Dirga memasuki ruang tunggu untuk sidang dengan sedikit tergesa-gesa. Sampai disana suasana sudah cukup ramai, namun perhatiannya hanya tertuju pada wanita yang selalu mengisi hatinya. “Sheryl!” Panggilnya lembut. Kemudian ia menghampiri salah satu peserta sidang tesis yang sedang dilanda kepanikan itu. Tangannya sibuk memainkan kuku dengan bibir yang terus bergerak tanpa suara. “Sher,” panggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras. Karena ia paham jika sedang gugup atau panik, Sheryl hanya akan fokus pada satu hal. Melihat siapa yang memanggil, senyum Sherylpun merekah. “Dirga!” “Aku nervous banget,” ungkapnya. Lalu tangannya meraih telapak tangan Dirga yang 4 centi lebih panjang untuk sekedar saling berbagi kekuatan. Sebenarnya Dirga juga sangat gugup mengingat persiapannya yang belum matang 100 persen. Namun di hadapan Sheryl, ia memaksakan untuk terlihat lebih santai. Selain itu, kabar buruknya adalah dosen penguji pada sidang kali ini merupakan salah satu dosen kil
Kejadian kemarin sukses membuat Dirga frustasi. Beruntung ia masih bisa memendam emosinya. Namun sejak kemarin ia tak mengaktifkan ponselnya. Bahkan melirik saja tidak. Kini yang menjadi sasarannya adalah kamarnya.Tak hanya gelap, kamar yang terkesan maskulin itu kini penuh dengan asap rokok. Kepulan asap yang sudah terkumpul dari semalam tak kunjung pergi. Jangan tanya lagi bagaimana pengapnya kamar itu.“Om!”Perlahan pintu kamar terbuka. Memunculkan Wina yang baru saja masuk kerja. Mahasiswa berbadan kecil itu hanya berdiri di ambang pintu. Enggan untuk masuk karena dari luar saja bau kamar majikannya sudah cukup mengusik penciumannya.“Om,... uhuk uhuk!” Baru saja selangkah masuk, Wina sudah terbatuk karena asap rokok.“A-aku gak tahu cerita lengkap permasalahan kemarin,” Wina maju selangkah lagi tapi dengan tangan menutup hidung.“Tapi kalau Om Dokter mau ngegalau, cukup hari ini saja, ya.”Lagi-lagi Dirga tak menjawab. Telinganya memang mendengarkan, namun bibirnya berat untuk
Langkah Wina terasa sangat ringan saat berjalan di koridor rumah sakit. Ia seakan menikmati bangsal demi bangsala, ruang demi ruang. Jangan lupakan senyum yang masih betah terpasang di bibirnya.Bagaimana tidak, karena hari ini judul skripsi yang baru diajukan langsung di ACC oleh Kepala Prodinya. Rasanya tak sia-sia ia berpenampilan rapi dan pergi pagi-pagi—setelah dari apartemen Dirga—ke kampus.Perpaduan kemeja berwarna dusty pink dan rok panjang skirt abu-abu bermotif bunga, sangat terlihat pas dan membuat Wina nampak lebih dewasa. Setiap melewati cermin atau kaca, Wina pasti berhenti beberapa detik untuk melihat refleksi dirinya. Senang saja karena hari ini ia terbebas dari pakaian zaman SMP-nya.“Pagi, Ayah.” Sapa Wina dengan riang.Ya, meski yang disapa tak memberi respon apapun.Wina duduk dan mulai membuka laptop-nya untuk sedikit mengerjakan proposal judul skripsinya. Hingga tak terasa ia betah di depan laptop sampai jam makan siang.Ia berencana pesan makan siang secara onl
Kini Dirga dan Wina berada di sebuah cafe vegetarian terdekat dari rumah sakit. Sayang sekali padahal Wina jika disuruh memilih, Wina lebih suka warung nasi padang belakang rumah sakit. Sudah porsinya banyak, enak, terjangkau lagi.Akhirnya Wina hanya memesan jus tomat dan Dirga memesan jus wortel.Cih, sok-sokan ke caffe vegan. Biasanya juga junk food! Ejek Wina dalam hati saat melihat pesanan sang dokter. Ia bertaruh minuman yang dipesan pasti tidak akan dihabiskan.Sudah lebih dari 10 menit setelah pesanan mereka datang. Namun tak satupun dari mereka memulai percakapan. Wina perlahan meminum jus tomatnya dengan nikmat tanpa memerdulikan tatajam tajam dari dokter tampan.Menatap jus tomatnya dan ‘Kakak Wina’ secara bergantian. Sedikit menyesal karena dengan percaya dirinya ia memesan jus wortel. Jus yang ia benci karena sering dipaksa minum oleh Bundanya.Sebenarnya random saja sih tadi Dirga menyebutkan jus wortel. Biar kelihatan dokter yang hidupnya sehat banget aja.“Kamu kuliah?
Tak bisa dipungkiri, Dirga memang masih galau karena tragedi sidang tesis. Rasanya ia juga enggan menemui siapapun. Namun undangan makan malam dari kakeknya tidak bisa ia abaikan.Bagai simalakama. Jika ia tidak hadir saat makan malam, kedua orangtuanya tidak akan tinggal diam. Namun jika hadir, ia harus siap akan disidang oleh kakeknya di hadapan keluarga besarnya. Sebab berita sidang tesisnya kemarin pasti sedang menjadi topik hangat di keluarga Hermanto.Sudah menjadi rahasia umum lagi jika antar anggota keluarga besar Hermanto saling berebut jabatan dan harta. Jadi tidak heran jika mereka selalu bersaing mendapat perlakuan istimewa dan perhatian lebih dari kakek Hermanto.Salah satu caranya yakni dengan selalu menunjukkan prestasi dan kelakuan baiknya—meski pura-pura.“Aku kira, calon dokter bedah kebanggaan keluarga Hermanto ini gak bakal berani muncul.” Sindir Rizal saat mereka tiba di teras mansion keluarga Hermanto.“Bukankah itu kata-kata untuk kamu sendiri?” Bukan Dirga yan
Malam itu, sehari sebelum sidang tesis Dirga. Wina sibuk mengatur strategi untuk mengacaukan hari penting sang majikan. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menggunakan cara yang sama seperti hancurnya sidang skripsi kakak tingkatnya.Yakni dengan cara menghilangkan seluruh soft-filenya.Namun kendalanya ialah bagaimana caranya menghapus file tersebut, sementara laptop selalu dipegang sang dokter. Sampai-sampai Wina rela rajin menguping dan mengintip Om Dokternya dari celah pintu kamar.Bahkan Wina sampai begadang demi mengawasi Dirga, mencari timing yang pas.Beberapa hari ini ia sudah mencari tahu password laptop Dirga dan dimana saja ia menyimpan file-file tesisnya. Tak hanya itu, untuk jaga-jaga, Wina juga sudah menyiapkan flashdisk cadangan mirip seperti milik tuannya.Semalam Wina hampir menyerah saat tidak menemukan celah sedikitpun untuk melancarkan aksinya. Hingga akhirnya kala hati sudah pasrah, keberuntungan datang berpihak.“Nyil, siapin sarapan! Aku mau
Seperti dejavu, perasaan Dirga kini persis seperti saat gagalnya sidang tesis waktu itu. Marah, kecewa, sedih, jadi satu. Ia marah pada sang kakek yang selalu menuntutnya sempurna dan sesuai keinginannya. Namun ia juga marah pada diri sendiri yang tidak bisa menjaga datanya sendiri.Sedikit menyesal juga kenapa pagi itu ia tak memeriksa kembali berkas-berkasnya. Andai dosen pengujinya bukan dosen killer itu, mungkin ia bisa memohon untuk maju lagi di akhir sidang.Andai saja ia tak memaksa ikut sidang bersama Sheryl.Andai kakeknya tak terlalu keras padanya.Andai,...Ting tong!Huh, ganggu orang melamun saja!Dirga bangkit dari duduknya dengan malas. Karena dari semalam sepulang dari pertemuan keluarga, ia memilih bermalas-malasan di kamar.Ia berjalan menuju pintu dengan langkah berat sembari mengumpat dalam hati. Sejujurnya ia tidak siap menerima tamu pagi ini.Cklek!Setelah pintu terbuka, moodnya semakin buruk. Duplikat Wina sang asisten berdiri tepat di depan pintu dengan pakaia
“Siang, Wina yang pin—!”“Eh, Kenapa tuh muka?” Rizal tak melanjutkan sapaanya saat melihat raut wajah Wina yang sangat lesu, plus penampilan kacau.Rasa kesal Wina yang tadi baru melakoni sebagai Wita nampaknya masih tersisa. Jadi bukannya menjawab pertanyaan sang bos, ia justru semakin memperlihatkan wajah ngenesnya. Wajahnya sudah seperti anak kecil yang hendak menangis karena keinginannya tidak dituruti.Tidak tega Wina melanjutkan tangisnya, Rizal berinisiatif mengambilkan es krim di freezer yang ada di pojok ruangan kerjanya. Setelah tahu partner-nya itu penyuka es krim, Rizal jadi ikutan menyediakan berbagai macam varian es krim.Slurp slurp slurp!Seperti sudah kebal dingin, Wina memakan es krim sangat cepat seakan takut keburu meleleh. Berharap es krim rasa matcha di mulutnya mampu menyiram kekesalan di hati.Untung saja hari ini—atas izin bossnya a.k.a Rizal—Wina boleh mulai kerja sedikit terlambat. Ya, karena Rizal sudah tahu kalau Wina sedang melakukan tugasnya sebagai ART
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu