Wina pikir setelah lari, ia bisa langsung ke apartemen untuk melanjutkan pekerjaannya. Tapi ternyata Dirga menyeretnya ke sebuah outlet perlengkapan olahraga yang baru saja dibuka. Tak hanya kesal, Wina juga malu. Bayangkan saja, dia dipaksa ikut meski tubuhnya masih banjir keringat. Kan malu! Ya, butik khusus pakaian dalam dan serba-serbi wanita tadi hanya sebuah kesalahpahaman. Butik dan outlet itu letaknya bersebelahan. Pemilik butik dan outlet itu juga sepasang suami istri. Namun khusus minggu terakhir dalam setiap bulan, outlet akan buka lebih siang. Thank’s to Sheryl, Dirga jadi kenal dengan pemilik butik. Sehingga ia diizinkan untuk mengunjungi outlet lebih pagi. Tentunya dengan ditemani staff butik. “Sana pilih!” Perintahnya pada Wina. “Apa lagi sih, Om? Pekerjaan aku masih banyak, loh. Aku juga gak ada duit,” tolak Wina. Sungguh, sepatu disini harganya sangat tidak bersahabat. “Aku gak sepelit itu, Cil.” Ucap Dirga dengan mata menelusuri sepatu yang berjejer di rak sepat
“Ngapain lari?” Tentu saja Dirga bingung dengan tingkah Wina. Belum lagi ekspresinya yang seperti orang ketakutan.“Om, aku mo-mohon. Lepasin aku, ya. Ak—”Put your head on my shoulder...Alunan musik dari lagu lawas berjudul Put Your Head On My Shoulder yang dinyanyikan oleh Paul Anka menginterupsi ketegangan antara Dirga dan Wina. Keduanya menoleh ke arah pintu utama. Ternyata di depannya sudah berdiri seorang laki-laki bermata sipit berbadan atletis.Dia adalah Aldo, teman sekaligus sepupu Rizal.Put your lips next to mine, dear...Lagu yang dijadikan nada dering itu masih berbunyi dari ponsel Aldo. Mereka bertiga juga masih sama-sama mematung di ambang pintu masuk.“Iya, halo Mom...He’eh nanti Al janji kalau udah pulang kerja.”“Oke, Mom. Bye, love you.”Tut!Panggilan telepon pun terputus.“Emmm, tadinya aku mau ambil paket kemarin.” Ucap Aldo tanpa bergerak sedikitpun.“Tapi,” Aldo mulai canggung sendiri. Matanya melirik pada cemeti yang berada di tangan kanan Dirga, sementara t
“Siapa sih dia? Sugar baby kamu?” Tebak Aldo yang langsung dihadiahi pelototan mata oleh Dirga.“Hush, sembarangan!” Sanggah Dirga sambil melemparkan bantal sofa dengan kencang tepat ke muka Aldo. “Mbok Sum lagi cuti,” Dirga mulai bercerita.“Terus, ketemulah sama makhluk mungil tadi. So, aku hire deh jadi ART sementara. Kebetulan dia juga lagi butuh pemasukan,” sambungnya.Aldo terkekeh ringan. Menertawakan diri sendiri yang sudah mengira Dirga yang tidak-tidak. “Kirain seleranya ganti lolly, bukan lagi Sheryl yang body-nya aduhai.” Tuturnya.“Gak mungkin lah, bro.”Kening Aldo berkerut, “kenapa? Padahal lumayan buat tester. Lelaki perkasa ini belum pernah nyobain yang underrated gitu.”Mendengar itu, Dirga sontak melempar bantal sofa dengan tenaga lumayan keras.Dugh!Dasar Aldo, pikirannya memang hanya akrab dengan bagian tengah paha kaum hawa! “Awas ya. Jangan pernah berani sentuh tuh bocil.” Dirga mulai mewanti-wanti Aldo yang omongannya memang tak pernah disaring.“Wina juga ha
Struk tagihan rumah sakit?Dirga lanjut membaca kertas itu—yang ternyata tidak hanya satu. Ia merasa familiar dengan kertas tersebut. Setelah diamati memang benar, struk tersebut dari rumah sakit tempatnya bekerja. Lalu apa hubungannya Wina dengan kertas-kertas ini?Kemudian Dirga ingat, bahwa setelah ia ditipu dua kali oleh Wina, ia menemukan Wina di taman rumah sakit. Apakah karena ini juga WIna tidak bisa melanjutkan sekolahnya? batinnya.Sejenak Dirga merasa iba, mungkin salah satu penyebab Wina suka menipu adalah karena keadaan. Bahkan bagi Dirga, Wina terlalu belia untuk bersedia mengambil pekerjaan sebagai ART.Andai Wina ada di sampingnya, pasti akan tertawa sampai sakit perut mengetahui pemikiran Dirga yang terlalu positif.Tak mau terlambat ke kampus, Dirga langsung memasukkan dompet kecil itu ke dalam tas ranselnya. Ia bermaksud akan mengembalikannya nanti selepas bimbingan.***Hari ini gaya berpakaian Dirga sangat santai, khas ala-ala mahasiswa baru, deh. Celana jeans, ka
Sementara itu, setelah kesalahpahaman dengan tamu di apartemen Dirga a.k.a Aldo, Wina langsung bergegas ke cafe yang dijanjikan Rizal sebagai tempatnya part time. Sesuai perjanjian awal, kemarin Rizal memberikan pekerjaan kepada Wina—ya meskipun hanya sebagai asisten dapur.Wina tidak masalah dengan pekerjaannya, karena Rizal sudah memberikan kebebasan jam kerja untuknya. Sedangkan untuk masalah kuliahnya, Wina memutuskan akan mulai menghadap pada sang dosen minggu depan. Satu minggu ini akan digunakan untuk beradaptasi dengan pekerjaannya yang lebih dari satu.“Kak, Pak Dwi udah datang belum?” Tanya Wina pada karyawan lain begitu sampai di cafe.“Udah, belum lama. Katanya kalau kamu datang disuruh ke atas saja,” jawab Karin—karyawan cafe—yang tengah membersihkan meja sisa pelanggan.Wina berjalan ke bagian dalam cafe sambil melemparkan senyum pada semua staff yang ditemui. Jika kemarin ia ragu masuk ruangan Rizal karena desainnya yang aneh, kini Wina ragu karena mendengar perdebatan
“Wina? Rizal?” panggil Dirga sekali lagi.Sementara yang dipanggil seakan cosplay menjadi patung. Belum saatnya mereka ketahuan. Wina melirik Rizal melalui ekor matanya, berharap partner-nya ini inisiatif bertindak.“Kalian saling kenal?” tanya Dirga lagi. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa sepupu dan asistennya ini sudah saling kenal.“Om,” panggil Wina pada Rizal. Ia langsung mendekat dan membelakangi Dirga.“Ini belanjanya, perjanjiannya sampai sini, ‘kan?” tanyanya dalam mode sebagai Wina bocah SMP. Rizal tentu saja bingung dengan tingkah Wina yang mendadak sok imut.Sadar kelemotan rekannya, Wina langsung memberikan kode lewat matanya. Kemudian ia berjinjit dan mengambil es krim di tangan kiri Rizal dengan mulutnya. Lalu tangannya menyodorkan kantong belanjanya yang berisi buah-buahan dan bahan makanan lainnya.“Amwil!” ucap Wina tidak jelas karena mulutnya penuh dengan es krim.Setelah semua belanjaan beralih tangan, Wina gantian menyodorkan tangannya. “Uang ijo atau ungu
“Kata Om, aku kerja kalau pagi aja?” Sungut Wina ketika membersihkan remahan snack ringan yang berserakan di kamar Dirga. Catat, DI KAMAR!Padahal tadi pagi tempat itu sudah bersih dan rapi.“Nanti aku hitung lembur, deh,” tawar Dirga.“Beneran lho, ya? Eh, tapi Om gak bakalan pecat aku selama Mbok Sum libur, kan?” Ya, Wina khawatir saja, setelah tadi pagi menuduh majikannya sebagai pedofil ia akan dipecat.Dirga berjalan mendekati Wina yang tengah membereskan meja belajarnya, “Nah itu yang mau aku omongin dari kemarin.” Ia menyentil dahi Wina karena gemas, “Tapi malah tadi pagi lari ngiprit, dan nuduh aku pedo?!”Wajah Wina memerah, bukan karena sakit disentil, namun karena malu. “Lagian, Om dari kemarin katanya mau ngomong penting gagal terus. Eh, tadi pagi Om malah telanjang.”“Haha, namanya juga orang mandi, Cil. Pokoknya selama Mbok Sum libur, kamu harus gantiin ya.” Ucapnya setelah duduk di ranjang.“Kemarin itu,” lanjutnya. “Mbok Sum bilang kalau liburnya bakal diperpanjang la
RizalGagalkan.! Perintahnya.Tangan Wina mendadak tremor ketika akan melakukan apa yang diperintahkan otaknya. Ia melihat sekelilingnya, memastikan sang majikan masih di kamar dan tidak ada CCTV di ruangan tersebut.Sebelum layar ponsel Dirga kembali terkunci, Wina buru-buru membuka pesan tersebut. Dengan tangan gemetar, Wina segera menggagalkan janji tersebut.Sheryl, siapapun kamu, aku minta maaf ya. Ucap Wina dalam hati saat menghapus pesan dari Sheryl.Setelah selesai, gawai Dirga segera dikembalikan ke tempat semula. Tak lupa mengelapnya dengan kaos yang dipakai untuk menghilangkan sidik jarinya di layar.“Ini punya kamu, ‘kan?”Wina bernapas lega saat Dirga kembali ke ruang tamu tepat disaat aksinya selesai. Namun keterkejutannya datang lagi kala melihat dompetnya ada di tangan Dirga.Dirga menyerahkan kembali dompet mini itu kepada pemiliknya. Sedangkan Wina menerimanya dengan tangan yang sudah panas dingin.“O-om udah buka dompetnya?” Tanya Wina memastikan.Kini giliran Dirga
“Kita mau kemana, Om?” Tanya Wina begitu mereka beranjak dari kawasan rumah sakit. Gadis itu menoleh kanan-kiri karena merasa asing dengan jalanan di sekitarnya. Ini bukan jalan menuju apartemen, rumahnya, atau rumah baru ‘Om Dokternya’ alias pacar barunya.Ehm, Wina jadi tersipu sendiri dengan status baru mereka.“Makan dulu, gimana?”Berbeda dengan Wina yang ekspresif, Dirga memang nampak lebih tenang. Tapi di balik wajah kalemnya, hatinya tengah meletup-letup bahagia. Hatinya yang mulanya berwarna monochrom kini berubah warna-warni.“Oke, mau makan dimana?” Wina bertanya antusias. Sebenarnya makan dimana saja pasti mau, kok. Apalagi disaat kasmaran, makanan apapun juga akan terasa enak.“Delivery Order saja, ya?” Tanya Dirga hati-hati. Ia melirik sekilas pada gadis mungil yang duduk manis di sampingnya. Sedikit was-was saja jika gadis yang baru beberapa menit lalu dipacari akan ngamuk.“Oke, terus mau dimakan dimana?” lagi-lagi Wina bertanya. Ia penasaran saja. Mau dibawa kemana si
“Wina, gimana kalau mulai hari ini kita pacaran?”Gadis mungil itu menoleh. Menatap horor pada pria di sampingnya yang baru saja melontarkan entah sebuah pertanyaan atau ajakan. Tak mau ke-geeran, Wina bertanya untuk memastikan. Siapa tahu tadi hanya halusinasinya saja.“Maksudnya?”Dirga tersenyum. Wajahnya terlihat sangat tenang. Padahal jantungnya sudah deg-degan heboh. Tangannya bertaut untuk mengurangi kegugupannya. Sungguh ini tidak ada dalam rencananya. Benar-benar dadakan.“Ya, kita pacaran.” Kali ini suaranya lebih mantap dari ajakannya yang pertama tadi.Oke, Dirga memang selama ini belum pernah mengajak gadis manapun kencan. Justru dari dulu ia malah lebih sering mendapatkan surat cinta, pengakuan langsung, dan serba-serbi ajakan kencan lainnya.Dirga juga sadar, kok. Bahwa ajakannya kali ini terdengar sangat tidak niat. Apalagi ‘nembak’ di halter seperti ini. Tanpa bunga, tanpa coklat, tanpa kata-kata manis. Sungguh tidak ada romantis-romantisnya sedikitpun.Seratus persen
Wina berjalan lesu menuju kamar inap ayahnya. Langkah ringannya berubah berat setelah mendengar rumor tentang Dirga dan Sheryl. Apalagi banyak perawat yang bilang mereka sangat cocok karena sama-sama dokter spesialis lah, sama-sama orang kaya lah, sama-sama cerdas, dan ‘sama-sama’ lainnya.Ya, memang serasih sih, mereka.Wina menatap pantulannya di cermin yang terpasang di dinding. Lihatlah penampilannya! Ia menoleh ke kanan, membayangkan Dirga berdiri di sampingnya.Ya, memang sangat tidak cocok, sih.Wina yang semoengil itu, Dirga yang segede itu. Si kaya dan si miskin. Si cerdas dan si gak pinter. Si pewaris dan si beban keluarga. Si tampan dan si... si..., si imut! Iya Wina gak jelek, cuma Sheryl aja yang kelewat cantik. Begitulah Wina menghibur diri.Puas memandangi dirinya di cermin, Wina melanjutkan perjalannya ke tujuan awal. Kamar inap ayahnya. Seperti sebelumnya, setiap membuka kamar ayahnya, ia selalu berharap sang ayah akan membuka mata dan menyambutnya. Meski hanya sekeda
“Perkenalkan, Tuan Johan. Ini Dirga, PACAR saya!”Pacar? Dirga menoleh horor pada sahabatnya. Seingatnya ia tidak pernah mengajak sahabatnya untuk berpacaran atau diajak berpacaran. Tadi dokter kandungan berparas cantik itu hanya menyuruhnya datang ke ruangannya saat istirahat. Katanya ada hal yang penting.Jadi, apakah ini yang dimaksud penting?Sedangkan Johan, pria itu tak gentar sedikitpun dengan perkenalan Sheryl. Ia maju selangkah ke arah pria berseragam dokter dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, saya Johan. Calon TUNANGAN Sheryl,” ucapnya dengan menekankan kata ‘tunangan’.Oh, jangan lupa senyum ramah yang terpatri di wajah pria berambut cepak itu. Dirga seperti tidak asing dengan ekspresi wajah seperti itu. Aaah, Dirga ingat. Ia biasa melihat itu pada wajah sepupunya, Aldo.Lalu dengan menahan tawa, Dirg pun menyambut uluran tangan tersebut. “Perkenalkan saya dokter Dirga, saya_”Belum selesai Dirga memperkenalkan diri, Sheryl tiba-tiba merapatkan tubuhnya dan menggamit erat
Rumah sakit pada saat menjelang jam istirahat masih sangat ramai. Termasuk pada Poli Obgyn, dimana Sheryl sedang bertugas. Namun, belum waktunya beristirahat asistennya memberitahu bahwa ada orang yang mencarinya. “Siapa? Pasien?” Tanya Sheryl pada wanita berseragam perawat itu. Asistennya menggeleng, “Katanya penting. Orangnya ganteng, Dok.” Seloroh sang asisten dengan senyum menggoda. “Namanya kalau tidak salah Johan,” imbuhnya. Sheryl langsung menegakkan duduknya kala mendengar nama itu. Nama yang akhir-akhir ini membuatnya berantakan dan bertindak tak biasa. Hatinya mendadak tak tenang. Apa sebenarnya tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya? Tak cukupkah teror yang selama ini ia berikan pada pria itu? “Suruh nunggu saja, Sus. Nanggung sebentar lagi istirahat,” perintah Sheryl pada sang asisten. Setelah asistennya pergi, buru-buru ia mengirimkan pesan pada sahabatnya untuk segera datang ke poli obgyn saat istirahat. *** Tak perlu menunggu lama, dokter kandungan cantik itu b
Wina merebahkan tubuhnya di kasurnya yang tak begitu empuk. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Dirga tadi pagi di pemakaman. Ingin rasanya tadi memeluknya atau sekedar menyapa memberi semangat. Tapi ia sadar, tadi bukan waktunya untuk ikut campur. Mungkin lain kali?“Nduk, makan dulu!” Ajak ibunya dari arah dapur. Ya, tadi selesai jam kerjanya di caffe, gadis itu memilih pulang ke rumah. Kangen rumah, kangen keluarga kecilnya juga. Sedikit jenuh juga dengan suasana malam di rumah sakit.“Iya, Bu!” Sahutnya sedikit berteriak. Kemudian ia bangkit. Melepaskan hoodienya yang sedari tadi masih menempel di tubuh mungilnya.Aroma opor ayam yang lezat langsung menyeruak di indra penciumnnya begitu kakinya tiba di dapur. Ibunya sibuk memindahkan hasil masakannya dari panci ke meje makan. Tidak ada meja makan mewah di rumah sederhana itu, hanya meja kecil dengan empat kursi yang sama-sama terbuat dari kayu.“Adek mana, Bu?” Tan
Hari ini adalah hari yang paling tidak ingin Dirga ingat. Saat hari peringatan itu tiba, rasanya pundak pria menjadi sangat berat. Meski tak ada yang mengatakan secara langsung, ia merasa semua orang menyalahkannya atas kepergian Dira, adik perempuannya.Kejadian naas yang menimpa adiknya dulu masih meninggalkan luka dan trauma baginya dan juga orang tuanya hingga saat ini. Rasa bersalahnya tak juga sirna meski sudah lebih dari 2 dekade adiknya menyatu dengan tanah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun inipun ia pergi ke tempat istirahat terakhir sang adik. Andai diberi kesempatan sekali untuk bertemu adiknya, ia ingin sekali mengucapkan maaf.Maaf karena tidak bisa menjaganya.Maaf karena tidak bisa menyelamatkan.Terlebih lagi saat melihat wajah sedih mamanya kala itu. Bagaimanapun kehadiran Dira sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Setelah melahirkan Dirga, mamanya pernah hamil lagi dua kali. Namun dikehamilan itu mamanya keguguran. Keduanya pula adik dirga berjenis kelamin
Saat Rizal sibuk menabur bunga di atas sebuah makam, Wina hanya diam. Matanya melirik pada Dirga yang hari itu nampak tak ada semangat. Selain gagalnya sidang tesis waktu itu, ini kali pertama Wina melihat cucu emas Hermanto itu sangat muram. Ia seakan tak mengenali wajahnya. Mereka seolah orang asing yang berada di tempat yang sama.Tak mau mengganggu kekhidmatan pria yang belum lama masuk ke hidupnya, Wina memilih sedikit menjauh. Netranya menjelajah area pemakaman umum itu, hingga matanya melihat rombongan yang sama-sama mengenakan pakain serba hitam mendekat ke arah mereka.Laki-laki dan wanita yang Wina tebak adalah suami-istri berjalan dengan dipayungi pria-pria kekar di samping mereka. Dari kejauhan saja terlihat romobongan itu sangat berkelas, entah itu dari pakaiannya yang mahal atau cara berjalannya. Apalagi paras suami-istri itu sangat good looking.Saking fokusnya, Wina sampai tidak sadar rombongan tersebut mendekat ke arahnya.“Om, tante.” Sapa Rizal membuyarkan fokus Win
Wina melangkahkan kaki pendeknya memasuki caffe yang masih sepi. Hari ini ia memang berniat berangkat kerja pagi, karena sorenya ada bimbingan skripsi dengan Dospem-nya. Tapi ia terpaksa lebih pagi dari jam kerjanya karena si boss menyuruhnya ke caffe dua jam lebih awal. Jelas caffe masih sangat sepi.Di pelataran caffe, ia melihat mobil atasannya terparkir. Karena di lantai bawah tak ia temui siapapun, sudah pasti Rizal alias owner caffe itu berada di ruang kerjanya. Winapun memutuskan langsung ke atas. Di ketuknya pintu kayu itu. Setelah terdengar sahutan dari dalam yang menyuruhnya masuk, gadis itu segera membuka pelan daun pintu itu.Setelah melihat atasannya mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya, Wina mengernyit heran. “Kak, ini kita mau ngelayat?” Tanyanya, sebab boss-nya itu tadi pagi menyuruhnya untuk memakai baju serba hitam dan tentunya pakaian yang sopan.Dari pantulan cermin besar yang tersandar di dinding ruangannya, Rizal dapat melihat jelas ekspresi Wina. “Bu