Penyakit bagi Caca menjelang akhir semester adalah kemalasan. Caca menyebutnya sindrom akhir semester. Rasa lelah, capek, dan jenuh karena mengajar satu semester ditambah dengan urusan-urusan administrasi membuatnya tidak ingin melakukan apapun.Caca menertawakan orang-orang yang dengan mudahnya bilang bahwa jika tidak mendapatkan pekerjaan maka mengajar adalah pilihan paling mudah. Mereka tidak tahu bahwa mengajar itu susah, butuh tekad dan semangat membara untuk menghadapi sekian ratus siswa, yang notabene anak orang, dengan berbagai karakter, untuk mengajari mereka tentang sesuatu.Mengajar bukanlah suatu pekerjaan mudah.Jadi kalau ada orang bilang jika tidak mendapatkan pekerjaan maka menjadi guru atau pengajar saja, maka mereka adalah orang-orang yang abai terhadap mengajar dan pendidikan.Walaupun bukan seorang pengamat pendidikan, Caca tahu kenyataan dunia pendidikan sekarang. Bagaimana pendidikan maju jika misalkan seorang lulusan sejarah murni mengajar mata pelajaran Bahasa
Tangan Caca gemetar memegang ponselnya. Keringat muncul di dahinya. “Ada satu, jenjang S1. Dia semester sepuluh, aku pembimbing satu. Tapi dari catatanku ini, dia terakhir kali bimbingan sudah bab empat dan di bulan lalu. Dari catatanku juga, dia lancar bimbingan ke aku. Aku tidak pernah membuatnya revisi lebih dari empat kali.” “Siapa namanya?” Caca menyebutkan satu nama lelaki. “Eh, itu aku pembimbing duanya. Dia kuliah sambil kerja makanya agak terlambat. Aku yakin bukan dia yang melapor.” Caca menyandarkan tubuhnya ke kursi. Matanya terpejam, “Mbak dengar dari orang jurusan?” Jasmine mengangguk, “Iya. Sudahlah, kamu nanti juga akan tahu. Biasanya kalau ada komplain seperti ini ‘kan si pelapor akan dipindahkan bimbingannya. Nanti juga ketahuan siapa yang melapor ketika mahasiswa itu pindah bimbingan.” “Loh, kok langsung pindah bimbingan?” “Ini kasus pertama kamu, bisa jadi langsung ditindaklanjuti. Kalau Pak Tsaqiif tidak mungkin ditindaklanjuti karena ya memang Beliau begit
Caca menutup sambungan telepon itu dengan pikiran yang masih berkecamuk. Ponselnya dilemparkan begitu saja ke atas mejanya.Caca sama sekali tidak tahu apa yang Satrio mau. Kenapa Satrio tiba-tiba ingin bertemu dengan Papa? Kenapa juga mendadak? Kalau seperti ini, Caca harus memilih satu diantara dua, Satrio atau Indra.Pilihan yang sebenarnya sangat mudah bagi Caca. Tapi selama ini Caca membuat pilihan itu runyam dan rumit. Jauh dari lubuk hati Caca, dia tidak menginginkan untuk memilih satu diantara dua itu sekarang.Namun, rencananya tidak berjalan sesuai keinginannya. Caca harus membuat pillihan kecil itu sekarang. Pilihan kecil yang akan berdampak pada pilihan besarnya nanti.Caca membanting tubuhnya di kursi. Pandangannya masih kosong menatap tumpukan manuskrip. Caca menggaruk punggung tangan kirinya.Dengan mengambil nafas panjang, Caca mengambil ponselnya. Jari-jemarinya dengan cepat mengulir layar ponsel, mencari sebuah nama untuk dihubungi. Tangannya berhenti sebentar, dia r
“Begini, bukannya Mas mau mengekang Adik, Mas tahu kita sekarang belum ada ikatan apapun. Tapi, meskipun begitu, Mas sudah siap menikahi Adik, seharusnya itu sudah menjadi komitmen diantara kita berdua.”Caca tidak paham sama sekali apa yang dikatakan oleh Satrio.“Mas sudah berkomitmen untuk menikahi Adik dalam waktu dekat. Meskipun sebenarnya Mas bisa kapanpun menikahi Adik termasuk sekarang juga, tapi tampaknya kita tidak bisa melaksanakan hal tersebut.”Sejenak Caca tertegun. Caca tidak percaya dengan telinganya sendiri bahwa dia mendengar Satrio mengajaknya menikah saat ini juga. Hati kecil Caca bertanya apakah Satrio sudah gila untuk merubah rencana yang telah ditetapkan dan berniat untuk menikahinya saat ini juga? Pernikahan macam apa yang dilaksanakan mendadak tanpa ada persiapan sama sekali?“Mas, mohon jangan berbelit-belit. Langsung saja ke intinya.” Sergah Caca.“Mas akan tiba ke intinya sebentar lagi. Mohon Adik sabar sebentar.”Satrio mengambil nafas, “Mas sudah bicara p
Indra memutar-mutarkan cangkir kopinya dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menahan pipi kirinya di meja. Kegiatan itu sudah dia lakukan selama lebih dari sepuluh menit.Plok…Satu tepukan mendarat di punggungnya. Tepukan tersebut, meskipun pelan, cukup untuk membuat Indra terlonjak dan menumpahkan sebagian isi cangkirnya ke meja.“Nggak bagus pagi-pagi nglamun Ndra.” kata Ibuk.“Yang melamun siapa Buk? Aku tidak melamun.” kilah Indra sembari mengelus dadanya berusaha membuat detak jantungnya normal.“Terus yang kamu lakukan tadi apa? Meramal?” tanya Ibuk seraya menyerahkan lap meja pada Indra.Indra menghela nafasnya lalu mengambil lap meja dan mengelap tumpahan kopinya.“Ada apa Ndra?”Indra masih terdiam. Tangannya reflek menggaruk bagian belakang kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.“Bingung Buk.” jawab Indra singkat.Dahi Ibuk berkerut, mengambil duduk di samping Indra, dan bertanya, “Apa yang dibingungi?”Bibir Indra mengecap. Pandangannya kosong menatap dinding di
“Ibuk tidak bermaksud menghalangimu untuk ke Jakarta. Kalau kamu mau ke Jakarta, pergi saja. Kamu tidak perlu memikirkan Ibuk. Kamu tidak perlu memasukkan Ibuk ke dalam pertimbangan kamu.”Indra menghela nafasnya. Lagi-lagi Indra ragu. Apakah ini saat yang tepat untuk berbicara jujur pada Ibuk?“Ibuk ada pertimbangan sendiri tidak mau ikut tinggal dengan kamu di Jakarta. Ada menantu perempuan yang merasa mertua perempuannya terlalu berkuasa atas anak lelakinya. Si mertua sangat perfeksionis dan merasa bahwa si anak lelaki adalah anaknya dan dialah yang paling tahu segalanya tentang anak lelakinya. Mertua perempuan sama sekali tidak memberikan ruang untuk si menantu berbakti pada suaminya. Ada juga perbedaan mengasuh anak jika nanti sudah punya anak. Menurut si mertua, cara mendidik anak yang terbaik adalah menurut dia. Si mertua tidak memberikan ruang bagi si menantu untuk mendidik anaknya sendiri.”“Tapi Ibuk ‘kan tidak begitu.”“Memang Ibuk tidak begitu. Tapi suatu saat pasti ada sa
Hari kamis itu, tiga hari sebelum ujian akhir semester, cuacanya cerah. Matahari bersinar terang di timur di atas puncak Semeru. Angin dingin musim kemarau mulai merayap.Hati Indra, demikian juga, ikut cerah. Ada lampu hijau dari Ibuk atas hubungannya dengan Caca. Tidak, bukan lampu hijau, tapi ada harapan agar hubungannya dengan Caca disetujui oleh Ibuk. Indra hanya bisa berharap agar pertemuan Ibuk dengan Caca nantinya berjalan dengan lancar dan Ibuk mau memberikan lampu hijau.Indra yang sudah menyampirkan handuk di bahunya bersiap mandi, tiba-tiba mengambil ponselnya. Dengan semangat membara dan hati yang berbunga-bunga, jari-jarinya menari-nari cepat diatas papan ketik. “Pagi, My Precious. Hari ini ada ngajar jam berapa saja?” bunyi pesan Whatsapp Indra ke Caca.Mata Indra masih terpaku untuk beberapa saat ke layar ponselnya. Indra mengharapkan balasan dari Caca segera. Dua centang di layar ponsel Indra masih berwarna abu-abu. Matanya melirik jam, sudah jam enam lebih. Tidak mu
Mata Indra terbelalak ketika melihat isi ruangan tersebut. Mulutnya kelu, lidahnya kaku. Keringat dingin meluncur. Pandangannya kabur.“Ya Mas?” tanya seorang lelaki dewasa yang juga tak kalah bingung.Hanya dengungan dari mulut Indra yang terdengar. Yang dirawat di ruangan tersebut bukanlah Ibuk. Begitu Indra masuk ruangan, ada orang lain yang dirawat di ruangan itu. Dia harus beberapa kali meyakinkan dirinya sendiri bahwa ruangan yang dia masuki benar. Indra meminta maaf dan segera berlalu dari kamar itu.Dengan perasaan malu dan panik, Indra setengah berlari menuju ke Nurse Station dan menanyakan Ibuknya. Indra tidak bisa melihat jelas kecuali apa yang ada di depannya. Telinganya juga sedikit tuli karena jantungnya yang berdetak lebih cepat. Keringat bermunculan di dahi dan kepalanya. Indra didera ketakutan yang absolut. Dia takut, ada hal yang mengerikan terjadi pada Ibuk.Apa yang dia dengar dari para perawat membuatnya lebih kaget lagi. Perawat mengatakan bahwa Ibuknya dipindah
“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter
Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu
“Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba
Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja