka pun masuk ke ruang konsultasi, siap untuk mendengar arahan dokter tentang tahap baru dalam tumbuh kembang buah hati mereka. Dokter menjelaskan dengan detail tentang MPASI pertama Noah—mulai dari
Noah dengan tenang bermain dengan mainannya, tapi matanya tidak lepas dari Sarah dan Dylan yang sedang makan. Sesekali, ia mengoceh kecil sambil mengayunkan tangannya, mencoba menggapai makanan yang ada di meja. Sarah tertawa melihat tingkah putranya. "Kayaknya dia udah nggak sabar mau ikut makan kayak kita," katanya sambil menyentuh pipi Noah dengan penuh kasih sayang. Dylan, yang sedari tadi memperhatikan tawa Sarah, tersenyum lembut. Ada kehangatan yang menjalar di dadanya. Ia selalu ingin melihat Sarah seperti ini—tersenyum tanpa beban, bahagia tanpa ragu. Dalam hati, ia bertekad akan selalu menjaga tawa itu. "Tunggu sedikit lagi, Nak," ujar Dylan sambil mengusap kepala Noah. "Sebentar lagi kamu bakal punya makanan sendiri." Noah merespons dengan celotehan riangnya, membuat Sarah semakin tertawa. Dylan hanya menatap keduanya dengan penuh rasa syukur. Ini adalah keluarganya. Ini adalah rumahnya. Setelah selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan ke toko perlengkapan bayi
Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”
Sarah terus menangis tanpa henti, hatinya terasa hancur menunggu kabar tentang Dylan. Keluarganya, baik orang tuanya maupun mertuanya, telah datang untuk berada di sisinya. Mereka bergantian menjaga Noah, sementara Sarah hanya bisa terbaring di kamar, diselimuti kekhawatiran yang tak kunjung reda. Di kamar yang sepi, hanya ada suara tangisan Sarah yang pecah, ditemani oleh Kate yang duduk di sampingnya. Kate memeluknya erat, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan yang tak terduga. Sarah terisak, tubuhnya lelah, namun air mata tak bisa berhenti mengalir. “Kate… aku baru aja mulai sadar perasaan aku. Aku baru aja akui aku mencintainya sepenuh hati. Kenapa harus begini? Kenapa saat aku udah siap merasakan kebahagiaan itu, justru semuanya seakan dirampas dari aku?” Suaranya terputus-putus, penuh dengan kepedihan yang dalam. Kate mengusap punggung Sarah dengan lembut, mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku tau ini nggak mudah, Sarah. Aku tau kamu udah b
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, hari dimana Dylan akan kembali ke rumah. Sebelum ia menuju hotel, Dylan sempat melakukan video call dengan Sarah dan Noah. Suara riang Dylan terdengar jelas, membuat Sarah tersenyum bahagia. "Aku nggak sabar mau ketemu kalian," katanya, dengan suara penuh kehangatan. Noah, yang berada di pangkuan Sarah, tampak tertarik dengan ponsel, tangannya kecil mencoba meraih layar seolah ingin memeluk ayahnya. Sarah tertawa kecil, menatap Noah dengan penuh cinta. Kate, yang berada di samping mereka, ikut mengamati dan berkata dengan nada ringan, "Nanti malam papa kamu sudah ada dalam pelukan kamu, Noah." Setelah Kate menggendong Noah dan membawanya menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam ruang virtual yang terasa begitu nyata, Dylan menatap Sarah dengan mata yang sedikit berkilat. “Sarah…” ucapnya perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Pesan kamu kemarin… Kamu bilang kamu cinta aku. Apa kamu benar-benar—” Sarah memotongnya deng
Sarah membalas pesan Dylan dengan singkat namun penuh perhatian, memastikan agar suaminya tidak merasa khawatir tentang keadaan mereka di rumah. [Jangan khawatir, semuanya baik-baik aja di sini. Semoga meeting kamu selalu berjalan lancar. Aku menunggu kamu kembali. Aku mencintaimu] Pesan itu terkirim dalam hitungan detik, tapi artinya jauh lebih dalam dari sekadar kalimat penutup. Untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, Sarah benar-benar mengucapkan kata itu—bukan hanya dalam tindakan, bukan hanya dalam perhatian diam-diam, tapi lewat kata-kata yang utuh: aku mencintaimu. Di tempat lain, Dylan terdiam saat membaca pesan itu. Matanya terpaku pada layar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Aku mencintaimu. Jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa lelahnya seketika lenyap, digantikan oleh semburan emosi hangat yang menyergapnya tanpa ampun. Ia segera menekan tombol untuk memanggil Sarah. Ia ingin mendengarnya langsung. Ingin memasti