Caca masih di kasurnya, tidak bergerak dengan mata yang masih mengantuk menatap langit-langit. Perutnya terasa aneh. Rasa buang air besar semalam masih terasa. Tidak ada yang keluar meskipun dia sudah mencoba, hanya kesemutan merajalela. Jam yang berdetik di dinding menunjukkan pukul enam. Hanya ada rasa enggan beranjak dari kasurnya menggelayut. Dia ingin bumi membuka, menelannya hidup-hidup tanpa ada kemungkinan untuk kembali lagi. Bukan, Caca bukan ingin mati. Caca masih ingin hidup. Nasi pecel dan lalapan masih sayang untuk ditinggalkan, apalagi rawon. Caca hanya malu dan tidak ingin bertemu dengan siapapun, termasuk dengan Satrio nanti. Biasanya pada minggu pagi seperti ini, Caca akan berada di dapur. Karena dia tidak bisa memasak, maka dia akan membantu Mama dan Mbak Sri memasak. Caca yang bertanggung jawab untuk mencuci semua perkakas memasak dan sarapan. Caca bukannya tidak mau belajar masak. Caca sudah belajar masak, tetapi seberapa keras Caca berusaha, hasil masakannya ti
Satrio menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Dia tidak melihat ke wajah ataupun mata Caca ketika mengenalkan dirinya. Satrio terus menundukkan pandangannya, tidak berani memandang Caca. Untuk beberapa saat Caca tidak mengerti kenapa Satrio tidak berani menatapnya. Tetapi dalam sekejap pula, Caca paham kenapa Satrio tidak berani menatap dan hanya menundukkan pandangannya. Dari sikap Satrio itu, Caca bisa menyimpulkan bahwa Satrio adalah seseorang yang religius dan memegang teguh syariat-syariat agama di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk beberapa saat itu juga, Caca merasa terbanting dan merasa malu. Caca tahu hukum agama tetapi jarang mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Caca hanya melakukan syariat-syariat yang bersifat wajib seperti sholat, puasa, dan zakat. Caca masih berat untuk melakukan hal-hal selain itu, termasuk memakai jilbab, meskipunan Papanya juga sudah berkali-kali mengingatkan dan mengatakan kewajiban berjilbab bagi perempuan dewasa adalah wajib dan sa
Senin pagi itu terasa berat sekali. Mendung petang menggelayut di cakrawala ketika dia melihat keluar jendela. Tak ada niatan Caca beranjak dari kasurnya. Dadanya sesak. Meski sudah menghela nafas kuat-kuat berkali-kali, beban itu tak mau pergi. Satu hal yang berkesan dari pertemuan dengan Satrio kemarin adalah Caca bisa menangkap betapa seriusnya Satrio untuk memperistri dirinya. Berbeda dengan pengalamannya ketika bertemu dengan seseorang yang mengenalnya lewat aplikasi kencan itu. Perbedaan jelas adalah ketika Satrio sama sekali tidak menatap wajahnya, sedangkan lelaki aplikasi itu selalu memandanginya. Sebegitu buruknya kesan yang dibuat lelaki aplikasi itu sampai Caca tidak mau mengingat namanya dan hanya memanggilnya lelaki aplikasi. Caca sampai merasa risih karena terus dipandangi. Caca merasa ditelanjangi karena lelaki itu terus menerus melihat ke arah dadanya. Terlebih lagi jawaban-jawaban Satrio atas semua pertanyaan Caca terdengar masuk akal dan terdengar meyakinkan. Satr
Jasmine menepuk tangannya bersemangat. “Bukankah dia mahasiswa bimbinganmu? Bukankah lebih mudah memberikan kode pada dia ketika bimbingan thesis?” tanya Jasmine berapi-api laksana panglima perang mengobarkan semangat pada prajurit. “Mbak tahu sendiri kalau caraku melakukan bimbingan …” Jasmine menunggu Caca menyelesaikan kalimatnya. Tetapi, ketika sepertinya Caca tidak berniat menyelesaikannya, Jasmine menyarankan, “Ya diubah caramu melakukan bimbingan.” Caca tidak merespon apapun. Bahkan Caca berdiri dan berkata hal lain, “Aku mau menguji seminar proposal thesis dulu.” “Kamu nggak makan?” Caca menjawab hanya dengan gelengan kepalanya, “Aku sedang tidak ingin makan. Tidak ada nafsu makan.” “Kamu menguji di Gedung Pascasarjana?” Caca mengangguk. “Bawa payung. Takutnya hujan.” Kata Jasmine seraya melihat keluar jendela dan menunjuk mendung yang sudah bergerombol berat. Caca mengambil payung kecil dan memasukkannya ke dalam tas yang dia tenteng. Di ruang sidang seminar proposal
Selasa minggu lalu. Bluk. Suara kepalan tangan Indra memukul meja sofa. Tangannya mengepal erat, semakin lama kepalan itu semakin keras. Jantungnya berdetak kencang dan cepat. Kepalanya terasa berdenyut. Nafasnya memburu. “Sudah Buk, Ibuk pindah kesini saja. Hidup sama aku. Mentang-mentang kaya, seenaknya sendiri menghina, merendahkan, dan mengusir orang. Dia itu iri. Anaknya tidak ada yang sekolah tinggi, hanya lulusan SMA. Berbeda dengan anak-anak Ibuk yang sekolahs sampai kuliah. Lagipula Buk, Ibuk tahu kenapa dia berbuat seperti itu? “Kalau Ibu pindah, rumah ini bakalan diambil dan diakui paksa sama Pakdemu. Kalau begitu, sama saja dengan menyerah. Ibuk tidak mau rumah ini dijual dan diakui paksa sama Pakdemu.” “Aku tidak peduli Buk. Aku sudah punya rumah. Mbak Indah juga sudah punya rumah.” “Nggak bisa Ndra. Ini rumah peninggalan Mbahmu. Kenangan-kenangan bersama Mbah dan Bapakmu ada di rumah ini. Rumah ini memang sudah tua dan reyot, tapi kenangannya terlalu banyak. Bagi or
Indra berdiri dan melemparkan ponselnya ke sofa. Nafasnya tersengal-sengal. Terlebih lagi, dia berbohong pada Ibunya. Ada hal yang mengganjal di hatinya namun dia tak sanggup mengungkapkannya. Dengan pikiran yang masih melayang-layang di kepalanya tentang bagaimana cara terbaik untuk membalas perlakuan Pakdenya kepada Ibunya dan rasa bersalah atas kebohongannya, Indra meraih handuk dan mandi. Mandi ternyata tidak membuat pikirannya tenang. Pikiran itu semakin menjadi-jadi. Dia berencana ke perpustakaan hari ini sebelum kuliah pada awalnya. Namun, karena kejadian ini tadi, dia menjadi tidak yakin apakah ke perpustakaan adalah ide yang bagus. Kepalang tanggung, dia akhirnya jadi pergi ke perpustakaan. Ternyata yang membuat dia tidak bisa berpikir jernih bukan masalah Ibuknya tadi, namun temannya sekelas, Izzy. “Mas.” suara yang kencang dan kenes ditambah dengan tepukan di bahu Indra berhasil membuat Indra hampir melompat dari duduknya. “Sudah lama disini?” “Kamu itu, hampir saja mem
“Mbak, Njenengan mau pulang sekarang?” tanya Indra pada Mbak Indah yang sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas. Indra dan Mbak Indah memang baru saja menjemput Ibuk dari rumah yang ada di kaki Gunung Semeru. Dengan segala daya dan upaya Indra merayu Ibuk untuk pindah. Indra tidak sendirian. Indra juga meminta Mbak indah untuk merayu Ibuk agar mau meninggalkan rumah itu. Untuk sementara rumah itu dipasrahkan kepada salah satu kerabat jauh Ibuk yang memang sedari dulu membantu Ibuk. Bisa dibilang kerabat ini adalah asisten rumah tangga yang bekerja paruh waktu. Bukan tanpa perlawanan Ibuk bisa dibawa ke rumah Indra. Indra harus menjemput Ibuk bersama Mbak Indah tanpa pemberitahuan. Indra sudah memberi tahu si kerabat jauh agar mau membantu usaha ini. Urusan mudah untuk merayu si kerabat jauh. Mereka mempunyai musuh yang sama, yaitu Pakde. Mbak Indah mengangguk, “Iyo. Mendung kayak gitu takutnya kehujanan.” “Eh, ya sudah kalau begitu.” dengus Indra. Mbak Indah mengernyit, menghela
Mbak Indah berpamitan pada Ibuk. Indra masuk untuk mandi dan bersiap. Ketika dia berangkat, Ibuk memberikannya payung untuk berjaga-jaga. Benar juga, begitu dia sampai di Gedung Pascasarjana, hujan mulai turun rintik-rintik. Jauh di dalam hatinya, alasan sebenarnya dia mengikuti seminar proposal adalah ingin melihat Bu Syasmala dari dekat. Dia tidak tahan untuk tidak melihat Bu Syasmala. Terakhir kali bertemu dengan Bu Syasmala adalah selasa minggu lalu. Indra bahkan tidak bisa menunggu esok hari untuk bertemu. Matanya berbinar dan senyuman tersungging di bibirnya ketika Bu Syasmala sudah duduk di kursi penguji. Walaupun Bu Syasmala memunggunginya, wajah Bu Syasmala yang rupawan terngiang di depan matanya. Tiba-tiba muncul ide di benaknya. Dia ingin mengajukan pertanyaan atau sanggahan untuk menarik perhatian Bu Syasmala. Indra berharap ketika dirinya mengajukan pertanyaan tersebut, Bu Syasmala akan menoleh kepadanya. Dengan cepat dibacanya manuskrip yang telah dibagikan dan mencari
“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”Nada Caca ter
Awal bulan Desember, kebahagiaan Caca terus menerus menyumber.Caca merasakan energi yang dahsyat setiap harinya. Caca merasakan semangat yang membakar dan membara di dalam tubuhnya. Semangat itu memberinya energi yang luar biasa. Bisa saja dengan energi dan adrenalin yang meluap-luap tersebut, Caca mampu mewujudkan perdamaian dunia sekaligus mengatasi kelaparan di negara dunia ketiga.Tiada hari tanpa senyuman tersungging di bibirnya. Semua yang Caca idamkan akan terwujud dalam waktu dekat. Caca akan menikah bulan depan, Ratu tidak jadi melangkahinya. Caca juga berhasil menjalankan program kerjanya di kampus dengan berhasil mewujudkan program pertukaran doktor ke Australian National University, yang juga akan terwujud bulan depan setelah pernikahannya. Semua sudah siap, tinggal berangkat.Kerja keras yang akan terbayar lunas.Caca juga sudah melupakan permasalahannya dengan Indra. Mau bagaimanapun juga, apa yang difitnahkan Indra kepadanya terbu
“Mbah, kok merokok disini? Nanti kalau aku bau rokok bagaimana?” protes Caca.Mbah tidak bergeming atas protes Caca. Bahkan, Mbah menghisap kuat-kuat rokok kreteknya dan mengeluarkan asapnya yang mengepul ke atas.Caca mengambil nafas panjang, “Mas Satrio tahu kalau Mbah masih merokok?”“Jangan bilang-bilang dokter Satrio kalau Mbah masih merokok. Dokter Satrio bisa-bisa marah nanti.” jawab Mbah bersungut-sungut.Sekarang justru Caca yang terdiam. Caca menatap Mbah menunggu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. Mbah masih menghindari kontak mata dengan Caca.Setelah menghabiskan setengah dari rokoknya, Mbah berkata, “Nduk, yang membuat Mbah dan Papamu bertengkar saat itu ya soal Papamu yang tidak mau merestui kamu menikah kemarin.”Caca tahu betul Mbah berbohong. Maka Caca kembali bertanya, “Terus apa yang Mbah maksud dengan hanya Mbah dan Papa yang tahu soal itu? Yang aku tanyakan Mba
Tak terasa hari ini adalah hari Caca lamaran. Dua bulan terakhir ini dia disibukkan dengan kegiatan kampus yang membombardirnya tanpa henti bagaikan serangan tantara Jerman ke Perancis pada perang dunia kedua. Kegiatan yang dilakukan cukup menyita waktu Caca. Mendapatkan empat belas sks mengajar di semester genap ini dan melakukan pengabdian masyarakat juga menjalankan tugas sebagai Kepala Biro Urusan Luar Negeri berhasil melupakan masalah yang dihadapinya baik di kampus.Maka Caca sekarang sedang duduk di depan cermin rias yang ada di kamar Papa dan Mama. Dipandangi wajahnya yang sudah didandani oleh seorang make-up artist pilihan Mama. Caca bisa melihat jelas wajahnya yang berseri-seri kemarahan, yang mana rona kemerahan itu diyakini dari kebahagiaan yang timbul dari dalam dirinya. Senyuman kecil juga selalu tersungging manis di bibir Caca. Tulang pipinya yang sedikit menyembul menjadi semakin jelas karena senyuman tersebut.Badannya juga terlihat sangat ril
Sore itu, Caca pulang dengan hati yang masih mendongkol. Seperti ada batu besar yang teronggok malas ditaruh di dalam dadanya, membebani dan membuat efek mengganjal dan dongkol. Jam empat lewat tiga puluh, Caca sudah sampai di rumahnya. Mobilnya diparkir tepat di samping mobil Papa.Caca menemukan Mamanya sedang duduk di meja makan. Mamanya sedang khusyuk menghadapi setoples keripik singkong dan menatap layar ponselnya.“Papa sudah pulang tah Ma?” tanya Caca sambil mencium tangan kanan Mama.Mama mengangguk dan masih khusyuk dengan keripik dan ponselnya.“Terus dimana Papa?”Mamanya menelan keripik singkong terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Caca, “Itu ada di belakang, di gazebo sama Mbah.”Caca mengambil duduk di sebelah Mama. Dipeluknya Mama dengan erat dari samping. Kepala Caca menyandar di lengan kiri Mama yang ramping. Satu hal yang Caca tidak pernah mengerti adalah bagaimana Mamanya
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Semalam penuh Caca menyesali perbuatannya pada Indra. Perutnya terasa kaku dan keras. Dadanya sesak hingga berkali-kali Caca mengelus dadanya mencoba mengurangi sakitnya, tapi nihil hasil. Kepalanya sakit.Tak hanya itu, berkali-kali Caca mengusap air mata yang menetes, menghela nafas panjang. Caca sadar, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak seharusnya Caca melontarkan kata-kata kasar yang menyakiti Indra. Caca menyesal karena menuruti hawa nafsu dan menyerang Indra.Seharusnya, Caca pergi saja saat itu dan tidak melayani tantangan Indra. Akan lebih baik jika Caca pergi saja dan membiarkan Indra. Seharusnya cinta Caca pada Indra berhasil meredam emosinya.Niat awal Caca pagi itu adalah mengirim pesan pada Indra sebagai dosen pembimbingnya. Caca mau melanggar idealismenya selama ini yang tidak mau mencampurkan masalah pribadi dan masalah professional. Tapi dipikirnya, kali ini, masalah ini membutuhkan perlakuan khus
Caca tersentak karena kaget. Sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Caca bahwa Indra akan berani mendekatinya dan mengatakan hal yang begitu menyakiti hatinya.Bahkan karena terlalu kagetnya, Caca hanya sanggup melihat Indra. Caca menangkap rona kesedihan di wajah Indra namun siratan kesedihan di mata Indra.Kata-kata yang dilontarkan Indra terlalu sakit untuk didengar oleh Caca. Karena terlalu sakitnya, mulut Caca menganga dan lidahnya terasa kelu tidak sanggup berkata apapun.Untuk beberapa saat Caca hanya memandangi Indra, begitu pula sebaliknya. Dalam beberapa saat itu pula, Caca tidak bisa berpikir, apa yang harus dia lakukan.Pikiran Caca kembali bekerja normal. Saat itu pula, hatinya terbelah menjadi dua. Sebelah hatinya memintanya untuk segera pergi dari sisi Indra. Sakit hatinya tak terperi. Caca hanya ingin lari dari sana dan tidak mau melihat tampang Indra lagi.Tetapi, di sisi lain hatinya, Caca tidak terima dengan perlakuan tersebut
Mata Indra melotot pada Izzy.“Kamu bicara apa tadi?” tanya Indra tidak percaya atas apa yang masuk ke dalam telinganya. Matanya melotot pada Izzy.“Itu Bu Syasmala ‘kan?” tanya Indra menegaskan. Nada suaranya tidak sengaja meninggi.Indra melihat wajah Izzy yang tampak lugu dan kaget di saat yang bersamaan. Tatapan mata Indra yang tajam hanya bisa membuat Izzy membeku di tempatnya. Indra menyadari hal itu. Maka, dengan nada yang lebih rendah, meskipun dengan tatapan yang tajam, Indra bertanya sekali lagi, “Calon suaminya Bu Syasmala?”Izzy mengangguk, “Iya Mas. Itu tadi lo yang berjalan di depannya Bu Syasmala, lelaki yang memakai jas hitam tanpa dasi.”Izzy berusaha memanjang-manjangkan lehernya mencoba mencari seseorang di barisan depan. Memang ada beberapa lelaki sedang berdiri berkumpul di dekat taman buatan.“Itu lo Mas, yang berdiri di depan Bu Syasmala.” tangan Izzy me
“Iya Irene.” Jawab Satrio enteng tanpa ada rasa bersalah sama sekali.Darah Caca mendidih. Suasana hati yang tadi sudah membaik, kini memburuk kembali.Caca mencoba mengendalikan emosinya, “Siapa Irene Mas?”“Dia adalah dokter residen di bawah bimbinganku. Mas merasa kasihan sekali dengan Irene ini. Dia berasal dari keluarga yang kurang beruntung. Dia berhasil sampai sejauh ini murni karena otaknya dan kegigihannya. Dia tidak berasal dari keluarga darah murni, yang mana bapak ibunya bukan dokter. Karena keadaan itulah Pak Bondan berusaha menyingkirkan dia.”Caca menatap Satrio. Yang ditatap masih konsentrasi dengan jalan yang ada di depannya.Satrio menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “Pak Bondan pikir, seseorang yang bukan berasal dari darah murni tidak pantas menjadi dokter. Menurut Mas, semua itu hanyalah kebangaan atas sesuatu yang semu dan abstrak. Semua orang yang kompeten dan mampu boleh menja