“Ya, tapi sekarang saatnya kamu maju, lupakan masa lalu itu. Tidak semua lelaki mau memperalat kamu dan mencari keuntungan darimu. Masalahnya, kamu tidak pernah memberi kesempatan lelaki untuk mendekatimu. Bagaimana kamu tahu mereka berniat jahat kepadamu? Lagipula mantan kamu itu mungkin sudah menikah dan bisa jadi dia bahagia dengan istri dia sekarang. Bisa saja dia saat ini sedang bermain-main dengan anaknya. Sedangkan kamu? Kamu masih saja bergelut dengan cerita dan sakit hati masa lalu. Dia tidak pantas mendapatkan itu Ca. Kalau ini ibarat perang, kamu adalah pihak yang kalah. Dia berhasil menguasaimu sampai lebih dari tujuh belas tahun. Ini buktinya. Kamu masih sakit hati dengan perbuatannya di masa lalu.”
“Balik lagi ke teori tadi Mbak. Lelaki itu kodratnya menguasai. Kalau mereka mendapatkan pasangan yang gampang dibodohi maka mereka akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka akan selalu membodohi kita dan berbuat seenaknya sendiri. Sedangkan perempuan yang tidak mandiri hanya akan menjadi korban. Perempuan tidak akan bisa melawan dan hanya akan pasrah menerima semua perlakuan tidak menyenangkan. Lelaki tidak bisa diberi kesempatan seperti itu. Mereka harus diberi batasan. Perempuan harus pintar, berpendidikan, dan mandiri biar tidak bergantung terus dengan lelaki. Jadi, kalau lelaki berani melakukan perbuatan tidak menyenangkan, perempuan bisa membela diri dan berani mengambil keputusan.”
“Teori-teorimu itu bertentangan. Kamu maunya menikah dengan orang yang single, berpendidikan tinggi, tapi kamu tidak mau dibodohi. Kamu ndak tahu kalau semakin berpendidikan seorang lelaki semakin besar peluang mereka untuk berselingkuh? Semakin pintar mereka untuk membodohi perempuan?”
Caca terdiam.
“Kalau kamu maunya seorang lelaki yang tidak bisa membodohi kamu, kamu harusnya cari lelaki yang berpendidikan lebih rendah darimu. Sayangnya, lelaki yang berpendidikan lebih rendah darimu, minder. Kamu juga bilang sendiri malu kalau suamimu derajatnya lebih rendah.”
“Pokoknya aku yakin, di luar sana, ada lelaki yang cocok dengan kriteriaku.”
Jasmine menggeleng-gelengkan kepalanya dan memukul meja yang ada di hadapannya dengan pelan karena kesal.
“Terus kalau ndak ada lelaki yang seperti itu, apa rencanamu? Apa kamu mau selamanya seperti ini? Hanya ada dua pilihan bagimu sekarang, menemukan lelaki yang tepat seperti keinginanmu atau menyerah.”
“Semoga saja pilihan pertama. Kalau pilihan pertama itu gagal, aku akan mendirikan tenda di depan kampus dan mencegat siapapun yang mau masuk ke kampus. Aku akan memberikan teka-teki pada mereka, bagi siapa saja yang bisa menjawab bisa masuk kampus. Sedangkan yang tidak, mereka tidak boleh masuk kampus, termasuk Pak Rektor.”
“Terserah kamu.”
Caca menghabiskan sisa-sisa es jeruknya dan melihat jam dinding. Caca hampir saja menyemburkan es jeruk yang ada di mulutnya sebelum berkata, “Eh, telat. Aku ada kelas ini, belum sholat lagi.”
Jasmine berdiri dan mulai berjalan.
“Ngajar dimana kamu?”
“Pascasarjana, kelasnya Dik Indra.”
Mata Jasmine menyelidik menggoda.
“Apa?” tantang Caca.
“Dik Indra? Cie.. sekarang pakai panggilan Dik? Sejak kapan nih?”
“Apa sih, aku hanya panggil dia dengan panggilan itu hanya di depan kamu, Mbak.”
“Kenapa panggilan Dik? Apa dia juga memanggilmu dengan Mbak?”
“Tidak, dia bahkan tidak tahu tentang ini. Dia juga masih memanggilku dengan sebutuan Bu. Dia itu ‘kan mahasiswaku, terserah aku mau panggil dia dengan panggilan apa. Aku bisa saja panggil dia dengan panggilan Bapak, Om, atau bahkan dengan sekedar nama Indra. Mbak juga tahu ’kan kalau mahasiswa itu terkadang memberikan julukan pada dosen-dosennya?”
“Ya, aku tahu. Tetapi, kenapa ndak panggil Indra dengan sebutan Pak Indra? ‘Kan lebih formal. Lebih cocok juga, dia ‘kan mahasiswa pascasarjana, sudah pantas dipanggil Bapak. Lagipula dalam satu kelas itu, yang kamu panggil dik cuma dia seorang. Sekarang, dari seluruh mahasiswamu, berapa mahasiswa yang kamu anugerahi panggilan berbeda? Hanya Indra 'kan?”
“Dia masih muda, masa aku harus panggil dia dengan sebutan Bapak? Tidak patut.” jelas Caca dengan mengangkat kedua tangannya.
Caca berjalan lagi. Namun Jasmine berhasil mengerjar dan melemparkan pandangan yang menggoda lagi.
“Apa lagi?” Caca berhenti berjalan dan memandang Jasmine dengan sebal.
“Kenapa tidak kamu dekati saja Dik Indra itu? Analisisku, dengan kamu memanggil dia dengan sebutan dik, dia sudah berada di tempat yang istimewa di hatimu.”
“Dengar ya Mbak, dia itu jauh lebih muda dariku. Dan satu-satunya yang membuat aku memanggil dia dengan sebutan seperti itu adalah karena dia mahasiswa paling pintar di kelas. Ya, menurutku, dia pantas mendapatkan panggilan berbeda dari yang lain, meski panggilan itu hanya aku yang tahu. Dan sekarang Mbak juga tahu. Dan memang dari semua mahasiswaku dari dulu sampai detik ini hanya dia yang aku anugerahi panggilan berbeda. Tapi, Indra berhak mendapatkannya karena dia memang pantas. Aku belum pernah mengajar mahasiswa sepintar dan sekritis Indra ini.”
Jasmine semakin menggoda dengan pandangan matanya.
“Apa sih, lagipula bagaimana bisa sampai ke analisis? Padahal pendahuluan, rumusan masalah, metode penelitian belum ada.”
“Tetapi, Indra mendapatkan panggilan istimewa darimu memberitahuku sesuatu.”
Caca mendongakkan kepalanya.
“Kamu ada rasa dengan Indra. Meskipun kamu belum menyadarinya.”
“Idih… Amit-amit… Masa aku berhubungan sama brondong?”
Jasmine memelototinya.
“Peluang aku dan dia berhubungan itu kecil banget. Kalau kata orang bule, the odds were astronomical. Dengan kata lain, tidak mungkin. Seperti ini lo Mbak …” kata Caca seraya mengangkat kedua tangannya. “Aku dan Indra ibarat telapak tangan dan punggung tangan, tidak bisa bersatu.”
Jasmine hanya menggeleng dan tersenyum, “Kamu keliru. Bisa saja telapak dan punggung tangan bersatu.” Jasmine memutar tangan kiri Caca dan merekatkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri Caca.
Caca terhenyak.
“Yang diperlukan hanyalah sedikit perubahan.” pungkas Jasmine.
Meskipun begitu, Caca tidak bisa menjelaskan kenapa tiap kali mengajar kelas Indra, dirinya selalu semangat. Awalnya, mengajar di kelasnya Indra menyenangkan karena hampir semua mahasiswa di kelas itu kritis dan pintar. Adalah suatu anugerah jika seorang pengajar mendapatkan kelas yang aktif dan mudah diajar. Alhasil, kalau Caca meminta mereka untuk berdiskusi ataupun presentasi di depan kelas, pasti seru.
Caca tidak pernah sadar. Sebelum mengajar di kelas Indra, dia pasti menyisir rambutnya lebih lama. Caca juga suka memandangi Indra sambil dia mendengarkan mahasiswanya mengemukakan pendapat. Dia juga merasa kecewa ketika kelompoknya Indra presentasi, bukan Indra yang menjadi pembicaranya. Pasti ada kupu-kupu kecil yang menggelitiki perutnya tiap kali dia mengajar kelas itu.
Kali ini juga sama. Setelah sholat dhuhur, dia menyisir rambutnya lebih lama, mengoleskan lagi lipstick di bibirnya dan mematut dirinya di depan cermin lebih lama daripada biasanya. Dia puas memandangi dirinya di depan cermin.
Caca juga tidak sadar, setiap kali dia masuk ke kelas Indra, matanya akan langsung mencari Indra. Meskipun Indra tidak pernah melihatnya ketika masuk kelas. Entah dia sedang berbincang dengan temannya atau sibuk membaca buku. Tetapi hari ini berbeda, ketika hari itu dia masuk ke kelas Indra, orang pertama yang membuat kontak mata dengannya adalah Indra.
Dan Indra duduk di depan mejanya.
“Mohon maaf Bu Syasmala, Pak Warek tidak bisa ditemui hari ini. Beliau menemani Pak Rektor ke Surabaya bertemu Ibu Gubernur.” kata seseorang di seberang telepon. “Balik hari ini atau menginap Pak?” “InsyaAllah langsung pulang Bu.” “Berarti besok bisa langsung ditemui ya Pak?” “Mohon maaf Bu Syasmala, besok hari minggu. Pak Warek tidak ke kampus.” Caca terkekeh menertawakan kebodohannya. Bagaimana dia tidak sadar kalau hari ini adalah hari sabtu? “Mohon maaf juga Pak. Saya lupa kalau hari ini adalah hari sabtu. Maksud saya adalah, apakah senin Bapak ke kantor?” “Untuk saat ini Bu, hari Senin Bapak tidak ada jadwal kemana-mana. Kalau tidak ada rencana mendadak, hari senin Bapak bisa ditemui. Saya masukkan nama Ibu untuk jadwal Bapak Warek senin pagi. Saya hubungi Ibu untuk jamnya senin pagi.” “Terima kasih Pak.” “Iya Bu, sama-sama.” Caca menutup telefonnya. Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya karena seharusnya Pak Warek atau Wakil Rektor langsung menyetujui seperti tahun-
Dipenuhi rasa ingin tahu, Caca memberedel amplop itu. Matanya bergerak-gerak cepat. Sesaat kemudian, mulutnya menganga. Tangannya reflek menutup mulutnya yang menganga. Matanya melotot ke kertas itu lalu ke Jasmine bergantian. Caca melepaskan tangan yang menutupi mulutnya dan mulai tersenyum lebar. “Indra bimbinganku?” sorak Caca gembira. Jasmine mengangguk, “Cie… Yang dapat mahasiswa kesayangannya.” “Ya iya tah.” sambut Caca sombong. Jasmine tersenyum menang, menggoyang-goyangkan telunjuk kanannya. “Mbak, aku hanya kagum, tidak lebih. Aku sudah bilang kemarin. Dia mahasiswa paling pintar di kelas, seorang pemimpin.” Pipi Caca bersemu merah sebelum melanjutkan perkataannya, “Lagipula apa kata orang kalau aku pacaran sama brondong yang notabene itu mahasiswaku sendiri. Mbak pikir ini novel dimana guru atau dosen bisa dengan gampang menjalin hubungan dan menikah dengan muridnya. Di novel pun itu yang guru adalah seorang lelaki dan muridnya perempuan. Hidup tidak semulus roman-roman
Sabtu sore, jalanan Malang lebih padat daripada hari-hari biasa. Kota dingin itu menjadi tujuan wisata akhir minggu oleh orang-orang dari luar kota Malang. Caca sedang terjebak di lampu merah di daerah Dinoyo selama lebih dari satu setengah jam. Walau begitu, Caca tidak mengeluh. Sensasi kupu-kupu yang menggelitik perutnya terlalu menyenangkan. Kemacetan itu tidak berarti baginya. Caca menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Indra. Perbincangannya dengan Jasmine tempo hari membuatnya sadar, hatinya sudah menjadi milik Indra. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas atau delapan belas tahun terakhir, Caca merasakan indahnya jatuh cinta. Caca tersenyum-senyum sendiri. Berkali-kali Caca menoleh pada cermin tengah mengaca, membenarkan rambutnya, melihat pipinya yang bersemu merah. Mobil-mobil yang ada di sekililingnya seolah-olah kumpulan binatang kesukaanya, panda. Caca tidak berada di tengah kemacetan, tapi berada di hamparan hutan belantara bambu yang sejuk. Warna jingga matahari me
Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur. Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli. Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama. Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui. Apakah Ratu yang dilamar Zul, yan
Caca mematung di kursinya. Suara Papa menggelegar seperti petir menghantam tubuhnya. Dengan mulut menganga lebar, tangan Caca menunjuk ke dadanya. Caca melihat ke arah Mama. Mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Caca menoleh ke arah Mbah. Mbah mengangguk seolah menyetujui rencana Papa. Papa masih menatapnya dengan pandangan serius. Mulut Papa menganga seolah ingin berkata lebih lanjut ketika Mbah memotong Papa terlebih dahulu. “Ca, sebenarnya ini adalah ide Mbah. Mbah cuma mikirin kamu. Mbah sayang sama kamu. Di rumah ini hanya Mbah yang memikirkan kamu, yang peduli dengan kamu. Kamu ingat kemarin Mbah ke dokter Satrio?” Caca mengangguk enteng, tidak mengerti. “Dokter Satrio itu ternyata adalah cucu dari teman Nenek.” Caca semakin tidak paham dengan arah pembicaraan ini. “Terus?” sahut Caca tidak sabar. “Ya…” jawab Mama, “Kami mau mengenalkan kamu dengan dokter Satrio itu.” “Jadi aku mau dijodohkan dengan dokter Satrio itu?” Caca melotot tidak percaya. Mbah tersenyum mengan
Pikiran Caca berjalan. Secara rasional, Satrio ini adalah orang yang paling cocok dengannya. Satrio memenuhi segala kriteria yang diharapkannya. Tetapi hatinya membantah hal tersebut. Hatinya mengatakan bahwa yang Caca harapkan adalah Indra, bukan Satrio. Pikirannya menyahut apakah Indra juga mempunyai rasa yang sama dengan dirinya. Kalaupun ada rasa yang sama, lalu apa kata orang kalau dia menikahi mahasiswanya sendiri yang jauh lebih muda dan ada di bawahnya? Terlebih lagi, dia adalah seorang pejabat penting di kampus. “Ca, bukannya Mama mau mendikte kamu. Tapi menurut Mama, dokter Satrio ini adalah calon yang terbaik untuk kamu. Mama memang belum mengenal dia secara utuh dan Mama baru bertemu dokter Satrio itu dua kali. Tapi dari dua kali pertemuan itu, Mama bisa menyimpulkan kalau dokter Satrio itu adalah orang yang baik. Mama juga yakin, kalau dokter Satrio itu cocok menjadi suamimu.” Suara Mama lebih tenang sekarang. Caca mengernyitkan dahinya, ada kata-kata yang mencurigakan
Hari selasa kemarin. Satrio menutup Qur’annya ketika jam sudah menunjuk pukul lima lewat tiga puluh. Dia bersiap mandi dan berangkat. Hari selasa adalah hari yang sibuk baginya. Dia harus bekerja di tiga tempat, praktek bersama, rumah sakit swasta, dan rumah sakit umum milik pemerintah. Jam enam dia sudah siap untuk berangkat ke tempat pertama, tempat praktek bersama. Tetapi sebelum itu, dia mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk. Namun, tidak ada pesan baru. Matanya terpaku pada pesan yang terletak di paling atas. Pesan ungkapan terima kasih dari seorang dokter residen yang dia bela kemarin. “Bagaimana bisa seseorang bangga pada hal yang absurd dan menganggap orang yang tidak berasal dari golongan yang sama lebih rendah derajatnya?” tanya Satrio pada dirinya sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jam sembilan kurang lima belas, pasien terakhir di tempat prakteknya bernama Sukarminingsih, perempuan, berusia tujuh puluh delapan tahun. Pasien terakhir ini
“Omong kosong, kamu bukan seorang lelaki yang bisa dianggap remeh oleh seorang perempuan. Kekurangan apa yang kamu maksud?” “Aku yang terlalu bekerja keras, terlalu memperhatikan pasien-pasienku hingga mengesampingkan keluargaku sendiri.” “Kamu itu seharusnya sudah bisa memaafkan dirimu sendiri. Mamamu meninggal bukan karena kamu. Mama kamu meninggal karena depresi ditinggal Papamu. Berapa kali Kakek harus bilang? Tidak ada bedanya meskipun kamu saat itu ada disini.” Kakeknya berjalan ke belakang, ke arah dapur. Beliau kembali dengan membawa dua gelas besar es teh dan memberikan salah satu gelas ke Satrio. Setelah meminum es tehnya, Kakek melanjutkan perkataanya, “Kamu tidak bisa terus menerus seperti ini Sat. Apakah kamu pikir, dengan terus menerus menghukum diri kamu, Mamamu akan kembali hidup? Mau sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu tidak ingat apa yang kamu rasakan kemari ketika terinfeksi Corona?” Kakeknya berkacak pinggang. “Malam minggu, kita berdua akan bertemu d
“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter
Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu
“Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba
Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja